ADIL No.39 | III | 20 November-17 Desember 2008
Abu Semar adalah nama samaran seorang anggota parlemen negeri ini yang mengutarakan kisahnya dan kisah teman-temannya sesama wakil rakyat. Lahirlah buku Parlemen Undercover yang menceritakan kisah-kisah sontoloyo wakil rakyat. Buku ini lucu, menggelitik, namun terkadang menyebalkan. Lucu karena para wakil rakyat ternyata juga manusia. Ambil kisah \"toilet kafir\". Kiai Badruzzaman adalah anggota parlemen dari daerah terpencil yang terkaget-kaget masuk ke hotel mewah dan tak tahu cara menggunakan toilet.
Menggelitik sebab berbagai kisah mereka yang memancing rasa ingin tahu atau membuat kita tersenyum. Seperti kisah \"karaoke karo kowe\" dimana sang wakil rakyat diajak untuk berkaraoke plus-plus. Anggota parlemen ini panas dingin karena tak terbiasa dan menolak halus. Juga cerita parlementarian yang membakar fotonya menghadiri tarian perut karena pers \"akan berpikir pekerjaan anggota parlemen hanya kelayapan di kafe-kafe untuk menonton tari perut\" (h.36)
Menyebalkan karena para wakil rakyat terkesan lebih banyak membuang waktu untuk bersenang-senang tinimbang berdarma bakti untuk rakyat dan negeri. Mulai dari pengangkatan \"sekretaris selembar benang\" yang dipilih karena lekuk badan yang aduhai. Atau kisah wakil rakyat yang memiliki artis pemain sinetron sebagai \"anak asuh\". Demikian pula kisah pemerasan oleh asisten atau selingkuh para wakil rakyat. Pun cerita tentang bagaimana staf Departemen Luar Negeri mengeluh karena susah melayani para istri anggota parlemen yang sibuk berbelanja barang bermerek dan hanya \"menjadi beban para diplomat kita di luar negeri\" (h.69).
Abu Semarjuga menggambarkan bagaimana masalah kebijakan publik hanya berujung pada masalah duit. Lihatlah kisah \"Nuklir No, Jalan-jalan Yes\". Negeri ini khawatir soal kelangkaan energi. Maka tenaga nuklir mulai dilirik untuk menyuplai listrik. Lalu diusulkanlah kunjungan bagi anggota dewan ke Korea Selatan dan Jepang sebagai dua negara yang sukses dengan program PLTN. Sejumlah nama parlementarian pun diusulkan untuk berangkat. Tiba-tiba, program kunjungan studi ke luar negeri itu menuai protes keras. Tuduhan berdatangan, dari tuduhan pelanggaran etik hingga keberangkatan yang dibiayai oleh para pembuat reaktor. Juga datang keberatan dari LSM dan organisasi non-pemerintah (ornop).
Namun ternyata kehebohan masalah itu bukan disebabkan oleh kepedulian kepada rakyat atau bahaya reaktor nuklir. Melainkan semata karena kecemburuan beberapa anggota dewan yang tidak diajak berangkat studi ke Jepang dan Korea Selatan. Mereka lah yang menggerakkan protes yang lebih besar dari bahaya bencana nuklir itu. Duh, celaka.
Parlemen Undercover mengungkapkan banyak sisi yang kerap disembunyikan dan sering ditabukan namun lantas disajikan dengan paparan setajam pisau silet. Kelakuan dan kejahatan para wakil rakyat dipampangkan lebar-lebar. Skandal demi skandal diulas dengan lugas, bernas, dan membuat kita menahan nafas. Wajar saja bila kemudian buku ini disajikan dengan nama samaran di negeri samaran, Abu Semar dari negeri Indosiasat.
Menariknya, buku ini seakan menggabungkan Mati Ketawa Cara Rusia dan Jakarta Undercover. Andai dikelola lebih mendalam dan ditelusuri lebih seksama boleh jadi dan bukan tak mungkin buku ini nantinya dapat menguak lebih banyak hal dan menjadikannya sejajar dengan \"Ali President\\\'s Men\" yang menguak tabir persekongkolan politik dalam kasus Watergate dan menurunkan Presiden Nixon.
Tetapi Parlemen Undercover sepertinya memang tak didesain untuk itu melainkan sekadar pemotretan realita yang ada di Senayan dalam konteks ringan dan bersahaja laksana obrolan santai di sore hari. Dalam hal ini Parlemen Undercover sangat sukses. Bahasa yang santai, ringan, dan renyah menjadi kekuatan buku ini. Alur yang disajikan pun tak kalah menarik. Kisah-kisah dibagi-bagi dari mulai yang paling ringan dan sensasional ke masalah-masalah persidangan. Satu demi satu kisah diutarakan dengan cara yang lancar disertai gambaran panoramis di awal plus sedikit kejutan di belakang. Belum lagi pengikutsertaan ilustrasi apik di sela-sela setiap kisah yang benar-benar membantu kita menikmati buku ini dengan santai tanpa kerut kening sembari menyeruput kopi dan sesekali tertawa terbahak-bahak atau pun menyimpul senyum.
Namun Parlemen Undercover juga membawa pesan moral yang sangat berharga. Parlemen negeri Indosiasat sepertinya banyak dihuni oleh orang-orang yang tak kompeten, tak cakap, dan hanya sibuk saling menelikung, berbuat culas, berlomba bejat, beradu siasat. Di gedung mulia itu, para wakil rakyat Indosiasat seakan tak henti mengumbar syahwat: entah syahwat sanggama atau syahwat kuasa. Rakyat masuk konsideran akhir atau malah tak dipedulikan sama sekali. Para wakil rakyat dalam Parlemen Undercover gagal menjadi suara rakyat apalagi mewakili rakyat. Tak heran negeri ini terus tertinggal. ■ md
Abu Semar adalah nama samaran seorang anggota parlemen negeri ini yang mengutarakan kisahnya dan kisah teman-temannya sesama wakil rakyat. Lahirlah buku Parlemen Undercover yang menceritakan kisah-kisah sontoloyo wakil rakyat. Buku ini lucu, menggelitik, namun terkadang menyebalkan. Lucu karena para wakil rakyat ternyata juga manusia. Ambil kisah \"toilet kafir\". Kiai Badruzzaman adalah anggota parlemen dari daerah terpencil yang terkaget-kaget masuk ke hotel mewah dan tak tahu cara menggunakan toilet.
Menggelitik sebab berbagai kisah mereka yang memancing rasa ingin tahu atau membuat kita tersenyum. Seperti kisah \"karaoke karo kowe\" dimana sang wakil rakyat diajak untuk berkaraoke plus-plus. Anggota parlemen ini panas dingin karena tak terbiasa dan menolak halus. Juga cerita parlementarian yang membakar fotonya menghadiri tarian perut karena pers \"akan berpikir pekerjaan anggota parlemen hanya kelayapan di kafe-kafe untuk menonton tari perut\" (h.36)
Menyebalkan karena para wakil rakyat terkesan lebih banyak membuang waktu untuk bersenang-senang tinimbang berdarma bakti untuk rakyat dan negeri. Mulai dari pengangkatan \"sekretaris selembar benang\" yang dipilih karena lekuk badan yang aduhai. Atau kisah wakil rakyat yang memiliki artis pemain sinetron sebagai \"anak asuh\". Demikian pula kisah pemerasan oleh asisten atau selingkuh para wakil rakyat. Pun cerita tentang bagaimana staf Departemen Luar Negeri mengeluh karena susah melayani para istri anggota parlemen yang sibuk berbelanja barang bermerek dan hanya \"menjadi beban para diplomat kita di luar negeri\" (h.69).
Abu Semarjuga menggambarkan bagaimana masalah kebijakan publik hanya berujung pada masalah duit. Lihatlah kisah \"Nuklir No, Jalan-jalan Yes\". Negeri ini khawatir soal kelangkaan energi. Maka tenaga nuklir mulai dilirik untuk menyuplai listrik. Lalu diusulkanlah kunjungan bagi anggota dewan ke Korea Selatan dan Jepang sebagai dua negara yang sukses dengan program PLTN. Sejumlah nama parlementarian pun diusulkan untuk berangkat. Tiba-tiba, program kunjungan studi ke luar negeri itu menuai protes keras. Tuduhan berdatangan, dari tuduhan pelanggaran etik hingga keberangkatan yang dibiayai oleh para pembuat reaktor. Juga datang keberatan dari LSM dan organisasi non-pemerintah (ornop).
Namun ternyata kehebohan masalah itu bukan disebabkan oleh kepedulian kepada rakyat atau bahaya reaktor nuklir. Melainkan semata karena kecemburuan beberapa anggota dewan yang tidak diajak berangkat studi ke Jepang dan Korea Selatan. Mereka lah yang menggerakkan protes yang lebih besar dari bahaya bencana nuklir itu. Duh, celaka.
Parlemen Undercover mengungkapkan banyak sisi yang kerap disembunyikan dan sering ditabukan namun lantas disajikan dengan paparan setajam pisau silet. Kelakuan dan kejahatan para wakil rakyat dipampangkan lebar-lebar. Skandal demi skandal diulas dengan lugas, bernas, dan membuat kita menahan nafas. Wajar saja bila kemudian buku ini disajikan dengan nama samaran di negeri samaran, Abu Semar dari negeri Indosiasat.
Menariknya, buku ini seakan menggabungkan Mati Ketawa Cara Rusia dan Jakarta Undercover. Andai dikelola lebih mendalam dan ditelusuri lebih seksama boleh jadi dan bukan tak mungkin buku ini nantinya dapat menguak lebih banyak hal dan menjadikannya sejajar dengan \"Ali President\\\'s Men\" yang menguak tabir persekongkolan politik dalam kasus Watergate dan menurunkan Presiden Nixon.
Tetapi Parlemen Undercover sepertinya memang tak didesain untuk itu melainkan sekadar pemotretan realita yang ada di Senayan dalam konteks ringan dan bersahaja laksana obrolan santai di sore hari. Dalam hal ini Parlemen Undercover sangat sukses. Bahasa yang santai, ringan, dan renyah menjadi kekuatan buku ini. Alur yang disajikan pun tak kalah menarik. Kisah-kisah dibagi-bagi dari mulai yang paling ringan dan sensasional ke masalah-masalah persidangan. Satu demi satu kisah diutarakan dengan cara yang lancar disertai gambaran panoramis di awal plus sedikit kejutan di belakang. Belum lagi pengikutsertaan ilustrasi apik di sela-sela setiap kisah yang benar-benar membantu kita menikmati buku ini dengan santai tanpa kerut kening sembari menyeruput kopi dan sesekali tertawa terbahak-bahak atau pun menyimpul senyum.
Namun Parlemen Undercover juga membawa pesan moral yang sangat berharga. Parlemen negeri Indosiasat sepertinya banyak dihuni oleh orang-orang yang tak kompeten, tak cakap, dan hanya sibuk saling menelikung, berbuat culas, berlomba bejat, beradu siasat. Di gedung mulia itu, para wakil rakyat Indosiasat seakan tak henti mengumbar syahwat: entah syahwat sanggama atau syahwat kuasa. Rakyat masuk konsideran akhir atau malah tak dipedulikan sama sekali. Para wakil rakyat dalam Parlemen Undercover gagal menjadi suara rakyat apalagi mewakili rakyat. Tak heran negeri ini terus tertinggal. ■ md
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar