Masyarakat terhenyak kaget ketika polisi membeberkan identitas pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Mariott dan Ritz Charlton beberapa waktu lalu. Usia pelaku bom baru 18 tahun. Bagaimana mungkin? Beberapa ahli mulai berspekulasi dan mengutarakan pendapatnya. Namun John Updake, reviewer sekaligus novelis asal amerika mencoba menjawabnya melalui sebuah novel berjudul Terrorist.
Ahmad Ashamy Mulloy, seorang pemuda berusia 18 tahun adalah remaja cerdas yang taat pada ajaran agamanya. Ia tinggal di New Prospect, New Jersey, bersama ibunya, Teresa Malloy, yang berdarah Irlandia-Amerika.
Ayahnya yang berkebangsaan Mesir meningalkannya sejak Ahmad berusia tiga tahun. Ketika berusia 11 tahun Ahmad memeluk agama Islam dan semenjak itu pula dua kali dalam seminggu ia mempelajari Kitab Suci Alquran dibawah bimbingan Syaikh Rasid, seorang imam masjid di West Main Stret, New Prospect.
Di sekolahnya, Ahmad dikenal sebagai murid yang pintar. Agama menjaganya dari obat-obatan terlarang dan tindakan asusila. Karena hidup selama bertahun-tahun tanpa ayah, dan hidup bersama ibunya seorang penganut Katolik yang tanpa iman, dan digembeleng dengan keras oleh guru agamanya, Ahmad tumbuh menjadi pengabdi setia pada Allah.
Pengaruh Syaikh Rasyid sedemikian besarnya dalam kehidupan Ahmad, tak seorang pun yang dapat mengalihkan perhatian Ahmad dari mengikuti ajaran agama yang disebut sebagai "Jalan Lurus".
Setelah lulus SMA, Jack Levy, guru pembimbingnya, menganjurkan agar Ahmad melanjutkan ke univeritas. Namun Ahmad lebih menaati anjuran Syaikh Rasyid agar ia menjadi supir truk.
Sejak awal, Ahmad memang disiapkan oleh Syaikh Rasyid untuk menjalankan jihad dan melakukan misi bunuh diri dengan menjadikan dirinya pembawa truk berisi bom yang siap untuk diledakkan di terowongan di Lincoln, New Jersey.
Eksploitasi karakter
Kisah di atas adalah karya teranyar John Updike (1932-2009), novelis senior produktif dan pemenang dua kali Putlitzer Prize (1981 & 1991). Novel ke-22 John Updike ini diberi judul Terorist (2006). Novel ini mendapat respon yang baik dari pembacanya. Baru saja beberapa minggu terbit, novel ini telah dicetak ulang sebanyak enam kali dengan jumlah 118.000 kopi dan habis terjual dalam waktu singkat.
Pembaca mungkin akan terkecoh melihat judulnya yang provokatif dan menyangka novel ini sarat dengan kekerasan dan baku tembak dengan plot yang cepat dan menegangkan. Namun, ceritanya justru memiliki alur yang cenderung lambat dan lebih mengutamakan eksplorasi karakter, psikologis serta pemikiran tokoh-tokohnya. Wikipedia mengkategorikan novel ini ke dalam genre philosophical war.
Seperti dalam novel-novel lainnya, Updike memang gemar mengkolase tema filsafat dengan tema aktual. Dalam Terorist, ia banyak bermain-main dengan apa yang ada dalam pikiran dan dialog para tokohnya yang sarat dengan debat filosofis dan teologis akibat benturan antara keyakinan tokoh-tokoh radikal dengan tokoh-tokoh sekuler yang hidup secara hedonis materialistis yang bisa dikatakan merupakan gambaran umum masyarakat Amerika.
Dari novelnya ini, John Updike tampak menguasai Islam. Menurut Amitav Ghosh dalam reviewnya yang dimuat dalam Washington Post, Updake tak hanya membaca Alquran, ia juga mempelajarinya secara intens. Tidak mengherankan jika dia menyertakan banyak kutipan ayat-ayat Alquran beserta pemahamannya.
Karakter tokoh-tokoh di novel ini dideskripsikan secara detai. Selain tokoh Ahmad, tokoh-tokoh lainnya seperti Jack Levy (guru pembimbing Ahmad) Beth Levy , Teresa Malloy , Charlie Chebab (atasan Ahmad), mendapat porsi yang banyak dikupas sehingga alur novel ini terasa lambat. Sayangnya, karakter Syaikh Rasid hanya sedikit dikupas dibanding tokoh-tokoh lain. Padahal dialah tokoh yang paling berpengaruh dalam kehidupan Ahmad.
Potret Masyarakat
Di novel ini juga pembaca akan melihat bagaimana kondisi kerohanian masyarakat Amerika yang dilihat dari sudut pandang tokoh Ahmad yang mewakili para pejuang kebenaran, rela mati syahid demi keyakinannya. Di mata Ahmad Amerika adalah bangsa yang tidak memiliki Tuhan.
Karena mengambil setting kota kecil di Amerika, beberapa tahun setelah serangan 11 September, novel ini juga mengungkap bagaimana sebenarnya kebebasan yang diagungkan oleh masyarakat Amerika justru membuat negara ini lebih mudah disusupi teroris, dengan menyewa pesawat terbang dan mobil gerbong, serta mengeset website (hal 40).
Fobia masyarakat Amerika terhadap sesuatu yang berbau Islam termasuk masyarakat muslimnya juga terungkap lewat sebuah dialog antar-tokohnya. "Kami memang memutus sambungan telepon setelah peristiwa 11 September, kami sering menerima telepon bernada ancaman dari golongan anti-Muslim" (hal 122).
Di 70 halaman terakhir terdapat hal menarik. Updike mendeskripsikan dengan detail akivitas yang dilakukan Ahmad selaku pelaku bom bunuh diri lengkap dengan gejolak batinnya saat ia mengemudikan truknya menuju titik sasaran saat ia akan meledakkan truknya dan mati syahid untuk membela keyakinannya.
Kehadiran novel ini setidaknya bisa memberikan gambaran apa sebenarnya yang mereka perjuangkan dan apa yang kira-kira ada di benak seorang pelaku bom bunuh diri sebelum ia melaksanakan tugasnya demi sebuah keyakinan yang dianutnya. M-1)
* Hernadi Tanzil, Book Blogger & Book Reveiwer
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar