Kamis, 26 Maret 2009

[artikel dinamika] Era Gelap Indonesia Tanpa Buku

Koran Jakarta, 11 Maret 2009

Buku adalah jendela dunia. Peribahasa itu mengandung arti cukup dalam. Melalui buku, pelbagai pengetahuan dapat disibakkan. Peran buku dalam mencerdaskan kehidupan bangsa juga tidak bisa dianggap sepele. Cobalah berkaca pada negara-negara maju. Di sana, tingginya minat baca membuat masyarakatnya terbiasa "mengonsumsi" berbagai macam buku. Pangsa pasar yang luas menyebabkan jumlah produksi buku-buku pun semakin tinggi.

Kondisi itu jauh berbeda dengan yang terjadi di Tanah Air. Pada periode 1945-1966, di Indonesia terhitung sekitar 1.000 judul buku diterbitkan penerbit-penerbit partikelir setiap tahunnya. Menginjak periode berikutnya, yakni 1966-1981, angka itu beranjak menjadi 2.000 judul buku per tahun. Namun, di sela-sela periode itu, terutama menjelang akhir '60-an hingga awal '70-an, industri penerbitan nasional sempat mengalami guncangan.

Penyebabnya, subsidi kertas dicabut sehingga banyak penerbit harus menghentikan kegiatannya. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi bidang pendidikan (UNESCO) melaporkan, pada 1973 Indonesia mengalami book starvation (paceklik buku). Saat itu, tidak satu pun judul buku diterbitkan oleh para penerbit nasional.

Kondisi itu sungguh kontras dengan yang terjadi di negara-negara lain, seperti Jepang dan Inggris. Di negeri matahari terbit itu, tidak kurang dari 60.000 judul buku diterbitkan setiap tahunnya, sedangkan di Inggris angkanya bahkan lebih besar, per tahunnya buku yang diterbitkan bisa mencapai 110.155 judul. Angka itu baru dilihat dari jumlah judul buku, belum mencakup penghitungan oplah.

Ketika tahun 1970-an Indonesia pernah mengadakan proyek buku Inpres. Kucuran dana dari pemerintah untuk menyukseskan proyek itu memicu kelahiran ratusan penerbit baru. Namun, seiring penghentian proyek itu yang berarti tidak ada lagi dana mengalir, banyak penerbit kolaps.

Kondisi penerbit yang "mati suri" itu perlahan-lahan bangkit pada akhir '70-an. Hal itu terlihat dengan adanya produksi buku yang mencapai sekitar 10.000 judul pada periode tersebut. Sebenarnya, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang saat itu mencapai 119 juta jiwa, jumlah produksi buku masih belum ideal. Belum lagi jika dibandingkan dengan jumlah produksi buku di negara-negara lain, seperti Jepang dan Inggris.

Banyak faktor yang menjadi penyebab produksi buku di Indonesia tergolong rendah. Di antaranya, faktor daya beli masyarakat serta kebiasaan membaca masyarakat (reading habit) yang masih rendah. Berdasarkan data, minat baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat keempat di kawasan Asia Tenggara, setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura.

Bisa jadi, rendahnya kebiasaan membaca itu berkaitan erat dengan daya beli masyarakat. Jika dibandingkan dengan ketiga negara tetangga itu, daya beli masyarakat Indonesia memang masih tergolong rendah. Pada 2008, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia masih sekitar 2.271 dollar AS. Angka itu jauh di bawah pendapatan per kapita Singapura yang mencapai 36.000 dollar AS pada periode yang sama.

Dengan daya beli yang rendah, tidak heran jika masyarakat Indonesia menempatkan belanja buku pada peringkat bawah setelah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer. Kalau demikian keadaannya, program pengadaan buku-buku murah tampaknya perlu dibangkitkan kembali. Di sinilah kembali diuji komitmen pemerintah dan para penerbit untuk memproduksi banyak buku. Dengan demikian, era gelap Indonesia tanpa buku tidak akan terulang lagi.
mer/L-2

www.mediabuku.com

0 komentar: