TEMPO Interaktif, Senin, 19 Januari 2009
Dua lelaki bersaudara, secara tradisional dan universal, tampaknya tak bakal bisa kompak 100 persen. Ada saat ketika mereka akan berpisah jalan dan memilih lingkungan pergaulan sendiri-sendiri. Saat itulah yang biasanya dimulai di usia remaja, ketika mereka mulai merasa terasing satu sama lain.
Franz dan Kurt Wisner merasakannya. Kakak-beradik yang berbeda usia dua tahun ini bak Kutub Utara dan Selatan ketika Franz, sang kakak, berusaha menjauh dari adiknya jika ingin diterima oleh lingkungan anak-anak remaja keren.
Titik balik hubungan keduanya terjadi saat menjelang pernikahan Franz. Sepekan sebelum pernikahan, Annie, tunangan Franz selama 10 tahun, mencampakkannya. Padahal undangan sudah tersebar dan sebagian besar biaya perayaan serta bulan madu sudah dibayar.
Kekuatan persaudaraan dan pertemanan diuji pada saat genting seperti ini. Franz punya dua pilihan, membatalkan semua rencana pestanya atau tetap berpesta tanpa mempelai wanita. Dikompori oleh adik dan teman-temannya, Franz memilih alternatif kedua dan berpesta gila-gilaan.
Tapi penderitaan belum selesai. Sepekan kemudian Franz mendapat hantaman lagi: di kantornya. Jabatannya diturunkan, meski tetap mendapat bonus tahunan yang sangat besar.
Buat pembaca perempuan, kisah ini membuktikan satu hal: pria hetero yang tangguh di dunia karier sekalipun bisa termehek-mehek ketika sendirian merutuki nasib. Juga bahwa ketika tertimpa musibah, kesedihan berlipat justru hadir ketika tak ada lagi teman yang menepuk punggung memberi dukungan dan selesainya pesta-pesta pengusir duka.
Beruntung, Franz punya Kurt, yang sikapnya tak pedulian. Sayangnya, tak terlalu banyak digali bagaimana mungkin dua lelaki bersaudara yang sudah menjadi dua orang asing tiba-tiba sepakat untuk jalan bersama. Kurt sepertinya tak membuat banyak pertimbangan ketika setuju pada rencana Franz berkeliling dunia.
Mereka merencanakan perjalanan keliling dunia begitu saja. Mereka memutuskan berhenti bekerja, menjual rumah, menyumbangkan pakaian dan perabot mereka, membuang ponsel dan menghancurkan penyeranta dengan palu. Lalu bertualang yang diawali dengan memanfaatkan paket bulan madu yang telanjur dibayar.
Franz berangkat dengan kekhawatiran mereka akan berakhir saling mencekik dalam perjalanan. Franz sering khawatir atas Kurt, yang selalu percaya pemecahan masalah selalu ada di detik-detik terakhir yang menegangkan.
Pemanasan dilakukan dengan mengunjungi teman di Rusia dan Praha. Selanjutnya, mereka bertualang selama empat tahun. Bolak-balik ke Amerika dan 60 negara, termasuk Indonesia. Padahal, dalam dunia backpacker, pergi hingga lima tahun berturut-turut sama dengan sudah waktunya memeriksakan otak ke psikiater.
Juga berbagai pesan bagi calon pengembara. Misalnya, buku Lonely Planet boleh jadi panduan tapi bukan buku suci. Bisa saja Anda mendatangi suatu tempat yang disebut di buku wisata sedang populer, ternyata pada saat Anda mendatanginya tempat itu sudah ketinggalan zaman.
Mereka mencoba menikmati hidup baru, mulai di Amerika Latin, Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika, Australia, hingga Asia Tenggara. Setiap petualangan baru membawa mereka ke tempat yang lebih unik dan menarik, diwarnai kisah seru yang mereka alami.
Bertanya pada orang setempat, meski dengan bahasa tarzan, biasanya lebih menyenangkan dan kadang akurat. Dari orang-orang yang berpapasan di jalan Franz banyak belajar tentang makna hidup.
Bergabung dengan kaum backpacker juga menarik. Meski Franz tak bisa tidak mengkritik kaum ini, yang seolah menjadi duta tak resmi bangsa kulit putih yang melancong ke negeri asing. Mengagumi kekompakan dan keberanian mereka tapi juga ngeri pada cara hidup yang terlalu menyerahkan diri pada nasib di perjalanan.
Banyak petualangan aneh yang dicatat Franz dengan cukup terperinci, dari disangka pasangan gay, hingga terpaksa kabur dari perempuan di Praha, Trinidad, sampai Vietnam. Lalu dijebak menikahi gadis setempat hingga dicopet banci yang beroperasi di jalan. Mereka juga berhasil mengumpulkan sepuluh cara gila tapi efektif menangani pedagang asongan setempat.
Sayang, seperti pelancong mancanegara lainnya, mereka hanya menuju Bali saat di Indonesia. Sedikit cerita tentang Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan Pulau Komodo, serta kacaunya pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Atau gagalnya rencana menjadi ahli sabung ayam ala Bali karena muntah-muntah saat salah satu ayam mati terpenggal. Semua disajikan dengan gaya bertutur yang menggelitik.
Di beberapa bagian, alur yang berulang dengan menceritakan petualangan yang sama lewat surat kepada sosok LaRue agak mengganggu. Atau kisah sakitnya Annie yang tak terlalu relevan dengan keseluruhan cerita. Sementara itu, kesadaran Franz akan cintanya pada Annie saat bertemu dengan banyak wanita cantik di dunia yang penuh petualangan hampir membuat tergelincir menjadi cerita yang cengeng.
Secara keseluruhan, membaca buku ini mengulik hasrat untuk bertualang. Minimal menjadi LaRue dan teman-temannya di rumah pensiun Eskaton, yang selalu bergairah mendengar petualangan Wisner bersaudara. Atau mengingatkan kembali bahwa beberapa ikatan persaudaraan dalam keluarga yang hilang tak berarti putus. Hanya perlu waktu dan kesempatan bersama untuk menemukannya kembali.
Dua lelaki bersaudara, secara tradisional dan universal, tampaknya tak bakal bisa kompak 100 persen. Ada saat ketika mereka akan berpisah jalan dan memilih lingkungan pergaulan sendiri-sendiri. Saat itulah yang biasanya dimulai di usia remaja, ketika mereka mulai merasa terasing satu sama lain.
Franz dan Kurt Wisner merasakannya. Kakak-beradik yang berbeda usia dua tahun ini bak Kutub Utara dan Selatan ketika Franz, sang kakak, berusaha menjauh dari adiknya jika ingin diterima oleh lingkungan anak-anak remaja keren.
Titik balik hubungan keduanya terjadi saat menjelang pernikahan Franz. Sepekan sebelum pernikahan, Annie, tunangan Franz selama 10 tahun, mencampakkannya. Padahal undangan sudah tersebar dan sebagian besar biaya perayaan serta bulan madu sudah dibayar.
Kekuatan persaudaraan dan pertemanan diuji pada saat genting seperti ini. Franz punya dua pilihan, membatalkan semua rencana pestanya atau tetap berpesta tanpa mempelai wanita. Dikompori oleh adik dan teman-temannya, Franz memilih alternatif kedua dan berpesta gila-gilaan.
Tapi penderitaan belum selesai. Sepekan kemudian Franz mendapat hantaman lagi: di kantornya. Jabatannya diturunkan, meski tetap mendapat bonus tahunan yang sangat besar.
Buat pembaca perempuan, kisah ini membuktikan satu hal: pria hetero yang tangguh di dunia karier sekalipun bisa termehek-mehek ketika sendirian merutuki nasib. Juga bahwa ketika tertimpa musibah, kesedihan berlipat justru hadir ketika tak ada lagi teman yang menepuk punggung memberi dukungan dan selesainya pesta-pesta pengusir duka.
Beruntung, Franz punya Kurt, yang sikapnya tak pedulian. Sayangnya, tak terlalu banyak digali bagaimana mungkin dua lelaki bersaudara yang sudah menjadi dua orang asing tiba-tiba sepakat untuk jalan bersama. Kurt sepertinya tak membuat banyak pertimbangan ketika setuju pada rencana Franz berkeliling dunia.
Mereka merencanakan perjalanan keliling dunia begitu saja. Mereka memutuskan berhenti bekerja, menjual rumah, menyumbangkan pakaian dan perabot mereka, membuang ponsel dan menghancurkan penyeranta dengan palu. Lalu bertualang yang diawali dengan memanfaatkan paket bulan madu yang telanjur dibayar.
Franz berangkat dengan kekhawatiran mereka akan berakhir saling mencekik dalam perjalanan. Franz sering khawatir atas Kurt, yang selalu percaya pemecahan masalah selalu ada di detik-detik terakhir yang menegangkan.
Pemanasan dilakukan dengan mengunjungi teman di Rusia dan Praha. Selanjutnya, mereka bertualang selama empat tahun. Bolak-balik ke Amerika dan 60 negara, termasuk Indonesia. Padahal, dalam dunia backpacker, pergi hingga lima tahun berturut-turut sama dengan sudah waktunya memeriksakan otak ke psikiater.
Juga berbagai pesan bagi calon pengembara. Misalnya, buku Lonely Planet boleh jadi panduan tapi bukan buku suci. Bisa saja Anda mendatangi suatu tempat yang disebut di buku wisata sedang populer, ternyata pada saat Anda mendatanginya tempat itu sudah ketinggalan zaman.
Mereka mencoba menikmati hidup baru, mulai di Amerika Latin, Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika, Australia, hingga Asia Tenggara. Setiap petualangan baru membawa mereka ke tempat yang lebih unik dan menarik, diwarnai kisah seru yang mereka alami.
Bertanya pada orang setempat, meski dengan bahasa tarzan, biasanya lebih menyenangkan dan kadang akurat. Dari orang-orang yang berpapasan di jalan Franz banyak belajar tentang makna hidup.
Bergabung dengan kaum backpacker juga menarik. Meski Franz tak bisa tidak mengkritik kaum ini, yang seolah menjadi duta tak resmi bangsa kulit putih yang melancong ke negeri asing. Mengagumi kekompakan dan keberanian mereka tapi juga ngeri pada cara hidup yang terlalu menyerahkan diri pada nasib di perjalanan.
Banyak petualangan aneh yang dicatat Franz dengan cukup terperinci, dari disangka pasangan gay, hingga terpaksa kabur dari perempuan di Praha, Trinidad, sampai Vietnam. Lalu dijebak menikahi gadis setempat hingga dicopet banci yang beroperasi di jalan. Mereka juga berhasil mengumpulkan sepuluh cara gila tapi efektif menangani pedagang asongan setempat.
Sayang, seperti pelancong mancanegara lainnya, mereka hanya menuju Bali saat di Indonesia. Sedikit cerita tentang Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan Pulau Komodo, serta kacaunya pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Atau gagalnya rencana menjadi ahli sabung ayam ala Bali karena muntah-muntah saat salah satu ayam mati terpenggal. Semua disajikan dengan gaya bertutur yang menggelitik.
Di beberapa bagian, alur yang berulang dengan menceritakan petualangan yang sama lewat surat kepada sosok LaRue agak mengganggu. Atau kisah sakitnya Annie yang tak terlalu relevan dengan keseluruhan cerita. Sementara itu, kesadaran Franz akan cintanya pada Annie saat bertemu dengan banyak wanita cantik di dunia yang penuh petualangan hampir membuat tergelincir menjadi cerita yang cengeng.
Secara keseluruhan, membaca buku ini mengulik hasrat untuk bertualang. Minimal menjadi LaRue dan teman-temannya di rumah pensiun Eskaton, yang selalu bergairah mendengar petualangan Wisner bersaudara. Atau mengingatkan kembali bahwa beberapa ikatan persaudaraan dalam keluarga yang hilang tak berarti putus. Hanya perlu waktu dan kesempatan bersama untuk menemukannya kembali.
UTAMI WIDOWATI
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar