Selasa, 18 November 2008

[resensi buku] Merebut Hati Himalaya

TEMPO Interaktif, Rabu, 12 November 2008

Tiga cangkir teh di Himalaya. Cangkir pertama adalah sambutan untuk tamu asing. Cangkir kedua menandakan si tamu sudah dianggap teman. Nah, pada cangkir ketiga, "Kau bergabung dengan keluarga kami dan karena itu keluarga kami siap berbuat apa pun, bahkan mati, demi dirimu."

Makna tiga cangkir teh itu disampaikan Haji Ali Korphe, kepala desa di Gunung Korakoram, kepada Greg Mortenson, 51 tahun. Lelaki asal Montana, Amerika Serikat, ini telah bertahun-tahun mondar-mandir di labirin Pegunungan Himalaya.

Sahib Greg, begitu dia dipanggil, mulanya adalah pendaki gunung. Pada 1993 dia mendaki K2, puncak tertinggi di Karakoram, Himalaya. Sial, dia tersesat. Tubuhnya nyaris membeku. Kematian berjarak seujung kuku.

Setelah berhari-hari dihajar beku salju Karakoram, Mortenson diselamatkan orang gunung. Dia dirawat di rumah Haji Ali Korphe. Cangkir demi cangkir teh dihidangkan. Mortenson telah menjadi bagian dari jantung Korakoram.

Jatuh hati pada ketulusan warga, Mortenson berjanji akan membangun sebuah gedung sekolah untuk desa ini. Janji yang sungguh tidak mudah. Desa-desa di pucuk gunung itu tak mudah diraih. Alam yang keras membentengi mereka dari dunia luar.

Mortenson muda, ketika itu 37 tahun, kembali ke Amerika. Dia terkaget-kaget mendapati kenyataan bahwa menggalang dana sama sekali tidak gampang. Ada 580 surat permintaan dana dilayangkan, tapi hanya ada satu surat balasan dengan lampiran cek US$ 100.

Jean Hornie, seorang jutawan yang sedang sekarat, kebetulan mendengar kisah Mortenson dan memberinya US$ 20 ribu. "Ini tak seberapa dibanding uang yang bisa dihabiskan mantan istriku dalam sehari," kata Hoerni. "Bangunkan aku sebuah sekolah di Himalaya."

Menembus alam yang ganas, diakali orang-orang culas, dikenai fatwa haram oleh ulama kolot, bahkan disekap tentara Taliban adalah menu yang harus dihadapi. David Oliver Relin, penulis yang mendampingi Mortenson, menyajikan drama nyata di Pegunungan Himalaya ini dengan narasi menarik. Maka buku ini terhitung sebagai buku terlaris versi New York Times selama 74 pekan, sejak diterbitkan akhir 2007. Bulan lalu, Three Cups of Tea sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Hikmah.

Kesulitan tak membuat Mortenson patah arang. Gedung sekolah berhasil dia bangun. Tak hanya satu, tapi ada 55 gedung sekolah di sepanjang perbatasan Pakistan dan Afganistan. Sebuah pencapaian luar biasa.

Pencapaian yang didapat dengan melibatkan masyarakat. Penduduk wajib berunding jika ingin desanya dibangunkan gedung sekolah. Mereka harus menyediakan tanah dan tenaga untuk proses membangun. Walhasil, ketika ada pasukan Taliban mengganggu ketenteraman sekolah, penduduk desa berada di barisan paling depan. "Akan kami bela sampai mati," kata Haji Ali Korphe.

Lebih dari sekadar membangun gedung, Mortenson adalah contoh tentang bagaimana merangkul sesama manusia dengan tulus. Kerja humanitarian yang tidak membuat orang menadahkan tangan, tapi menempatkan orang yang ditolong dalam posisi bermartabat.

Di pedalaman Himalaya, Mortenson menyaksikan betapa kelompok radikal rajin merekrut remaja belasan tahun. Hanya dengan imbalan US$ 300, anak-anak itu menyerahkan hidup mereka kepada Taliban. Ibu-ibu yang berpendidikan, menurut Mortenson, lebih kuat melindungi anak mereka dari godaan untuk bergabung dengan kaum militan. "Itu sebabnya, mendidik perempuan sangat penting," katanya.

Kerja keras Mortenson membuktikan bahwa pendidikan adalah cara jitu menekan fundametalisme, bukan bom dan bukan rudal. Seperti tonik, dia memberi darah baru bagi masyarakat yang miskin dan terabaikan. Pendidikan sanggup membuka cakrawala di tempat sedingin dan setinggi Himalaya.

Melalui buku 368 halaman ini, Mortenson meyakinkan dunia bahwa pendidikan jauh lebih efektif dan murah ketimbang jurus militeristik ala pemerintah George Bush. Satu misil Tomahawk, misalnya, berharga minimal US$ 500 ribu. Uang sebanyak itu bisa untuk membangun selusin sekolah di Himalaya. Letnan Kolonel Christopher Kolenda, perwira Amerika yang bertugas di Afganistan, memuji kerja Mortenson. "Saya yakin, solusi jangka panjang di Afganistan adalah pendidikan," katanya.

Sebuah solusi yang, tentu saja, berlaku tak hanya untuk Afganistan, tapi juga untuk negeri ini.

Mardiyah Chamim


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: