Minggu, 26 Juli 2009

[resensi buku] Cinta Lama Sang Pematung Gargoyle

Hernadi Tanzil, Koran Tempo, Edisi 26 Juli 2009

Seorang bintang film porno yang sedang berada dalam puncak kariernya mengalami kecelakaan lalu lintas, mobilnya masuk jurang dan terbakar. Untungnya, walau terpanggang bersama mobilnya dan api membakar kulit, daging, hingga menembus masuk ke tulang dan tendon, nyawanya berhasil diselamatkan.

Setelah melewati masa kritis dan koma selama dua bulan, akhirnya ia sadar. Namun ia harus menanggung akibat dari luka bakar di sekujur tubuhnya. Wajah tampan dan tubuh atletis modal utamanya sebagai aktor film porno hilang sudah, berganti dengan wajah yang rusak dan tubuh yang penuh parut luka permanen. Selain harus kehilangan beberapa jari tangan dan kakinya, ia juga harus rela kehilangan alat vital kebanggaannya yang terbakar habis.

Semuanya itu membuat harga dirinya hancur. Kariernya sebagai aktor dan produser film porno tamat. Karenanya, saat ia melewati berbagai terapi pemulihan dan aneka operasi yang menyakitkan, diam-diam ia berencana untuk melakukan bunuh diri setelah keluar dari rumah sakit.

Di tengah dorongan untuk mengakhiri hidupnya itulah datang seorang wanita bernama Marianne Engel, pematung gargoyle (patung monster yang berfungsi sebagai talang air di atap bangunan-bangunan kuno) yang sedang dirawat di rumah sakit yang sama karena menderita schizofernia. Wanita itu mengaku telah mengenalnya sejak tujuh ratus tahun silam. Ia menghampiri pria itu dan berkata: "Kau telah terbakar lagi."

Selama pria itu dirawat di rumah sakit, Marianne kerap mengunjunginya dan sedikit demi sedikit menceritakan kisah cinta mereka di masa lalu. Ia mengungkapkan bahwa mereka sebenarnya telah hidup dalam ikatan cinta selama ratusan tahun yang lalu. Di kehidupan masa lalunya, di abad ke-14, Marianne adalah biarawati yang bertugas menyalin dan menerjemahkan buku di Biara Engethal, sementara si aktor adalah tentara bayaran. Mereka bertemu ketika si pria yang terluka dan terbakar akibat panah berapi yang menancap di tubuhnya dibawa oleh temannya ke Biara Engethal untuk mendapat perawatan. Nyawa si pria terselamatkan karena panah berapi itu menancap tepat di saku kanannya yang berisi buku Inferno kary Dante Aliaghri.

Sama seperti di kehidupan masa lalunya, Marianne kini merawat si pria hingga sembuh. Seluruh biaya rumah sakit ditanggungnya dan selepas dari rumah sakit, ia mengajak si pria untuk tinggal di rumahnya. Selama mereka hidup bersama, Marianne tetap menceritakan berbagai pengalaman yang mereka lalui di kehidupan masa lalunya. Ia juga menceritakan berbagai dongeng cinta yang indah, menggugah, dan penuh pengorbanan pada pria itu.

Di kehidupan masa lalunya, Marianne pernah hampir terengut nyawanya untuk menyelamatkan si pria. Namun di tengah sakratul maut ia diberi kesempatan untuk tetap hidup dengan sebuah syarat. Ia diberi ribuan jantung yang harus dibagikannya sampai habis, sedangkan jantung terakhirnya harus diberikan pada kekasihnya di kehidupannya kelak.

Di kehidupannya kini, Marianne memberikan jantung-jantungnya pada patung-patung gargoyle yang dikerjakannya. Ratusan patung telah dikerjakannya dan kini masanya telah hampir habis, kepada siapa ia akan memberikan jantung terakhirnya?

Melalui kisah cinta mereka di masa lalu, dan lima dongeng cinta yang menggugah yang diuturkan oleh Marianne, si pria mendapatkan kembali semangat hidupnya. Niatnya untuk bunuh diri sirna sudah. Pengorbanan Marianne baik di kehidupan masa lalunya maupun masa kini yang merawat dan menerima dirinya yang telah cacat secara apa adanya membuat si pria terseret dalam arus pusaran cinta.

Benarkah Marianne dan si pria sebenarnya telah hidup selama tujuh ratus tahun? Apakah ini hanya khayalan gila Marianne yang pernah dirawat karena schizofernia-nya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mungkin timbul dalam benak pembaca selama membaca novel gemuk yang memikat ini. Tampaknya penulis sengaja tak memberikan penjelasan gamblang atas hal tersebut dan membiarkannya menjadi misteri dan memberi keleluasaan bagi pembaca untuk menafsirkannya dan mengembangkan imajinasinya sendiri.

Dengan memikat penulis mengajak pembacanya untuk berkelana melintasi waktu, berpindah-pindah dari dari abad pertengahan dan masa kini. Mengunjungi berbagai negara seperti Jerman, Jepang, Italia, Islandia, Inggris, dan yang paling menarik adalah perjalanan menuju Neraka seperti yang digambarkan Dante Alighieri dalam Inferno.

Novel ini juga memadukan kisah cinta yang penuh pengorbanan dengan penggalan sejarah, filsafat, dan kehidupan biarawati. Lalu disinggung pula mengenai sejarah reproduksi Alkitab dalam bahasa Jerman, sejarah penerbitan dan penerjemahan karya monumental Dante Alighieri, Divine Comedy.

Semua hal itu membuktikan bahwa novel ini dikerjakan dengan riset yang sangat dalam. Beberapa tokoh keagamaan abad pertengahan dan beberapa peristiwa yang menyertainya memang benar-benar ada dan terjadi. Selain itu, pembaca juga mendapat bonus pengetahuan mengenai luka bakar dan penanganan medisnya. Berbagai materi itu membuat novel ini berpotensi untuk menambah wawasan pembacanya.

Penulis juga dengan piawai menghidupkan karakter kedua tokoh utama dalam novel ini dengan menarik. Baik Marianne maupun si pria mendapat porsi yang sama dalam pendalaman karakter. Dengan sabar dan rinci penulis mendeskripsikan latar belakang keduanya sejak kecil hingga kini lengkap dengan pergulatan batin yang mereka hadapi. Semuanya ini membuat pembaca memperoleh gambaran utuh mengenai tokoh dan kisah yang dibangun dalam novel ini.

Ragamnya aspek materi, cerita, serta lompatan-lompatan waktu dari masa lalu ke masa kini tentunya membuat pembaca harus sedikit lebih konsentrasi dalam membaca, belum lagi ditambah dengan selipan beberapa dongeng mengenai cinta sejati yang dituturkan oleh Marianne pada si pria. Untungnya perpindahan waktu, setting, dan kisahnya tersaji dengan rapih sehingga pembaca sadar ke waktu dan kisah mana mereka sedang berada.

Kisah cinta yang dahsyat, penggalan sejarah abad pertengahan, karakter tokoh yang menarik, dan unsur medis penanganan luka bakar dalam novel ini diramu sedemikian rupa sehingga menghadirkan kisah yang menarik dan sulit dilupakan. Tak heran jika novel perdana Andrew Davidson ini langsung meraih sukses ketika pertama kali diterbitkan pada 2007. Selain memperoleh penghargaan sebagai First Fiction Award 2008, novel ini juga masuk dalam beberapa daftar best seller seperti di New York Time Best Seller, Publisher Weekly Best Seller, dan Canadian Best Seller.

Terjemahan yang sangat baik, sampul yang menarik, dan promosi yang gencar tentunya diperlukan agar novel ini juga dapat terbaca oleh para pecinta sastra dan menjadi best seller di Indonesia. Nama Andrew Davidson mungkin masih terasa asing didengar oleh para pecinta fiksi di Indonesia karenanya sangat disayangkan pada edisi terjemahannya tak disertakan keterangan apa pun mengenai penulisnya.

# Hernadi Tanzil, book blogger & book reveiwer


www.mediabuku.com

0 komentar: