Jawa Pos, Minggu, 01 Maret 2009
Istanbul dan Pamuk merupakan satu kesatuan yang saling membentuk dalam proses kepengarangan Orhan Pamuk. Istanbul dengan latar sejarahnya yang pernah gemilang di bawah Kesultanan Usmani berabad lampau dan mengalami kemunduran di abad ke-20, pada saat Turki perlahan mengubah menjadi republik dan berkiblat ke Eropa; sementara di sisi lain Orhan Pamuk yang mengambil jalan hidup yang berseberangan dengan rata-rata keluarga kaya dengan memilih menjadi pelukis kemudian pengarang. Antara kota yang membentang kesejarahannya dan pilihan hidup Pamuk tersebut bisa dikatakan paduan yang memukau bagi novel-novel karya Orhan Pamuk di kemudian hari.
Apa yang membedakan seseorang yang menjalani kehidupannya sebagai seorang pengarang dan yang bukan pengarang terletak pada kemampuannya menghayati tempat di mana mereka hidup. Bagi yang bukan pengarang, kota sebatas panggung kontestasi ekonomi-politik yang berujung pada seseorang menjadi penghuni kelas yang bermartabat atau penghuni kelas yang tidak mendapat penghormatan alias menjadi papa di kotanya. Bagi yang bukan pengarang kota tidak lebih medan persaingan tak berujung bagi nasib penghuninya. Kota bak papan catur penuh kemungkinan antara kehidupan yang beruntung atau sial. Dalam arti ini, gambaran kota yang sering diasosiasikan dengan kejam atau penuh kemewahan ada pada pemahaman apakah kota tersebut dialami sebagai suatu penderitaan atau sebaliknya, penuh keberuntungan. Kota menjadi kering dan tidak memiliki makna yang mendalam di luar kategori sial atau beruntung.
Namun demikian, bagi mereka memilih jalan kehidupannya sebagai pengarang sebagaimana ditunjukkan dengan meyakinkan sekaligus indah oleh Pamuk, kota akan menyuguhkan sebuah pemandangan yang menarik dan pada titik-titik tertentu sangat bermakna dan hidup. Sebelum Pamuk mengetengahkan pendapat bahwa Istanbul merupakan kota yang paling berkesan sepanjang hidupnya, dia telah mengadakan penelusuran bagaimana para pengarang dan penyair terdahulu mengalami bagaimana Kota Istanbul hidup dalam karya maupun kehidupan pribadinya.
Istanbul yang terwujud dalam karya-karya Abulhak Sinasi Hisar, Yahya Kemal, Ahmet Hamdi Tanpinar, atau Resat Ekrem Kocu adalah para penulis yang Orhan Pamuk anggap berhasil menyelami jiwa kehidupan Kota Istanbul. Menurutnya, dalam karya maupun kehidupan keempat penulis tersebut Istanbul hadir dalam kenyataan yang melankolik. Sifat melankoli yang dirundung Istanbul setelah kota ini mengalami kemunduran dengan jatuhnya Kesultanan Usmani dan pada 1920-an dengan mengambil sistem republik dalam pemerintahan untuk mengelola Turki. Jalur nasionalis inilah yang mula-mula mengubah, bukan hanya seluruh aspek budaya dan politik di Turki, tetapi secara lebih spesifik mengubah secara mendasar Istanbul yang pada abad ke-19 menjadi tujuan utama para pelancong-penulis Prancis untuk mencari akar-akar oriental. Perubahan di Istanbul dengan memilih jalur nasionalisme ini tidak menghendaki adanya perbedaan dalam bahasa, etnik, selera, dan secara umum tentunya sebuah bentuk kebudayaan. Nilai-nilai chauvimisme yang dengan sengaja diperbolehkan oleh rezim berkuasa telah mematikan perlahan-lahan keanekaragaman dalam berbahasa di Istambul dan tentunya ini mematikan kebudayaan yang pernah menawan seantero Asia maupun Eropa.
Dalam masa Kesultanan Usmani, Istanbul tempat tumbuh suburnya berbagai bahasa dari orang Rusia, Armenia, Albania, Yunani, Prancis, Inggris --terutama daerah kekuasaan kesultanan. Setelah Republik Turki berdiri, terutama setelah kekalahan selama Perang Dunia I, sikap chauvimisme ini kian menguat dengan kehendak untuk mendirikan sebuah Turki yang tunggal. Dilematisnya, kehendak Turki yang tunggal secara politik menjadi mendua tatkala Turki berkeinginan untuk menjadi sekuler seperti Eropa. Kemenduaan ini menjadikan Turki dan secara khusus Istanbul membuat silang sengkarutnya identitas yang ingin dikenakan oleh warganya.
Dilematis dalam menentukan identitas inilah yang ditangkap keempat penulis yang disebutkan Orhan dan juga yang dialami Orhan Pamuk sendiri. Keinginan untuk menjadi Eropa dan keinginan untuk mencari identitas nasionalnya yang khas memerangkap mereka dalam sebuah situasi melankolik, murung atau h�z�n dalam bahasa Turki. Situasi melankolik ini terpapar di seantero Kota Istanbul. Bagi Pamuk, kemurungan ini terlihat pada jalan-jalan, gang-gang sempit di komunitas warga miskin, pelabuhan, asap-asap kapal di pantai Bosphorus, kemiskinan yang merajalela, bangunan-bangunan lama peninggalan Kesultanan Usmani yang terbengkelai, kehidupan warga kaya yang berorientasi barat tetapi gagal dan justru kering secara spiritual.
Ambivalensi yang merundung Istanbul terus-menerus semenjak jatuhnya Kesultanan Turki dan berdirinya Republik Turki ini secara serentak juga memengaruhi kehidupan Orhan Pamuk secara pribadi. Sepanjang halaman buku Istanbul, suasana melankoli membayang begitu pekat. Seolah Pamuk tidak memiliki satu titik pun untuk keluar dari perangkap melankoli yang terbentuk secara sosial dan politik dan seluruh penghuni Istanbul secara tidak sadar mengalaminya. Semenjak Pamuk bayi hingga ia berusia 20 tahun ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya di Fakultas Arsitektur dan keinginannya untuk menjadi pelukis dan memutuskan hidup untuk menulis, suasana melankolik demikian kental.
Apa yang Pamuk alami kala ia lahir dengan membandingkan situasi yang berkembang saat itu, kala ia masih bocah, kala remaja, dan kala perantara menjadi dewasa, tak lain adalah gambaran suasana melankolik. Ia menggambarkan dirinya seorang yang tidak pernah mengalami suasana riang dan penuh kegembiraan kecuali ketika ia mabuk-mabukan bersama teman sekolah menengahnya dan menggoda gadis-gadis seusianya dengan kendaraan mewah ayah-ayah mereka. Semenjak remaja pun ia tidak memiliki sikap yang demikian optimistis sebagaimana yang terangkum dalam kehidupan kakaknya yang ia gambarkan sebagai tertib dan terampil terutama dalam kaitannya dengan pelajaran matematika dan fisika.
Dilematis dan ambivalensi antara kehidupan pribadi Pamuk dan suasana Kota Istanbul inilah yang menjadi dasar dari semangat novel-novel yang Orhan Pamuk tulis di kemudian hari. Suasana melankolik dan seakan tidak memiliki masa depan yang menghinggapi semua tokoh-tokoh novelnya dapat diperbandingkan dengan apa yang ia tuturkan dalam buku memornya ini. Sekalipun karya My Name is Red dan Snow mengambil latar waktu yang berbeda, dapat dirasakan kemurungan Kota Istanbul itu. Kemurungan yang menjadi tema semua novelnya memang dialami oleh semua warga Istanbul, tetapi yang menangkap jiwanya adalah seorang Orhan Pamuk. Dan tema kemurungan inilah yang kemudian ditangkap oleh juri Nobel Sastra yang mengantarkan Orhan Pamuk meraihnya pada 2006. (*)
*) Imam Muhtarom, peminat sastra dan kota.
Istanbul dan Pamuk merupakan satu kesatuan yang saling membentuk dalam proses kepengarangan Orhan Pamuk. Istanbul dengan latar sejarahnya yang pernah gemilang di bawah Kesultanan Usmani berabad lampau dan mengalami kemunduran di abad ke-20, pada saat Turki perlahan mengubah menjadi republik dan berkiblat ke Eropa; sementara di sisi lain Orhan Pamuk yang mengambil jalan hidup yang berseberangan dengan rata-rata keluarga kaya dengan memilih menjadi pelukis kemudian pengarang. Antara kota yang membentang kesejarahannya dan pilihan hidup Pamuk tersebut bisa dikatakan paduan yang memukau bagi novel-novel karya Orhan Pamuk di kemudian hari.
Apa yang membedakan seseorang yang menjalani kehidupannya sebagai seorang pengarang dan yang bukan pengarang terletak pada kemampuannya menghayati tempat di mana mereka hidup. Bagi yang bukan pengarang, kota sebatas panggung kontestasi ekonomi-politik yang berujung pada seseorang menjadi penghuni kelas yang bermartabat atau penghuni kelas yang tidak mendapat penghormatan alias menjadi papa di kotanya. Bagi yang bukan pengarang kota tidak lebih medan persaingan tak berujung bagi nasib penghuninya. Kota bak papan catur penuh kemungkinan antara kehidupan yang beruntung atau sial. Dalam arti ini, gambaran kota yang sering diasosiasikan dengan kejam atau penuh kemewahan ada pada pemahaman apakah kota tersebut dialami sebagai suatu penderitaan atau sebaliknya, penuh keberuntungan. Kota menjadi kering dan tidak memiliki makna yang mendalam di luar kategori sial atau beruntung.
Namun demikian, bagi mereka memilih jalan kehidupannya sebagai pengarang sebagaimana ditunjukkan dengan meyakinkan sekaligus indah oleh Pamuk, kota akan menyuguhkan sebuah pemandangan yang menarik dan pada titik-titik tertentu sangat bermakna dan hidup. Sebelum Pamuk mengetengahkan pendapat bahwa Istanbul merupakan kota yang paling berkesan sepanjang hidupnya, dia telah mengadakan penelusuran bagaimana para pengarang dan penyair terdahulu mengalami bagaimana Kota Istanbul hidup dalam karya maupun kehidupan pribadinya.
Istanbul yang terwujud dalam karya-karya Abulhak Sinasi Hisar, Yahya Kemal, Ahmet Hamdi Tanpinar, atau Resat Ekrem Kocu adalah para penulis yang Orhan Pamuk anggap berhasil menyelami jiwa kehidupan Kota Istanbul. Menurutnya, dalam karya maupun kehidupan keempat penulis tersebut Istanbul hadir dalam kenyataan yang melankolik. Sifat melankoli yang dirundung Istanbul setelah kota ini mengalami kemunduran dengan jatuhnya Kesultanan Usmani dan pada 1920-an dengan mengambil sistem republik dalam pemerintahan untuk mengelola Turki. Jalur nasionalis inilah yang mula-mula mengubah, bukan hanya seluruh aspek budaya dan politik di Turki, tetapi secara lebih spesifik mengubah secara mendasar Istanbul yang pada abad ke-19 menjadi tujuan utama para pelancong-penulis Prancis untuk mencari akar-akar oriental. Perubahan di Istanbul dengan memilih jalur nasionalisme ini tidak menghendaki adanya perbedaan dalam bahasa, etnik, selera, dan secara umum tentunya sebuah bentuk kebudayaan. Nilai-nilai chauvimisme yang dengan sengaja diperbolehkan oleh rezim berkuasa telah mematikan perlahan-lahan keanekaragaman dalam berbahasa di Istambul dan tentunya ini mematikan kebudayaan yang pernah menawan seantero Asia maupun Eropa.
Dalam masa Kesultanan Usmani, Istanbul tempat tumbuh suburnya berbagai bahasa dari orang Rusia, Armenia, Albania, Yunani, Prancis, Inggris --terutama daerah kekuasaan kesultanan. Setelah Republik Turki berdiri, terutama setelah kekalahan selama Perang Dunia I, sikap chauvimisme ini kian menguat dengan kehendak untuk mendirikan sebuah Turki yang tunggal. Dilematisnya, kehendak Turki yang tunggal secara politik menjadi mendua tatkala Turki berkeinginan untuk menjadi sekuler seperti Eropa. Kemenduaan ini menjadikan Turki dan secara khusus Istanbul membuat silang sengkarutnya identitas yang ingin dikenakan oleh warganya.
Dilematis dalam menentukan identitas inilah yang ditangkap keempat penulis yang disebutkan Orhan dan juga yang dialami Orhan Pamuk sendiri. Keinginan untuk menjadi Eropa dan keinginan untuk mencari identitas nasionalnya yang khas memerangkap mereka dalam sebuah situasi melankolik, murung atau h�z�n dalam bahasa Turki. Situasi melankolik ini terpapar di seantero Kota Istanbul. Bagi Pamuk, kemurungan ini terlihat pada jalan-jalan, gang-gang sempit di komunitas warga miskin, pelabuhan, asap-asap kapal di pantai Bosphorus, kemiskinan yang merajalela, bangunan-bangunan lama peninggalan Kesultanan Usmani yang terbengkelai, kehidupan warga kaya yang berorientasi barat tetapi gagal dan justru kering secara spiritual.
Ambivalensi yang merundung Istanbul terus-menerus semenjak jatuhnya Kesultanan Turki dan berdirinya Republik Turki ini secara serentak juga memengaruhi kehidupan Orhan Pamuk secara pribadi. Sepanjang halaman buku Istanbul, suasana melankoli membayang begitu pekat. Seolah Pamuk tidak memiliki satu titik pun untuk keluar dari perangkap melankoli yang terbentuk secara sosial dan politik dan seluruh penghuni Istanbul secara tidak sadar mengalaminya. Semenjak Pamuk bayi hingga ia berusia 20 tahun ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya di Fakultas Arsitektur dan keinginannya untuk menjadi pelukis dan memutuskan hidup untuk menulis, suasana melankolik demikian kental.
Apa yang Pamuk alami kala ia lahir dengan membandingkan situasi yang berkembang saat itu, kala ia masih bocah, kala remaja, dan kala perantara menjadi dewasa, tak lain adalah gambaran suasana melankolik. Ia menggambarkan dirinya seorang yang tidak pernah mengalami suasana riang dan penuh kegembiraan kecuali ketika ia mabuk-mabukan bersama teman sekolah menengahnya dan menggoda gadis-gadis seusianya dengan kendaraan mewah ayah-ayah mereka. Semenjak remaja pun ia tidak memiliki sikap yang demikian optimistis sebagaimana yang terangkum dalam kehidupan kakaknya yang ia gambarkan sebagai tertib dan terampil terutama dalam kaitannya dengan pelajaran matematika dan fisika.
Dilematis dan ambivalensi antara kehidupan pribadi Pamuk dan suasana Kota Istanbul inilah yang menjadi dasar dari semangat novel-novel yang Orhan Pamuk tulis di kemudian hari. Suasana melankolik dan seakan tidak memiliki masa depan yang menghinggapi semua tokoh-tokoh novelnya dapat diperbandingkan dengan apa yang ia tuturkan dalam buku memornya ini. Sekalipun karya My Name is Red dan Snow mengambil latar waktu yang berbeda, dapat dirasakan kemurungan Kota Istanbul itu. Kemurungan yang menjadi tema semua novelnya memang dialami oleh semua warga Istanbul, tetapi yang menangkap jiwanya adalah seorang Orhan Pamuk. Dan tema kemurungan inilah yang kemudian ditangkap oleh juri Nobel Sastra yang mengantarkan Orhan Pamuk meraihnya pada 2006. (*)
*) Imam Muhtarom, peminat sastra dan kota.
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar