Jumat, 20 Maret 2009

[resensi buku] Dongeng Evolusi dan Makna Keberadaan

Adi Toha, Koran Tempo, 31 Maret 2008

Jika Tuhan memang ada, tidak hanya Ia ulung meninggalkan jejak. Lebih dari segalanya, Ia ahli menyembunyikan diri.

Sepotong kalimat itulah yang mungkin akan terlontar jika membicarakan tentang evolusi. Dalam teori evolusi Darwin, tidak ada tempat bagi Tuhan dalam penciptaan kehidupan manusia di planet Bumi. Kehidupan di planet Bumi tercipta bermilyar-milyar tahun yang lalu dari bakteri purba bersel satu yang berevolusi secara kebetulan tanpa adanya campur tangan pencipta. Seiring perkembangannya, teori evolusi Darwin banyak ditentang terutama oleh kalangan agama, hingga muncul sosok Pierre Teilhard de Chardin yang mencoba mengintegrasikan fenomena evolusi dengan doktrin teologis menjadi suatu pandangan dunia yang koheren. Teilhard mengungkapkan tentang Hukum Kesadaran-Kompleksitas, yang menyatakan bahwa evolusi berlangsung menuju peningkatan kompleksitas yang dibarengi dengan munculnya kesadaran yang mencapai puncaknya pada spiritualitas manusia. Pada akhirnya, evolusi akan menemui Tuhan sebagai sumber dari segala mahluk dan terutama sebagai sumber dari kekuatan yang meniscayakan berlangsungnya proses evolusi.

Jostein Gaarder, dalam novelnya yang berjudul Maya, hendak merangkum proses panjang evolusi manusia menuju munculnya kesadaran manusia lewat dialog-dialog cerdas para tokohnya. Tak hanya itu, ia dengan piawai memadukan kisah cinta, dongeng, misteri, filsafat, pengetahuan ilmiah, seni dan sejarah serta spiritualitas menjadi satu jalinan kisah yang kompleks tapi memikat.

Di pulau Taveuni, Fiji, sejumlah orang tanpa sengaja berkumpul dalam sebuah persiapan perayaan berakhirnya milenium kedua dan menyambut datangnya milenium ketiga. Kepulauan Fiji, adalah sedikit dari daratan berpenghuni yang tepat dilewati oleh garis penanggalan internasional, sehingga di Fiji lah orang bisa menjadi yang paling pertama memasuki milenium ketiga. Di antara mereka adalah John Spooke, seorang penulis Inggris yang masih berduka atas kematian istrinya; Frank Andersen, seorang ahli biologi evolusioner dari Norwegia yang telah berpisah dengan istrinya dan kehilangan seorang anak dalam sebuah kecelakaan tragis; dan pasangan muda Ana dan Jose dari Spanyol serta beberapa orang lainnya yang masing-masing memiliki agenda dan tujuannya sendiri-sendiri. Mereka dan beberapa karakter minor lainnya saling berinteraksi satu sama lain selama beberapa minggu. Pertemuan dan interaksi selama di Fiji itulah yang menjadi awal cerita novel ini.

Di antara tamu-tamu di Fiji tersebut, tidak ada yang lebih menarik perhatian, misterius dan penuh teka-teki selain Ana dan Jose, pasangan suami istri dari Spanyol yang sering saling melontarkan kalimat-kalimat aneh dan ganjil tentang penciptaan alam semesta, Tuhan, evolusi dan tentang Joker. Keduanya seperti saling berbalas ungkapan atau meresitalkan puisi dalam kalimat-kalimat yang terdengar sangat aneh bagi orang awam. Frank yang begitu penasaran dengan keduanya mencoba mencatat setiap lontaran kalimat aneh tersebut dan menceritakan tentang pasangan aneh tersebut serta beberapa episode pengalamannya selama di Fiji kepada mantan istrinya, Vera. Di sisi lain, John Spooke tertarik untuk berkenalan lebih jauh dengan Frank.

Pada dasarnya, cerita dinarasikan oleh John Spooke. John dipercaya oleh Frank untuk menyimpan salinan surat-surat yang ditulisnya untuk Vera. Sebagaimana ciri novel-novel Gaarder, selalu ada cerita di dalam cerita, begitu pula halnya dengan novel ini. John Spooke sebagai narator hanya muncul pada sedikit bagian depan dan catatan tambahan di bagian akhir buku. Selebihnya adalah surat-surat panjang Frank kepada Vera. Baik Frank, John, maupun orang yang lain yang bertemu dengan Ana di Fiji, merasa bahwa wajah Ana tidak asing. Mereka seperti pernah bertemu dengan Ana sebelumnya, tapi entah kapan dan di mana. Rasa penasaran Frank terhadap Ana dan Jose -terlebih kepada sosok Ana- inilah yang mengisi sebagian besar surat-surat Frank, selain percakapan imaginer Frank dengan Gordon -seekor tokek yang menghuni kamar penginapannya- tentang evolusi, asal usul alam semesta dan manusia serta tujuan keberadaan manusia di dunia; dan tafsiran Frank terhadap kalimat-kalimat aneh yang didengarnya dari pasangan Ana dan Jose.

Dalam logika umum, masa lalu dan masa kini adalah rangkaian sebab akibat yang berjalan searah; masa lalu menjadi sebab terjadinya peristiwa di masa mendatang, bukan sebaliknya. Tetapi, di tangan Jostein Gaarder, peristiwa di masa kini atau masa mendatang bisa menjadi sebab bagi terjadinya peristiwa di masa lalu. Tepuk tangan bagi Big Bang baru terdengar lima belas miliar tahun setelah ledakan itu terjadi. Apakah Big Bang yang menjadi sebab manusia bertepuk tangan untuknya lima belas miliar tahun kemudian, ataukah tepuk tangan manusia di masa kini lah yang menjadi sebab terjadinya Big Bang lima belas miliar tahun yang lalu. Bagaimanapun, Big Bang terjadi bukan tanpa tujuan. Big Bang bukanlah sebuah proses kebetulan. Dalam Maya, Gaarder seolah-olah ingin bermain-main dengan ide gila dan ganjil ini lewat penggambaran tokoh Ana yang entah bagaimana sangat mirip dengan model lukisan terkenal Francisco de Goya yang berjudul La Maja Desnuda (Maya Telanjang) dan La Maja Vestida (Maya yang Berpakaian). Siapakah sebenarnya Ana, yang memiliki nama lengkap Ana Maria Maya, dan siapakah Maja dalam lukisan Goya dan apa hubungan di antara keduanya. Apakah sebuah kebetulan bahwa hubungan antara Goya dan Maya sama seperti hubungan antara Gaia (bumi yang hidup) dan Maya (ilusi, pandangan dunia dalam masyarakat India)?

Bagi pembaca yang pernah membaca karya Gaarder sebelumnya, Solitaire Mystery, akan menemukan kejutan yang tak disangka-sangka. Dalam Maya, Gaarder melanjutkan episode terakhir sang kurcaci (Joker) setelah pulau tempat dimana ia tercipta lewat imaginasi seorang pelaut tua Norwegia yang terdampar dengan setumpuk kartu soliter, tenggelam ditelan lautan. Sang Joker kemudian mengembara dari satu tempat ke tempat lain, bahkan dari ruang-waktu ke ruang-waktu yang lain dan bertemu dengan leluhur Ana. Ia juga memegang peranan penting dalam kehidupan Ana, mengapa wajah Ana sangat mirip dengan wajah dalam lukisan Goya.

Teknik kisah dalam kisah lewat surat-surat panjang lazim digunakan oleh Gaarder dalam menuliskan karyanya. Sophie\\\'s World, Orange Girl, Solitaire Mystery, The Ringmaster\\\'s Daughter, ditulis dalam teknik yang serupa. Namun, dalam Maya, hal ini sedikit membingungkan. Batas antara kebenaran cerita yang disampaikan oleh narator pertama (John Spooke) dan narator kedua (Frank Andersen) sulit ditandai.

Membaca karya penulis novel filsafat Sophie\\\'s World ini, kita akan disuguhi beberapa pertanyaan dan renungan yang dalam akan makna keberadaan, kehidupan dan tentu saja, cinta dan kematian. Apakah keberadaan manusia di dunia ini memiliki tujuan, ataukah hanya sebuah kebetulan belaka bahwa proses panjang evolusi memunculkan manusia. Apakah dengan munculnya manusia, evolusi telah sampai pada titik akhirnya, ataukah proses tersebut masih berlanjut menuju puncaknya, munculnya kesadaran manusia akan keberadaan dan tujuan dirinya di dunia. Adakah rentang waktu kita tersebut hanyalah sebuah kebetulan yang akan menjadi sia-sia, ataukah ada sesuatu di baliknya, sebagaimana salah satu manifesto yang diucapkan oleh Ana dan Jose: \"Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati\".

Adi Toha
, Blogger Sastra dan Buku
Menulis di http://jalaindra.wordpress.com


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: