Minggu, 26 Juli 2009

[resensi buku] Ke Cina Leonardo da Vinci Bermuara

Koran Tempo, Edisi 26 Juli 2009

DI abad ke-21, Cina adalah naga yang makin kokoh menancapkan cakar. Pertumbuhan ekonomi yang meroket setelah revolusi kebudayaan dan lompatan besar tak hanya membawa negara berpenduduk lebih satu miliar jiwa ini ke pencapaian kemakmuran yang didukung infrastruktur masif dan teknologi tinggi, melainkan juga ekspansi budaya yang kian tak terbendung.

Hari ini nyaris tak ada produk modern yang bebas sentuhan Cina. Dari jarum pentul hingga produk gadget berteknologi tinggi berlabel merek terkemuka Amerika atau Eropa tak lepas dari produksi, kemasan, atau minimal sumbangsih sedikit komponen dari Cina. Dan produk kebudayaannya, sesederhana kue bulan (moon cake), bakso, film, karya seni, dan sastra menerobos batas-batas wilayah hingga ke pelosok terpencil. Televisi dan jaringan Internet mengukuhkan kedigjayaan itu.

Ratusan buku dan ribuan karya ilmiah sudah mengupas bagaimana Cina menggeliat dari ketertinggalan, terutama dibanding Barat Amerika dan Eropa atau bahkan tetangganya, Jepang, dan dengan cepat mencapai kemakmuran ekonomi hanya kurang dari 30 tahun. Daya apa yang menjadi rahasia hingga mereka dapat segera menyejajarkan diri dengan pencapaian bangsa lain, dan bahkan dengan pasti mulai menjadi salah satu pemimpin terdepan di kancah global?

Membaca literatur-literatur terkini itu, bisa disimpulkan, apa yang dicapai Cina adalah perpaduan kompleks persaingan bertahan hidup penduduknya, kerja keras, etos, kecerdasan, budaya, dan sejarah peradabannya yang merentang hingga puluhan abad ke belakang. Dan bahwa Cina hanyalah tertidur sementara, yang ketika terbangun bersigegas menggembalikan kejayaannya sebagaimana yang pernah dicatat sejarah.

Buku berjudul 1434: Saat Armada Besar Cina Berlayar ke Italia dan Mengobarkan Renaisans yang ditulis Gevin Manzies dan diterbitkan Pustaka Alvabet (April 2009) ini adalah konfirmasi bahwa cepat atau lambat Cina akan mengulang sejarah dominasi yang pernah dicapai, yang berpuncak di awal abad ke-15. Buku yang diterjemahkan dari 1434: The Year a Magnificent Chinese Fleet Sailed to Italy and Ignited the Renaissance (William Morrow, 2008) ini sekaligus juga melengkapi dan mempertegas peran besar bangsa Cina bagi peradaban modern yang dipapar penulis yang sama lewat karya best seller-nya, 1421: Saat China Menemukan Dunia (Pustaka Alvabet, 2006) --dialih bahasakan dari 1421: The Year China Discovered The World (Batam Book, 2002).

Dominasi Cina di peta dunia bermula di tangan penguasa pertama Dinasti Ming, Kaisar Zhu Di, yang pada Februari 1421 berhasil menundukkan semua penguasa di kawasan yang membentang sepanjang Asia, Arab, Afrika, dan Samudera Hindia. Demi mengukuhkan dan memperluas kekuasaannya, Maret di tahun yang sama, Sang Putra Langit ini mengirim armada kapal berjumlah ribuan yang dipimpin lima laksamana kasim (para lelaki yang dikebiri), masing-masing Laksamana (Utama) Cheng Ho, Kasim Agung Hong Bao, Kasim Zhou Man, Laksamana Zhou Wen, dan Kasim Agung Yang Qing.

Armada raksasa itulah, menurut Menzies di 1421, yang berhasil memetakan bola dunia di saat bangsa Eropa masih berada di zaman kegelapan. Penjelajahan mereka bukan hanya sukses mengeksplorasi Benua Amerika --jauh sebelum Colombus mengaku menemukan benua ini --Australia, tapi juga hingga jauh ke jantung Kutub Utara. Bangsa Cina menyempurnakan pula pengetahuan navigasi, pemetaan, dan perbintangan mereka, menyebarkan genetika Cina --yang bahkan bisa ditemukan pada beberapa suku Indian di pengunungan Andes --serta aneka flora dan fauna di hampir seantero jagad.

Pendek kata, pada 1421, armada yang dipimpin Laksamana Cheng Ho berhasil menyingkap hampir seluruh laut dan daratan yang ada di muka bumi.

Prestasi besar armada laut Cina itu mendadak berhenti ketika Zhu Gaozi, pengganti Kaisar Zhu Di yang wafat pada 1424, mengambil alih kekuasaan. Penguasa baru ini memensiunkan Laksamana Cheng Ho dan laksamana lainnya, serta memerintah seluruh kapal ditambat dan dibiarkan membusuk digerogoti air laut.

Namun arah kekuasaan sekali lagi tiba-tiba berubah saat Kaisar Zhu Gaozi mendadak wafat pada 1425 dan digantikan anak laki-lakinya, Zhu Zhanji. Kaisar yang baru ini, yang kelak dikenang sebagai salah satu penguasa terhebat dalam sejarah Cina, mengaktifkan kembali armada lautnya, dan bahkan memberi kuasa pada Laksamana Cheng Ho dan Wang Jinghong untuk bertindak atas namanya.

Pada 1434, Kaisar Zhu Zhangji yang telah menunjuk Laksamana Cheng Ho sebagai Duta Besar memerintah ekspedisi pelayaran yang hampir setara dengan armada yang dikirim kakeknya ke Mesir dan Venesia. Kendati tak sebesar armada yang dilayarkan pada 1421, ekspedisi untuk "mengajari serta memerintahkan bangsa barbar tunduk dan patuh kekaisaran Cina" ini, menurut perkiraan Menzies dan para sejarawan yang dia rujuk, tetaplah berbilang ratusan kapal.

Armada yang dipersenjatai aneka persenjataan berat menggunakan mesiu ini mengangkut bermacam hadiah yang menunjukkan ketinggian peradaban bangsa Cina di masa itu. Bukan hanya produk keramik atau sutera yang sudah dikenal di Eropa sejak abad ke-13 saat Marco Polo menginjakkan kaki di Cina.

Berlayar meninggalkan Nanjing dengan menunggang angin monsum melintasi Samudera Hindia menuju India dan Afrika, armada Cheng Ho mampir ke Kairo, Mesir, sebelum akhirnya mencapai Venesia. Dari Venesia, para utusan ini kemudian ke Florensia menemui sang penguasa, Paus Eugenius IV, mempersembahkan berbagai hadiah yang mereka bawa, yang kesemuanya tergolong sangat modern bagi Eropa di abad ke-15.

Temuan-temuan Menzies membuktikan bahwa hadiah-hadiah itu, terutama pengetahuan perbintangan (astronomi), kalender dengan akurasi tinggi, peta-peta dunia yang dihasilkan dari ekspedisi 1421, seni dan arsitektur, buku-buku teknologi percetakan dan pertanian, serta teknologi logam, pembuatan senjata, dan taktik militer, segera meledakkan pencerahan Eropa dari Florensia --yang justru di masa itu relatif terisolasi.

Oleh mereka yang kemudian dikenal sebagai intelektual (bahkan penemu) abad pertengahan seperti Paolo Toscanelli, pengetahuan hadiah dari bangsa Cina itu disebarkan. Bahkan Colombus yang bertahun-tahun kemudian berlayar dan ditahbiskan sebagai penemu benua Amerika, sesungguhnya berbekal peta yang disalin Toscanelli dari peta milik bangsa Cina. Sama halnya dengan Ferdinand Magellan, yang diklaim sebagai penemu Selat Magellan, yang justru melayari selat tersebut dengan panduan peta salinan yang sama.

Pemikir besar seperti Copernicus, yang kemudian diikuti oleh Johanes Kepler dan Galileo Galilei, pun ternyata hanyalah "penyampai" dari apa yang sudah diketahui bangsa Cina sebelumnya ke seluruh Eropa dan dunia. Dan yang mengejutkan, Menzies juga membuktikan bahwa kejeniusan Leonardo da Vinci yang selama berabad-abad dipercayai sebagai penemu aneka ide modern yang melampaui zamannya, ternyata tak lebih dari "penggambar jenius dan penyempurna yang mahir" dari apa yang sudah digambarkan dalam kitab Cina seperti Nung Su (ensiklopedi pertama yang diterbitkan pada 1313 berisi penjelasan dan ilustrasi berbagai jenis mesin) dan eksiklopedi saku Wu-ching Tsung-yao.

Gevin Menzies yang menulis 1434 juga 1421 lewat penelitian lebih 30 tahun di 120 negara dan lebih dari 900 meseum dan perpustakaan, tak pelak tengah menarik gerbong besar penulisan kembali sejarah peradaban manusia modern dengan bangsa Cina sebagai titik pusatnya. Yang bisa kita bayangkan, andai Cina tak menarik diri setelah ekspedisi 1434 akibat terjebak dalam konflik politik dan perebutan kekuasaan di dalam negeri, wajah dunia pasti sama sekali berbeda.

Mungkin bukan Amerika yang kini meng-adidaya, melainkan penemunya: Bangsa Cina.

  • Katamsi Ginano, praktisi komunikasi dan business development, juga pecinta buku



  • www.mediabuku.com

    0 komentar: