Sidik Nugroho, Malang Post, 5 Juni 2010
"Keberhasilan adalah hak kita. Datangkanlah keberhasilan dengan cara-cara yang baik; perhatikan penggunaan waktu Anda, lalu lihatlah apa yang terjadi kemudian."
-- Mario Teguh
Kata-kata Mario Teguh di atas rasanya tepat benar mewakili hidup komponis besar Beethoven, seorang musisi yang amat terkenal dan melegenda -- utamanya karena ia terus berkreasi ketika tuli total saat dan setelah berusia lima puluh tahun.
Beethoven menjadi komponis besar karena ketekunannya. H.A. Rudall, penulis biografinya, menyatakan, "Pada musim dingin atau musim panas, Beethoven bangun pagi saat matahari terbit. Kemudian, dia duduk di depan meja tulisnya, dan terus menulis sampai waktu makan siang yang biasanya dia lakukan pada pukul dua atau tiga sore. Pekerjaannya tidak pernah terputus kecuali untuk berjalan-jalan mencari udara segar, tapi selalu dengan menuliskan notes untuk menuliskan inspirasi segar yang didapatnya saat berjalan."
Karya-karyanya kemudian bertahan lama, diakui banyak kalangan sebagai karya-karya yang hebat. Tanpa perjuangan yang keras, tidak mungkin ia bisa sehebat itu. Memang ada juga musisi yang sangat cerdas, seperti Mozart "Sang Anak Ajaib". Dalam sebuah buku disebutkan bahwa Mozart adalah orang yang sangat tergesa-gesa, selain suka berfoya-foya. Dibandingkan Beethoven, keteraturan dan kedisiplinannya dalam berkarya rasanya jauh berbeda.
Namun, tak bisa disangkal, musik-musik Mozart yang mewakili ekspresi-ekspresi spontan yang berawal dari kelelahannya, adalah musik-musik yang luar biasa. Sayangnya, Mozart mati muda. Beberapa orang beranggapan ini juga terjadi karena kekurangteraturan hidupnya.
Mozart dan Beethoven. Dua pribadi, dua kebiasaan. Dari keduanya kita dapat bercermin. Tak banyak orang yang lahir seperti Mozart. Ia dianugerahi Tuhan kecerdasan musikal yang sangat tinggi. Anggapan ini bukan berarti bahwa kemahirannya mencipta lagu tak perlu diasah dengan berlatih secara serius, namun lebih berdasarkan kenyataan bahwa dia memahami musik lebih cepat. Berbeda dengan Mozart, Beethoven lebih menyisakan jejak kehidupan yang lebih mungkin ditiru oleh pembaca riwayat hidupnya secara alami.
Ketelitian, kemahiran, dan keapikan sebuah karya lahir dari inspirasi tanpa henti yang terus digali dan dipelajari dalam hidup seseorang yang bercita-cita.
Nah, kali ini, Anda tidak sedang membaca sebuah ulasan atas buku tentang musik. Dalam buku inspirasi dan motivasi karya Iqbal Dawami ini, secuil kisah hidup Beethoven yang sangat menarik ini, rasanya sangat mewakili pesan penulisnya tentang hakikat hidup: kita harus memiliki cita-cita. Iqbal, lewat puspa-ragam kisah, ilustrasi dan pemikiran yang disampaikannya dalam buku ini, secara tegas hendak menggarisbawahi apa yang pernah dinyatakan John C. Maxwell: "Lebih baik Anda memiliki cita-cita dan kemudian tak berhasil meraihnya, daripada tak pernah memilikinya."
Dalam buku ini terdapat 23 renungan yang sarat dengan hikmah dan petuah. Semuanya merupakan artikel lepas pada awalnya, tak saling bersinggungan satu dengan yang lain. Yang menjadi benang merahnya adalah sebuah niat yang muncul dari penulisnya agar pembaca dapat mengubah kelemahan/kegagalan menuju optimisme/kekuatan hidup.
Iqbal adalah penulis yang kaya akan perspektif. Sebagian kisah atau ilustrasi yang ia gunakan di tiap-tiap artikelnya di buku ini mungkin sudah pernah Anda baca di internet. Namun, cara Iqbal mengurai dan menghadirkan penafsiran dari tiap kisah yang diangkatnya, terasa segar dan lain. Kita jadi betah menikmati apa yang disuguhkannya.
Selain itu, Iqbal adalah penulis yang berdimensi luas. Di buku ini kita akan mendapati artikel-artikel dengan beragam latar atau ilustrasi. Ada yang membahas hidup seorang penulis. Ada yang diangkat setelah menyaksikan sebuah film. Ada yang digarap dengan merenungkan dalam-dalam tentang hakikat dan hal-hal seputar cinta dan waktu. Semuanya menuntun kita untuk mengingat lagi -- juga merenungkan, bahkan menemukan -- apa yang harus kita utamakan dalam kehidupan ini, meraih cita-cita dan mengatasi berbagai persoalan hidup.
Sebagai saran penutup, bab-bab dalam buku ini, tak perlulah dibaca terburu-buru. Masing-masing menyediakan renungan yang indah dan tersendiri untuk dihayati. Ibarat meminum teh, kala malam seorang diri -- kita tak buru-buru menghabiskannya. Kita menyeruputnya pelan-pelan, menikmati kehangatan yang dihadirkannya di leher dan perut kita. Dan, meminum teh rasanya bukan hanya tepat menjadi ibarat bagi cara menikmati buku ini. Bila Anda suka meminum teh, rasanya akan nikmat sekali membalik-balik lembaran buku ini dalam kesunyian malam, ditemani secangkir teh.
*Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, Ketua Forum Penulis Kota Malang (FPKM) dan penggiat di komunitas Bengkel Imajinasi
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar