Ruang Baca Koran Tempo, 26 Oktober 2009
Wartawan biasanya menyimpan cerita-cerita "kecil" di balik suatu peristiwa. Cerita itu kerap tak dianggap penting, remeh, dan luput dari perhatian umum. Kita pun sudah teramat (di)biasa(kan) dengan sekadar menerima "narasi besar" dari sebuah susunan sejarah. Kecenderungan semacam itu pula yang terekam dalam laku penulisan sejarah Indonesia. Melalui bukunya ini, wartawan senior-cum-sejarawan Rosihan Anwar berusaha membumbui "narasi besar" sejarah Indonesia, berangkat dari pengalamannya sebagai wartawan. Ia tuliskan cerita-cerita "kecil" yang terkait dengan sejarah besar bangsa.
Di dunia jurnalistik, sosok Rosihan Anwar adalah "guru" yang dihormati. Dia pernah melakoni bertumpuk pengalaman, mulai dari turun meliput langsung sampai duduk sebagai pemimpin redaksi. Tulisannya pun tersebar di surat kabar dalam dan luar negeri. Tapi, aspek keseniorannya tentu bukan satu-satunya alasan pemikat buat menikmati buku ini. Luasnya jelajah baca Rosihan yang ditekuninya sejak usia muda bahkan sampai sekarang, ditambah ketajaman daya ingat serta keterampilan tata kata dan bahasa (lugas, ringkas, dan gampang dimengerti), membuat buku ini jadi kaya data sekaligus segar dibaca.
Sebenarnya, buku dengan judul Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia karya Rosihan ini sudah diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada 2004. Nah, usai buku pertama mendapati respons positif publik, diterbitkanlah jilid kedua ini (dan ketiga secara bersamaan). Terkecuali dari aspek substansi, ketiga buku itu pun tetap seragam dalam hal cara penyampaian yang khas jurnalistik. Sebagaimana ditulis di buku pertama, di sini Rosihan pun tetap tak ubahnya memanggungkan peran "Si Tukang Kaba". Ya, layaknya pendendang sastra tradisional Minangkabau.
Tentu, itu jadi kekhasan dan kelebihan tersendiri, yang bakal bermanfaat buat mengikat emosi pembaca apabila berniat melumat ketiga jilid buku.
Nah, yang jadi titik jeda antarbuku: apabila kisah dalam buku pertama lebih diatur menurut pembagian daerah kejadian, di buku kedua ini tidak demikian. Kumpulan kisah di buku ini dibiarkan tertangkap secara tematis. Fokusnya, pers dan film. Di luar itu, yakni bagian yang mendominasi buku, adalah feature reportase Rosihan saat Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung (1955), kunjungan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev (awal 1960), dan catatan "kecil"-nya dari makam Syeikh Yusuf Makassar di Cape Town, Afrika Selatan (2005).
Semua itu merupakan peristiwa sejarah "besar", yang dipenuhi cerita renik pula di baliknya.
Coba kita membaca feature Rosihan seputar KAA yang digelar di Bandung, 18-23 April 1955. Dalam kapasitas sebagai Pemimpin Redaksi Pedoman, saat itu ia turun meliput langsung di lapangan. Ia ceritakan pernak-pernik jalannya konferensi. Mulai dari taktik Perdana Menter Nehru (India) yang mau mendominasi sidang (tapi gagal), kepiawaian diplomasi Perdana Menteri Chou En Lai (RRT), termasuk marahnya Bung Karno kala inspeksi menjelang konferensi. Uniknya, sekalipun bagian ini ditulis pada 2005, Rosihan tak tampak kehilangan detail kejadian.
Simak pula panjangnya catatan Rosihan tentang kinerja wartawan Amerika, Inggris, dan Uni Soviet dalam meliput kunjungan Perdana Menteri Nikita Khrushchev ke Indonesia --berkeliling dari Jakarta, Surabaya, Denpasar, sampai Ambon. Selama perjalanan itu, bagi Rosihan, tidaklah cukup memberitakan apa yang tampak dikerjakan Khrushchev atau pun Soekarno. Dan benar memang, reporting-in-depth (pelaporan secara mendalam) Rosihan lebih genit menyibak perkara kecil yang tak mungkin ditangkap dari sekilas pandang di permukaan. Hasilnya, terekamlah sebutir kesan wartawan Amerika di sela-sela liputan, "Wartawan Indonesia sama sekali tidak kompetitif, tidak bisa bersaing dengan wartawan AS, ya?" Khusus bagian ini, dikumpulkan laporan yang sebelumnya pernah terbit di Pedoman, 2 Maret-7 April 1960.
Pada bagian yang lain, Rosihan meramu jejak sejarah Syekh Yusuf, penyemai benih Islam di Afrika Selatan pada abad ke-17. Oleh VOC, ia diasingkan ke Cape Town gara-gara aktivitas dakwahnya dianggap membahayakan situasi sosial dan politik tanah jajahan. Rosihan membagi informasi dan data di bagian ini dengan cara bertutur yang merendah, bukan menggurui seolah murni sejarawan. Dan, dengan tak sekadar menarasikan historisitas Syekh Yusuf, Rosihan berhasil menampilkan tulisan dengan kesan kebersahajaannya. Mungkin inilah yang hendak dikatakan, "Meski dalam keterlibatan penuh, penulis itu 'cuma' menghadirkan diri bagai pendongeng."
Suatu peran yang ditandaskan sejak buku pertama: Si Tukang Kaba.
Ketekunan Rosihan menuliskan cerita-cerita renik di atas sebenarnya tak lebih rapi daripada buku pertama. Agaknya, jilid kedua ini (dan jilid ketiga) tak disiapkan (ditulis dan disunting) seketat buku pertama. Kekurangan itu terbaca dari bagian tentang pers yang sebatas menuliskan pointers --semata karena awalnya merupakan bahan presentasi. Padahal, di situ di antaranya memuat catatan "liar" tentang colourful journalist: kolumnis pertama (Abdul Rivai), koresponden perang pertama (Drs. Sosrokartono), koresponden keliling pertama (Djamaluddin Adinegoro), sampai "temuan" nama koran yang membawa sial (usianya tak panjang, diberangus pemerintah). Pada bahasan film pun, dua tulisan yang dimuat melulu mengisahkan sosok Usmar Ismail --Bapak Perfilman Nasional yang juga ipar penulis sendiri.
Lepas dari itu semua, menuntaskan 348 halaman buku ini, sembari benar-benar memeriksa pilihan judul buku: Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, sontak menjerat pikiran saya pada selarik perkataan almarhum Kuntowijoyo. "Tanggalkan anggapan bahwa hanya mereka yang bekerja sebagai dosen universitas dan institusi-institusi ilmiah yang berhak disebut sejarawan!" demikian seru Pak Kunto (2003).
Tentu saja, bagi Rosihan sendiri, buku ini tak dimaksudkan untuk menggagahi seruan itu. Rosihan pun bukan seorang sejarawan, sekalipun ia telah didapuk sebagai anggota kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia. Tetapi, bagi saya, dan apabila ini pun diterima: selain memecah mainstream "narasi besar" sejarah, minimal buku ini sudah termasuk menjawab "seruan bernada kegelisahan" itu.
M. Lubabun Ni'am Asshibbamal S., Pemimpin Redaksi BALAIRUNG UGM Yogyakarta
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar