Batam Pos, Minggu, 04 Januari 2009
Sosok Omar Khayyam dalam khasanah sastra Timur Tengah, merupakan satu nama dari sekian banyak sastrawan klasik yang paling banyak dikenal. Sajak empat baris-nya (kwatrin) atau rubaiyat yang kontroversial dan misterius, telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Omar Khayyam mulai dikenal dalam literatur barat setelah rubaiyat-nya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh penyair Inggris Edwad J Fitz Gerald pada tahun 1859. Sejak itu, Rubaiyat Omar Khayyam menjadi pembicaraan khalayak sastra dari masa ke masa.
Khayyam adalah seorang penyair sekaligus filsuf, matematikawan, astronom, ilmuwan dan ahli kedokteran. Ia lahir dan hidup pada abad ke-11. Pada zamannya, Omar menjadi orang yang paling terkenal setelah khalifah. Nizamul Mulk dan Hassan Sabbah adalah nama-nama lain yang menjadi tokoh besar pada zamannya. Nizamul Mulk adalah seorang Wazir Agung, dan Hassan Sabbah adalah kepala sekte pembunuh yang paling terkenal sepanjang sejarah, yang dikenal oleh barat sebagai kaum Hashishin, atau Assassin.
Dalam Samarkand, Amin Maalouf merangkai kisah tentang ketiga orang terkenal itu dalam jalinan kisah yang memikat lewat narasi yang dituturkan oleh Benjamin O. Lesage, seorang orientalis dari Amerika Serikat. Berawal dari pertemuan Omar Khayyam dengan seorang Kadi di Samarkand yang bernama Abu Taher. Pada masa itu, kebebasan berbicara dan berpendapat termasuk mengucapkan sajak sangat dibatasi oleh penguasa. Pesan Kadi kepada Omar: \"Kita sedang hidup di zaman kerahasiaan dan ketakutan. Kau harus berwajah ganda, yang satu kau perlihatkan kepada orang banyak, yang lain hanya kepada dirimu sendiri dan Sang Pencipta. Jika kau tak mau kehilangan matamu, telingamu, dan lidahmu, lupakan kau punya mata, telinga dan lidah.\"
Maka diberikanlah kepada Omar sebuah buku dengan dua ratus lima puluh enam halamannya yang masih kosong. Setiap kali ada sajak yang tersirat yang hendak terucapkan oleh Omar, Abu Taher menyarankan agar Omar segera menuliskannya di dalam buku itu, dan merahasiakannya kepada siapapun. Buku itulah yang kelak akan menjadi Naskah Samarkand, yang berisi Rubaiyat Omar Khayyam yang tersembunyi selama berabad-abad sebelum buku itu muncul kembali dan menjadi sebuah karya besar sepanjang masa.
Dalam buku ini diceritakan, bahwa dalam sebuah perjalanannya ke Isfahan untuk menemui Wazir Agung Nizamul Mulk, Omar bertemu dengan Hassan Sabbah, seorang pelajar yang sangat cerdas. Mereka pun menjadi sahabat karib. Oleh Nizamul Mulk, Omar ditawarkan jabatan sebagai kepala mata-mata, yang akhirnya ditolak oleh Omar. Omar lalu merekomendasikan Hassan Sabbah untuk menduduki jabatan itu, yang dengan segera disetujui oleh Nizamul Mulk. Omar lebih memilih untuk menjadi ilmuwan dan astronom dengan mengamati bintang-bintang di observatorium yang dibangun Nizamul Mulk untuknya dan hidup berbahagia dengan istrinya, Djahan, seorang perempuan penyair istana yang sangat dekat dengan Sultanah.
Keberhasilan Hassan Sabbah dalam menjalankan tugasnya menuai popularitas yang tinggi di kekhalifahan, dan hal ini mengancam kedudukan Nizamul Mulk. Mulailah terjadi konflik dan intrik politik, dengan Omar berada di antara keduanya. Sampai akhirnya Hassan Sabbah terusir dan menjadi pimpinan sekte pembunuh yang bermarkas di benteng Alamut. Keduanya: Nizam dan Hassan beserta pengikut-pengikut mereka saling bermusuhan. Konflik semakin rumit dengan keterlibatan Terken Khatun, permaisuri Sultan Parsi, Maliksyah.
Separuh pertama buku ini adalah kisah kehidupan Omar Khayyam yang direka oleh Amin Maalouf dengan latar Nisyapur, Samarkand, Isfahan dan kota-kota lain di Parsi pada abad ke-11. Separuh terakhir adalah kisah pencarian Benjamin O. Lesage akan Naskah Samarkand yang asli, yang selama berabad-abad tersembunyi dari mata dunia. Dengan latar revolusi yang terjadi di Timur Tengah, kisah bergulir dalam jalinan konflik dan intrik politik, juga kisah cinta yang romantis, menyentuh dan mendebarkan. Kisah cinta tersebut adalah kisah Omar dengan Djahan dan kisah cinta Benjamin dengan Syirin, seorang putri Syah Parsi.
Ketertarikan dan rasa penasaran Benjamin akan keberadaan naskah asli Samarkand yang ditulis sendiri oleh tangan Omar Khayyam telah membuatnya bertualang dari satu kota ke kota lain di Timur Tengah. Peristiwa demi peristiwa dialami Benjamin mulai dari pertemuannya dengan Syirin, sampai bergabung dengan pasukan pendukung demokrasi dalam mempertahankan kota Tabriz dari serangan pendukung Syah Parsi; dari percumbuan dengan Syirin yang penuh gelora, sampai pengepungan dan tembak menembak yang mencekam.
Naskah Samarkand, dalam buku ini hanya sebagai benang merah yang mempertemukan tokoh-tokohnya. Apa sebenarnya yang tertulis dalam naskah tersebut tidak dieksplorasi lebih jauh, hanya beberapa Rubaiyat yang disebutkan dibaca bersama oleh Syirin dan Benjamin dalam beberapa kesempatan. Amin lebih bermain pada wilayah latar yaitu kekhalifahan Timur Tengah pada abad ke-11 dan jatuh bangunnya demokrasi di Parsi pada abad 19 dengan intrik politik dan peristiwa-peristiwa besar pada masa-masa itu.
Meski Naskah Samarkand pada akhirnya terkubur bersama kapal Titanic yang karam dalam perjalanannya mengarungi samudera atlantik pada 14 April 1912, namun kisah Omar Khayyam dan perjalanan Rubaiyatnya tetap menarik, menghibur dan inspiratif. Romantika Omar dengan Djahan dan Benjamin dengan Syirin sangat menarik untuk diikuti. Amin menuturkannya dengan anggun dan elegan, tanpa harus cengeng dan menguras air mata.
Novel ini tampak semakin menarik ketika diwarnai berbagai intrik politik, kisah mengalirkan perjalanan Naskah Samarkand di dua kota utama peradaban dunia masa itu, Samarkand dan Isfahan, hingga terkurung di benteng Alamut, markas Kaum Pembunuhsekte paling mengerikan sepanjang sejarah. Buku ini kaya informasi tentang petualangan sang penyair pada zaman yang penuh darah dan kekacauan pada abad kesebelas. Dan, pengarang Libanon ini berhasil merangkainya dengan berbagai fakta historis serta imajinatif menjadi \\\'novel romantik\\\' yang memukau.\"
* Lukman Santoso Az, Pecinta Buku dan Pekerja Sastra pada LeSAN Yogyakarta.
www.dinamikaebooks.com