Sabtu, 21 Februari 2009

[artikel dinamika] Awas, Sampah Buku!

Jawa Pos, Minggu, 01 Februari 2009

Masalisasi produksi buku terjadi, terutama, setelah dipergunakannya mesin cetak murah bermerk \"Toko\". Mencetak buku yang sebelumnya membutuhkan modal besar bisa ditekan biayanya dengan mesin cetak itu. Penerbit kecil pun bermunculan meramaikan pasar buku, berbagi kue rezeki dengan penerbit besar.

Namun, bukan hanya modal yang relatif tidak besar saja yang memicu bertumbuhannya penerbit kecil. Lebih dari itu, perhitungan keuntungan menerbitkan buku sudah bisa dibayangkan. Sudah jamak diketahui bahwa harga banderol buku merupakan hasil pengalian 5 sampai 8 kali harga pokok produksi.

Apalagi pasar buku saat ini cenderung mengarah ke format praktis. Membuat buku praktis pun dimudahkan dengan akses ke internet. Praktis, tema apa pun bisa dikemas dengan mudah dalam konteks format praktis dan nuansa lokal. Cara ini bisa menjadi alternatif bagi penerbit kecil yang tidak mampu membayar copyright dan terjemahan buku luar negeri. Alhasil, harga buku bisa dibikin lebih murah.

Cara membuat buku seperti itu bisa dikerjakan siapa saja. Atau kalau tidak mau repot menulis naskah sendiri, penawaran naskah cukup melimpah di pasar buku. Bagi yang bermodal, tinggal beli atau pesan naskah yang pro-pasar, kemudian menerbitkannya. Tidak jarang pelaku dunia perbukuan seperti penulis, percetakan, distributor, bahkan toko buku turut menerbitkan buku.

Daya Serap Pasar

Pertambahan jaringan toko buku bisa dikatakan sangat tidak sebanding dengan pertumbuhan buku. Sementara jumlah toko buku cenderung tetap bahkan kadang ada yang gulung tikar. Sekian judul buku baru terus diterbitkan setiap bulan. Oleh sebab tidak berimbangnya jumlah toko dan buku yang terbit, umur pajang (display) buku pun menjadi semakin pendek. Buku baru yang tadinya bisa nampang di floor atau rak toko berbulan-bulan, kini harus menjalani seleksi penjualan tiga bulan. Toko hanya mau memajang buku-buku laku dan baru, tentunya disesuaikan dengan karakteristik toko dan segmen pembeli. Buku-buku lama yang tidak laku sudah pasti terima nasib dikembalikan (return) ke penerbit/supplier-nya.

Buku-buku return selanjutnya dipasarkan di pameran atau bazar. Tentu saja dengan penyusutan harga alias diskon yang lebih besar ketimbang yang diberikan toko untuk menarik calon pembeli. Umur buku terkadang bisa lebih pendek lagi jika ia diobral di pameran. Hal itu seringkali dilakukan penerbit karena butuh dana cepat untuk mencetak buku baru.

Ada kecenderungan yang menarik ketika pasar buku di-vergen ke banyak tema. Penerbit berbondong-bondong menerbitkan berbagai tema. Penerbit yang mulanya concern ke tema tertentu melahirkan lini penerbit (imprint) baru dengan tema-tema tertentu. Penerbit buku pelajaran tidak mau kalah dengan membelah menerbitkan buku umum.

Pasar adalah tema. Buku tema tertentu yang tengah laku akan diikuti oleh buku tema sejenis dengan variasi judul, kemasan, isi, dan harga. Contohnya, buku anak dan buku kesehatan. Jumlah buku menjadi berlimpah di pasar, dari kualitas bagus sampai ecek-ecek. Namun, hanya buku yang mampu memenuhi kebutuhan pengetahuan pembeli bakal diserap pasar. Sedangkan yang gagal akan menjadi sampah buku!

Kendali di Toko Buku

Di dunia buku, saya punya ungkapan, \"Kalau mau untung jadilah penerbit. Kalau mau berkuasa jadilah toko\". Saya sebut \"berkuasa\" karena penataan buku setiap penerbit --di floor atau rak atau malah \"disembunyikan\"--tergantung pada manajemen pengelola took. Karena toko mempunyai pertimbangan laku tersendiri, disesuaikan dengan karakteristiknya dan penjualan buku tersebut.

Kuasa toko buku ini bisa didayagunakan sebagai filter untuk mengurangi sampah buku. Tapi, filter sebenarnya adalah pembeli (masyarakat). Penerbitlah yang bisa menerjemahkan kebutuhan itu secara detail ke dalam buku yang diterbitkan. Masyarakat menentukan sesuai atau tidak isi buku dengan kebutuhannya. Toko bisa menjadi perantara yang baik karena ia setiap hari berkomunikasi dengan masyarakat. Sedangkan penerbit/supplier berkomunikasi hanya dengan toko. Dus, toko bisa memerankan menjadi saringan awal buku yang dibutuhkan masyarakat. Masyarakat pun akan lebih mudah memilih buku-buku bagus yang notabene terpilih karena kualitasnya. Kuasa toko ini diharapkan bisa mengendalikan hasrat penerbit untuk berspekulasi menerbitkan buku asal-asalan (tidak dibutuhkan masyarakat).

Bagaimanapun, menjadi penerbit, apalagi jika sudah masuk industri, harus untung. Sayangnya, banyak penerbit cukup puas memperebutkan \"kue besar\" pasar dengan banyak pesaing. Padahal, kalau mau, ia bisa untung lebih besar lagi jika sunguh-sungguh mengeksplorasi tema sesuai dengan kebutuhan pengetahuan masyarakat. Ia bisa menjadi pioner tema terbitan tertentu sehingga hasilnya bisa \"out of blue\".

Dan ketika penerbit-penerbit lain mengekor, ia selalu bisa memunculkan tema-tema baru yang segar, bermutu, dan mencerahkan. Penerbit seperti ini tidak hanya menangguk untung finansial, tapi juga menjadi referensi buku bermutu bagi masyarakat. Brand pun jadi. Akhirnya, penerbit terus membesar dan menjadi. Amin. (*)

Mohammad Solikhin, pemasar buku Diandra

www.mediabuku.com

0 komentar: