Selasa, 13 Oktober 2009

[resensi buku] Benturan Peradaban dalam Salju Kehidupan

Kompas.com, Kamis, 8 Oktober 2009

Setiap peradaban selalu melahirkan gejolak yang penuh makna. Gejolak peradaban bisa melahirkan kemajuan yang fantastis dan mempesona. Bisa juga melahirkan konflik dan benturan yang mengorbankan jutaan nyawa manusia sebagai figuran. Konflik lintas peradaban dalam gerak politik global telah membenturkan Barat dan Timur dalam seberang pembantaian dan pembunuhan yang terus digelar. Bahkan atas dasar doktrin agama, konflik seolah diritualkan menjadi ritus agama yang dilegalkan. Tragisnya, para agamawan kadang kala menjadi aktor utama dibalik ragam tragedi yang terus meruyak di muka bumi. Dengan jubahnya yang besar, agamawan menjadikan kitab suci sebagai "kitab konflik" yang terus diproduksi setiap waktu.

Seorang novelis peraih nobel sastra tahun 2006, Orhan Pamuk, gusar dengan fakta benturan Barat-Timur yang terus bergejolak. Pamuk yang berkebangsaan Turki menggugat gejolak konflik tersebut dengan karya-karya briliannya. Novel Snow ini seolah melanjutkan gagasan dalam novelnya yang bertajuk My Name is Red, yang menjadi karya Pamuk dalam merebut nobel sastra tahun 2006. Pamuk mencoba mendamaikan dua "kutub" pemikiran yang selama ini berseberangan, dan mencoba membangun dialog terbuka yang toleran. Karya pamuk yang diterbitkan di berbagai negara dan seringkali memenangkan penghargaan karya fiksi internasional diharapkan Pamuk mampu menjadi bacaan berharga masyarakat dunia dalam membangun peradaban yang dialogis.

Kalau dalam My Name is Red Pamuk mengurai sebuah petualangan yang rumit, Snow hadir dengan petualangan yang gampang dan renyah. Novel ini berkisah seorang wartawan dan penyair bernama Ka di Kars, sebuah kota kecil diperbatasan Turki. Diawali keinginannnya untuk menyelidiki kasus bunuh diri yang semakin mewabah di kalangan wanita muda kota itu, juga hasrat untuk menemukan cinta masa lalunya, tanpa sadar Ka terseret dalam di dalam gejolak kemelut Kars. Konflik antar gerakan Islam, pertikaian antara agama dan sekularisme, serta aparat penguasa yang bertindak sewenang-wenang hanyalah segelintir gunung es masalah di kota yang terisolasi selama berkecamuknya badai salju yang ganas itu.

Petualangan Ka dalam Snow diramu dengan begitu asyik dalam keheningan salju. Salju menjelma sebuah petualangan yang menyisakan jejak-jejak hidup Ka setiap menghadapi berbagai problem kehidupan. Dalam salju itulah, jalan hidup Ka bisa ditelusur secara kronikal, berbekas, dan penuh hamburan konflik yang penuh bias. Salju konflik memang selalu hadir dalam dalam setiap gerak yang dilakoni Ka, tetapi Ka selalu bisa menempatkan dirinya dalam sebuah keheningan, kejernihan, dan kepala dingin, persis seperti salju yang dingin. Ya, dalam diri Ka, salju menjadi kehidupan. "Tempat menjadi ujung dunia," demikian ujar Ka melukiskan makna salju (hal. 639). Kehidupan yang melompatkan gerak emosi dan pikiran dalam penjelajahan benturan peradaban yang diramu secara menyentuh oleh Pamuk.

Salju kehidupan menjelajah kisah kesulitan yang dihadapi oleh sebuah bangsa yang terbelah antara tradisi, agama, dan modernisasi. Di tangan Pamuk, seluruh permaslahan itu tersaji tersaji menjadi sebuah kisah thriller politik yang mencekam dan meninggalkan kesan mendalam. Dalam saat yang mencekam, Pamuk mengisahkan tragedi bunuh diri yang dilakukan warga Kars yang dililit konflik batin keagamaan. Warga Kars dicekam sebuah aksioma yang membentur-benturkan sajian konflik batin, karena dihadapkan berbagai problem hidup yang penuh bias. Di saat yang sama, warga Kars juga harus menghadapi kondisi kemiskinan yang terus merenggut nasib warga tak berada (the have not).

Pergulatan agama dan hembusan modernisasi juga terjadi dalam kisah ihwal jilbab. Ka menemui warga Kars yang bersepsi berbeda-beda dalam memahami syariah jilbab. Mereka yang masih memahami ajaran agama secara doktrinal, jilbab menjadi identitas agama "haram" dilepas. Jilbab menjadi penutup "aurat agama" yang bila dilepas dikenakan dosa versi agama. Sementara mereka yang sudah terkena hembusan modernisasi, jilbab bukan lagi dimaknai secara "aurat agama", tetapi sebagai simbol budaya. Karena sebuah simbol budaya, maka pemakaian jilbab tidaklah berhubungan dengan teks agama. Berjilbab, dengan demikian, adalah ritual budaya yang pasti berubah setiap saat, sesuai dengan perubahan kondisi kebudayaan jaman.

Benturan tradisi, agama, dan modernisasi menjadi isu utama Pamuk yang terlukis dalam perjalanan (journey) Ka. Kota Kars yang disajikan Pamuk sebagai kota multitradisi dan multiperadaban menjadikan sebuah simpul penanda bahwa Pamuk mencoba mengurai Turki sebagai tempat bertemunya Timur-Barat yang terus bertemu selama ini. Pamuk mencoba sebuah menjadikan Turki sebagai basis reseach novelnya dalam menjelajah dialog lintas peradaban. Sosok Ka yang dilukiskan sebagai tokoh utama dalam novel Snow seolah mencerminkan diri Pamuk sendiri yang sedang bergulat dalam benturan gejolak tang tak kunjung usai.

Walaupun cerminan Ka dalam diri Pamuk tidaklah dengan gaya berterus-sapa. Tetapi penanda-penanda yang yang disajikan, walaupun rumit, menggemblangkan pembaca ihwal jalan hidup Pamuk dalam direkam dalam jejak Ka di Kars. Terlebih Ka yang berprofesi sebagai wartawan dan penyair, yang suka menyelami ragam bentuk kehidupan, dan selalu merasa resah setiap kali fakta meruyak dalam dirinya. Pamuk hadir dengan sebuah jawaban yang warna. Semua fakta dileburkan dalam berkesenian, sehingga menjadi kekayaan seni yang berharga. Sampai dia juga terus mendapatkan penghargaan yang prestise dan mempesona.

Dalam telusur itulah, tak salah kalau Margaret Atwood menilai karya Pamuk sebagai bacaan penting bagi jaman kita. Pamuk dinilai sebagai suara tersegar dan terorisinil dalam dunia fiksi kontemporer. Pamuk datang untuk menyapa. Bukan melanggengkan permusuhan. Karena hakekat kemanusiaan saling menghargai, bukan membenci. Saling menyayangi, bukan memaki. Snow hadir diracik untuk saling menghargai dan menyayangi dengan hening, sehening kepingan Salju.

Muhammadun AS
*Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta.


www.mediabuku.com

0 komentar: