Resensi oleh: N. Mursidi
SEBUAH novel yang ditulis berdasarkan data sejarah, memang tidak bisa dikatakan duplikat dari sejarah. Tetapi, ketika sejarah sebagai bahan literer sastra itu kemudian diolah dengan capaian estetis dan teknik penceritaan yang gemilang, jalan cerita dalam novel pun -tak pelak- akan membangun makna baru. Alhasil, sastra tidak semata-mata menjadi rekaman dari peristiwa sejarah yang terjadi di masa lalu, melainkan capaian ikhtiar sang pengarang dalam \"meniti\" jalan berkelok dari relung sebuah realitas.
Cara dan teknik itulah yang kerapkali ditempuh sastrawan besar Mesir, Najib Mahfudz. Tidak terkecuali dengan novel Najib yang berjudul Karnak Cafe ini. Dengan memanfaatkan data sejarah, Najib (yang pernah mendapatkan hadiah nobel sastra 1988) menulis novel ini selain berusaha mengenalkan peristiwa di masa lalu --dari sepenggal sejarah Mesir (tempat dia hidup)-- juga memberikan makna baru yang menyegarkan. Karena sejarah dituangkan dalam cara lain, makna lain dan bentuk lain. Apalagi yang dituturkan Najib dalam novel ini sepenggal sejarah Mesir ketika ditimpa kekalahan akibat perang melawan Israel.
Sejarah mencatat, kekalahan perang itu terjadi seusai Israel mengirim bala tentara ke perbatasan Syiria yang kemudian (ujungnya) membuat Mesir naik pitam. Lalu, Mesir mengirimkan tentaranya ke Sinai, dan menutup Teluk `Aqabah yang berakibat Israel harus menelan pil pahit dan kerugian besar. Tidak ingin kalah, maka tanggal 5 Juni 1967, Israel mendadak menyerah Mesir habis-habisan lewat udara, darat dan laut. Akibat dari \"serangan mendadak\" itu, Israel bisa menduduki tepi Timur terusan Suez (dan di front Suriah), berhasil \"menguasai\" dataran Tinggi Golan bahkan Palestina dan sebagian Jordan.
Dalam situasi kekalahan itu, Mesir pun dilingkupi kekacauan. Penduduk dirundung kecemasan, ketidaknyamanan, dan ketidakjelasan. Di sisi lain, sikap pemerintah yang seharusnya melindungi rakyat, justru arogan dan otoriter. Tak bisa disangkal, kalau kemudian timbul fitnah, saling tuduh, saling hasud, dan bahkan muncul sebongkah pengkhianatan. Tokoh-tokoh cerita di dalam novel ini, seperti Hilmi Hamada, Ismail al-Syeikh serta Zaenab yang berbeda paham dengan pemerintah pun harus menerima sebuah kenyataan pahit. Mereka diculik kemudian dipenjarakan.
Akibat siksaan dan deraan yang pedih, Hilmi Hamada akhirnya meninggal sewaktu diinterograsi di penjara. Sementara itu, Ismail dan Zaenab, tak punya pilihan lain untuk mengelak dari tuduhan kiri, dan komunis yang dilabelkan di pundak keduanya sehingga memaksa keduanya menjadi \"mata-mata\". Secara materi, memang amat menjanjikan dan mengiurkan tapi Ismail dan Zaenab ternyata merasa bersalah (pada hati nurani mereka sendiri).
Lebih pedih dan tragis, dalam penjara Zaenab harus menerima pelecehan seksual. Kenyataan itu membuatnya harus berpisah dengan Ismail. Di sisi lain, Qurunfula -pemilik Karnak Kafe- yang mencintai Hilmi Hamada juga harus merasa kehilangan pujaan hatinya setelah mendapat kabar Ismail bahwa Hilmi meninggal di penjara. Anehnya, di balik penangkapan Hilmi Hamada, Ismail dan Zaenab itu tidak lain akibat \"pengkhiatan\" Khalid Sofwan yang kerap berkunjung ke Karnak Cafe.
Sepintas lalu, novel ini memang menuturkan \"kehidupan\" di Karnak Cafe dan Najib menampilkan tokoh-tokoh seperti Qurunfula, Ismail alSyeikh, Zaenab, Hilmi Hamada dan Khalid Sofwan. Tapi dengan tokoh-tokoh itu Najib mengisahkan sebuah kehidupan di balik Kafe -sewaktu Mesir dalam masa pahit kekalahan. Tak disangsikan, jika novel Karnak Cafe ini semacam sepenggal sejarah Mesir dalam bentuk novel.
Dengan memakai teknik penceritaan naratif investigasi, pengarang dari Mesir ini mengakhiri cerita tidak sampai pada periode kemenangan Mesir -tahun 1973- setelah Israel mengajak berdamai. Tetapi, pada sebuah \"kenyataan pahit\" yang terjadi pada bulan Desember 1971. Teknik yang diterapkan Najib itu tetap tak menafikan kehadiran dirinya yang selalu jadi pengunjung kafe dan akhirnya mulai \"mengenal\" para pengunjung kafe dan bahkan pemilik kafe yang tidak lain adalah Qurunfula (seorang bintang serta bidadari impian di era tahun 1940-an) yang membuat lelaki harus bertekuk lutut. Tetapi, di akhir masa hidupnya, dia harus hidup kecewa lantaran Hilmi Hamada memilih pergi dan teguh menjadi anak revolusi meski ia mati lantaran diketahui sebagai seorang komunis.
Meski novel ini berkisah seputar \"kekacauan politik Mesir\" dari balik kafe, tetapi Najib membumbuinya dengan cerita cinta yang memilukan. Di tengah prahara politik yang tidak jelas itu Qurunfula harus kehilangan Hilmi, bahkan Zaenab dan Ismail juga tidak jadi menikah lantaran Zaenab sadar dirinya telah kotor dan tak pantas lagi untuk menikah dengan Ismail setelah dia mendapatkan perlakuan tidak senonoh dalam penjara yang menjerumuskannya tak lebih sebagai pelacur.
Meski novel ini bisa disebut sebagai salah satu novel terpendek Najib mahfudz tapi jalinan cerita yang berpilin dan berkelit kelindak dengan teknik naratif investigasi dan ditunjang kepiawaian Najib mengaduk-aduk hati pembaca ternyata sama sekali tidak mengurangi kualitas, dan kemasyhuran Najib Mahfudz sebagai pengarang besar. Kendati, novel ini dapat ditulis Najib lebih panjang lagi lantaran dimungkinkan ada sebagian investigasi Najib tentang sosok Hilmi Hamada -salah satu dari empat tokoh dalam novel ini-- tak diceritakan. ***
*) N. Mursidi, cerpenis asal Lasem, Jateng. Kini, tinggal di Ciputat, Tangerang.
SEBUAH novel yang ditulis berdasarkan data sejarah, memang tidak bisa dikatakan duplikat dari sejarah. Tetapi, ketika sejarah sebagai bahan literer sastra itu kemudian diolah dengan capaian estetis dan teknik penceritaan yang gemilang, jalan cerita dalam novel pun -tak pelak- akan membangun makna baru. Alhasil, sastra tidak semata-mata menjadi rekaman dari peristiwa sejarah yang terjadi di masa lalu, melainkan capaian ikhtiar sang pengarang dalam \"meniti\" jalan berkelok dari relung sebuah realitas.
Cara dan teknik itulah yang kerapkali ditempuh sastrawan besar Mesir, Najib Mahfudz. Tidak terkecuali dengan novel Najib yang berjudul Karnak Cafe ini. Dengan memanfaatkan data sejarah, Najib (yang pernah mendapatkan hadiah nobel sastra 1988) menulis novel ini selain berusaha mengenalkan peristiwa di masa lalu --dari sepenggal sejarah Mesir (tempat dia hidup)-- juga memberikan makna baru yang menyegarkan. Karena sejarah dituangkan dalam cara lain, makna lain dan bentuk lain. Apalagi yang dituturkan Najib dalam novel ini sepenggal sejarah Mesir ketika ditimpa kekalahan akibat perang melawan Israel.
Sejarah mencatat, kekalahan perang itu terjadi seusai Israel mengirim bala tentara ke perbatasan Syiria yang kemudian (ujungnya) membuat Mesir naik pitam. Lalu, Mesir mengirimkan tentaranya ke Sinai, dan menutup Teluk `Aqabah yang berakibat Israel harus menelan pil pahit dan kerugian besar. Tidak ingin kalah, maka tanggal 5 Juni 1967, Israel mendadak menyerah Mesir habis-habisan lewat udara, darat dan laut. Akibat dari \"serangan mendadak\" itu, Israel bisa menduduki tepi Timur terusan Suez (dan di front Suriah), berhasil \"menguasai\" dataran Tinggi Golan bahkan Palestina dan sebagian Jordan.
Dalam situasi kekalahan itu, Mesir pun dilingkupi kekacauan. Penduduk dirundung kecemasan, ketidaknyamanan, dan ketidakjelasan. Di sisi lain, sikap pemerintah yang seharusnya melindungi rakyat, justru arogan dan otoriter. Tak bisa disangkal, kalau kemudian timbul fitnah, saling tuduh, saling hasud, dan bahkan muncul sebongkah pengkhianatan. Tokoh-tokoh cerita di dalam novel ini, seperti Hilmi Hamada, Ismail al-Syeikh serta Zaenab yang berbeda paham dengan pemerintah pun harus menerima sebuah kenyataan pahit. Mereka diculik kemudian dipenjarakan.
Akibat siksaan dan deraan yang pedih, Hilmi Hamada akhirnya meninggal sewaktu diinterograsi di penjara. Sementara itu, Ismail dan Zaenab, tak punya pilihan lain untuk mengelak dari tuduhan kiri, dan komunis yang dilabelkan di pundak keduanya sehingga memaksa keduanya menjadi \"mata-mata\". Secara materi, memang amat menjanjikan dan mengiurkan tapi Ismail dan Zaenab ternyata merasa bersalah (pada hati nurani mereka sendiri).
Lebih pedih dan tragis, dalam penjara Zaenab harus menerima pelecehan seksual. Kenyataan itu membuatnya harus berpisah dengan Ismail. Di sisi lain, Qurunfula -pemilik Karnak Kafe- yang mencintai Hilmi Hamada juga harus merasa kehilangan pujaan hatinya setelah mendapat kabar Ismail bahwa Hilmi meninggal di penjara. Anehnya, di balik penangkapan Hilmi Hamada, Ismail dan Zaenab itu tidak lain akibat \"pengkhiatan\" Khalid Sofwan yang kerap berkunjung ke Karnak Cafe.
Sepintas lalu, novel ini memang menuturkan \"kehidupan\" di Karnak Cafe dan Najib menampilkan tokoh-tokoh seperti Qurunfula, Ismail alSyeikh, Zaenab, Hilmi Hamada dan Khalid Sofwan. Tapi dengan tokoh-tokoh itu Najib mengisahkan sebuah kehidupan di balik Kafe -sewaktu Mesir dalam masa pahit kekalahan. Tak disangsikan, jika novel Karnak Cafe ini semacam sepenggal sejarah Mesir dalam bentuk novel.
Dengan memakai teknik penceritaan naratif investigasi, pengarang dari Mesir ini mengakhiri cerita tidak sampai pada periode kemenangan Mesir -tahun 1973- setelah Israel mengajak berdamai. Tetapi, pada sebuah \"kenyataan pahit\" yang terjadi pada bulan Desember 1971. Teknik yang diterapkan Najib itu tetap tak menafikan kehadiran dirinya yang selalu jadi pengunjung kafe dan akhirnya mulai \"mengenal\" para pengunjung kafe dan bahkan pemilik kafe yang tidak lain adalah Qurunfula (seorang bintang serta bidadari impian di era tahun 1940-an) yang membuat lelaki harus bertekuk lutut. Tetapi, di akhir masa hidupnya, dia harus hidup kecewa lantaran Hilmi Hamada memilih pergi dan teguh menjadi anak revolusi meski ia mati lantaran diketahui sebagai seorang komunis.
Meski novel ini berkisah seputar \"kekacauan politik Mesir\" dari balik kafe, tetapi Najib membumbuinya dengan cerita cinta yang memilukan. Di tengah prahara politik yang tidak jelas itu Qurunfula harus kehilangan Hilmi, bahkan Zaenab dan Ismail juga tidak jadi menikah lantaran Zaenab sadar dirinya telah kotor dan tak pantas lagi untuk menikah dengan Ismail setelah dia mendapatkan perlakuan tidak senonoh dalam penjara yang menjerumuskannya tak lebih sebagai pelacur.
Meski novel ini bisa disebut sebagai salah satu novel terpendek Najib mahfudz tapi jalinan cerita yang berpilin dan berkelit kelindak dengan teknik naratif investigasi dan ditunjang kepiawaian Najib mengaduk-aduk hati pembaca ternyata sama sekali tidak mengurangi kualitas, dan kemasyhuran Najib Mahfudz sebagai pengarang besar. Kendati, novel ini dapat ditulis Najib lebih panjang lagi lantaran dimungkinkan ada sebagian investigasi Najib tentang sosok Hilmi Hamada -salah satu dari empat tokoh dalam novel ini-- tak diceritakan. ***
*) N. Mursidi, cerpenis asal Lasem, Jateng. Kini, tinggal di Ciputat, Tangerang.
Judul buku : Karnak Cafe
Penulis : Najib Mahfudz
Penerbit : Alvabet Sastra, Jakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2008
Tebal buku : 180 halaman
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar