Rabu, 08 Juli 2009

[resensi buku] Sekelebat Cahaya dari Wajah Huda

Koran Republika, Minggu, 05 Juli 2009

Dengan kebersamaan, keluarga Huda selalu mendampinginya, hingga akhir hayatnya. Apa saja yang dialami Huda selama mengalami gagal ginjal?


Huda adalah nama seorang gadis salehah yang mengalami gagal ginjal sejak usia 11 tahun. \\\'Persahabatan\\\'-nya dengan penyakit ginjal hingga akhir hayatnya menjadi cerita haru-biru dikemas oleh penulis yang juga kakak kandung Huda.

Penulis menceritakan bagaimana penderitaan, ketabahan, juga canda dan tawa, selama menemani adik tercintanya. Ketika infeksi menggerogoti ginjalnya, Huda tak pernah mengeluh. Dia tetap ceria, rajin mengaji dan shalat lima waktu. Hobinya merawat diri membuat tubuhnya selalu harum semerbak. Itulah Huda Rosdiana Biarawati yang menjadi bidadari keluarga.

Kisah nyata ini diawali keceriaan Huda bergaya dengan baju baru. Murid kelas 5 SD ini lenggak-lenggok bak peragawati. Kakak-kakaknya menggoda dengan jepretan kamera. Ia semakin sumringah. Padahal saat itu, penyakit ginjal sudah menyapanya. Hampir seluruh kulit tubuh dibercaki ruam-ruam merah akibat gumpalan darah di bawah permukaan kulitnya. Badan Huda membengkak. Vonis dokter Huda mengalami kebocoran ginjal!

Pengobatan intensif membuat kondisi fisik Huda stabil. Bangku SMP dan SMA dilalui si bungsu dari sembilan bersaudara ini dengan menyenangkan. Memasuki bangku kuliah, penyakit itu menyapa lagi tanpa sinyal. Pulang kuliah dari Fakultas Sastra D3 Universitas Indonesia (UI), Huda pingsan. Sebelumnya dia mengeluh perut mual dan kepala terasa sangat sakit.

Hasil pemeriksaan dokter, ginjalnya kena lagi. Seharusnya setelah sakit di masa SD, minimal setahun sekali melakukan cek rutin. Karena ada obat yang harus dikonsumsi sampai parasit penggerogot ginjal mati. Terlambat. Penyesalan itu yang membuat ibunya menangis. \"Kalau dulu dokter menganjurkan harus kontrol, pasti akan dilakukan kontrol rutin,\" tutur sang bunda, Hj Maswani.

Ginjal kiri sudah tak berfungsi. Satu-satunya jalan menyelamatkan Huda melalui cuci darah. Huda terdiam, tapi butiran air matanya mengalir. Keluarga besar H Ahmad Dzinnun berduka. Tegakah menyaksikan bidadari yang selama ini ceria kini tak berdaya?

Untung kondisi keluarga sudah berubah. Ketika pertama kali Huda sakit, kakak-kakaknya masih sekolah/kuliah. Kini kedelapan kakaknya sukses dengan berbagai profesi. Kakak langsung Huda, Afaf Susilawati lulusan Fakultas Kedokteran UI. Penulis sebagai jurnalis, yang lainnya ada insinyur, guru, pengusaha, dan ibu rumah tangga.

Selama Huda sakit, keluarga besar ini sangat kompak. Orangtua, delapan kakak, termasuk para ipar dan para keponakan silih berganti mendampingi. Di depan Huda, mereka memberi semangat, namun di belakang penuh linangan air mata.

Kegiatan cuci darah sangat menyiksa Huda. Diawali jarum sebesar paku ditusukkan di bagian tubuhnya. Berjam-jam tubuhnya tak bergerak di sekitar selewiran selang pembersih darah. \\\'Kegiatan\\\' ini bisa dihentikan dengan dua pilihan, yaitu cuci darah sendiri dengan memasang alat di perut, atau transplantasi.

Keluarga sepakat memilih alternatif kedua. Semua informasi mengenai operasi ginjal, baik di dalam maupun luar negeri dijadikan referensi. Akhirnya transplantasi ginjal dilakukan di RS Cikini, Jakarta Pusat.

HUda siap, tinggal ginjal siapa yang mau dikorbankan? Subhanallah, ternyata tak sulit. Anggota keluarga ini berlomba-lomba ingin membagi satu ginjalnya demi Huda. Bukan hanya penulis yang menawarkan diri, ibunya pun ikhlas membagikan organ tubuh demi anak tercinta. Terlambat, karena Afaf lebih dulu mempersiapkan diri menyerahkan ginjalnya. Sebagai dokter, dia lebih dulu kasak-kusuk mencari informasi, sekaligus persiapan awal sebelum operasi. Begitulah pengorbanan kakak demi kelangsungan hidup adiknya.

\"Terima kasih ya, Pok Afaf, udah nolong Huda,\" ujar Huda sebelum operasi. Keduanya tersenyum dan bergandengan tangan. Mereka menghilang ke balik pintu ruang bedah meninggalkan ibu yang nyaris pingsan tak sanggup melihat \\\'tingkah\\\' kedua anaknya.

Kehadiran ginjal baru membuat Huda bisa melanjutkan aktivitas. Dia sempat jalan-jalan ke luar kota. Dia kembali ke bangku kuliah, dan rajin mengikuti kegiatan berbahasa Inggris. Acungan jempol untuk kemahiran berbahasa Inggrisnya. Huda sempat mengutarakan ingin melanjutkan kuliah di luar negeri. Ginjal baru pun ternyata membuat Huda berubah. Dia bukan menjadi dirinya sendiri. Apa saja perubahan itu, simak di bab 20.

Penyakit itu datang lagi. Huda harus menjalani cuci darah. Di tengah kondisi tak stabil, Huda menyempatkan diri menjalankan umrah bersama ibu dan penulis. Selanjutnya kondisi gadis berkaca mata minus ini sempat naik-turun. Pengobatan pun dilakukan tak hanya medis, tetapi juga holistik di Purwakarta, Jabar.

Kisah di buku ini menggugah emosi, tak sadar menguras air mata. Begitu banyak hikmah yang bisa dipetik: Kebersamaan, kasih sayang, ketegaran, pengorbanan, persiapan spiritual, dan pertolongan Allah yang tak pernah henti. Di buku ini diulas pula bagaimana kehidupan keluarga besar Huda yang sangat religius. Keluarga Betawi ini pun patut dicontoh. Kesembilan anaknya sukses di dunia pendidikan. Ada yang kuliah di IAIN Jakarta, UI, IKIP Jakarta. Masing-masing anak memiliki bakat luar biasa, mulai bermain alat musik, menyanyi, melukis, hingga membaca puisi. Ketika berkumpul bakat-bakat otodidak itu unjuk gigi dengan meriah.

Buku setebal 355 halaman ini juga dilengkapi catatan harian Huda. Huda menyimpannya rapi, dan baru diketahui keluarganya setelah ia berpulang. Ada misteri yang tak pernah diungkapkan kepada siapa pun, kecuali di buku harian. Peristiwa itu sempat masuk ke halusinasi saat Huda tak sadarkan diri. Bahkan ibunya berulangkali menerima penelepon gelap yang meneror keluarganya. Anda penasaran kisah apa itu? Ulasannya ada di bab \\\'Kepingan Puzzle yang Hilang\\\'.

Di buku harian itu tertulis pula mengenai obrolan kematian. Begitu indahnya. Impian itu menjadi kenyataan. Huda wafat dengan tenang Senin, 15 Januari 2007 pukul 07.00 WIB. Kepergian di saat persiapan menuju ke rumah sakit.

Banyak keajaiban disaksikan para pelayat. Sehari sebelum wafat, Huda menyempatkan membersihkan diri sehingga jenazahnya wangi dan bersih. Saat pemakaman di depan rumah, guru sekolahnya melihat sekelebat cahaya dari wajah Huda. Cahayanya naik ke atas. Beberapa orang pun menyaksikan peristiwa serupa.

Malam selepas pemakaman, Afaf bermimpi Huda datang dengan kain putih, wajahnya sumringah, tersenyum lebar. \"Pok Afaf, Huda senang di sini. Tempatnya enak. Huda sudah nggak sakit lagi. Di sini banyak makanan, dan Huda boleh makan apa saja.\" Itulah impian Huda saat masih hidup. n vie

Judul: Huda, Bidadari Cinta Kami
Penulis: Siti Darojah Sri Wahyuni
Penerbit: Hikmah


www.mediabuku.com

0 komentar: