Lampung Post, Minggu, 20 Desember 2009
"BAGAIMANA jika harta karun Nabi Sulaiman itu jatuh ke tangan orang-orang Zionis? Mereka pasti bertambah sombong..." Petikan di atas saya kira mewakili apa yang dibicarakan novel petualangan ini. Kisah yang menarasikan kekhawatiran beberapa muslim Indonesia yang kebetulan mengetahui rahasia penyimpanan The Lost Ark of Covenant atau Tabut Suci dan harta karun Nabi Sulaiman.
Adalah Heri, mahasiswa S-3 pada Monash University asal Indonesia yang mendalami filologi, menemukan lima lembar manuskrip kuno tentang rahasia orang-orang Beta-Israel. Manuskrip itu ditulis dalam Huruf Ge''ez kuno yang digunakan orang-orang Etiopia kuno yang dikenal dengan nama kaum Falasha. Heri mendapatkannya dari Indra, pedagang barang antik Australia kelahiran Medan. Indra mendapatnya dari tentara Amerika yang bertugas di Somalia.
Kegundahan pun segera menyergap keduanya, pasalnya lembar kelima dari manuskrip itu menyebut-nyebut letak Tabut Suci dan harta Sulaiman. Berbekal izin penelitian dari Monash University terkait disertasinya dan dukungan dana dari Towsend, ahli arkelogi Monash dan Moses Goldstein mereka pun pergi ke Axum, kota lama di Etiopia dan menemukan kunci penyimpanan Tabut berbentuk segitiga samasisi. Saat itulah mereka mulai sadar bahwa mereka dimanfaatkan oleh Towsend dan Goldstein yang ternyata agen Zionis, pengincar lama kunci itu.
Didorong kekhawatiran harta karun Sulaiman jatuh dan disalahgunakan oleh The Knight of Zion (agen Zionis), Indra dan Heri membakar kelima naskah itu. Isinya kini hanya ada dalam kepala mereka. Karena kalap, pasukan Golstein membunuh Heri. Sedang Indra bisa lari tapi menjadi buronan.
Esa, doktor Sastra jebolan Harvard yang mengajar di UPI Bandung dan Nisa yang merupakan teman Heri terseret ke masalah ini karena segitiga itu diberikan Indra pada Esa. Mereka pun tak terhindar untuk berpacu dengan waktu dan bayang-bayang Zionis untuk menemukan lokasi Tabut Suci. Tanpa diduga, di tengah perburuan hadirlah Yitro, seorang anggota The Knight of Zion, pejuang Zion yang membelot dan menjadi kawan. Walaupun ia Yahudi, ia tidak setuju dengan usaha Zionis yang ingin menggenggam dunia dengan segala cara. Akhir cerita, mereka sampai pada tempat penyimpanan harta Sulaiman dan Tabut Suci yang ternyata sudah dipindahkan. Orang-orang yang mengejar mereka mati terperangkap di dalamnya setelah mereka ledakan.
Menyimak novel ini, kita akan menemukan banyak spekulasi "nakal" yang bisa jadi merupakan kebenaran, misalnya Ratu Saba itu berkulit hitam, Tabut Suci dan The Kingdom Heaven itu berpindah dari Etiopia ke Mekah dan lain-lain. Menariknya, semua cerita yang ditampilkan oleh penulis berdasar fakta yang terungkap dari beberapa literatur kuno seperti Kebra Negas, (kitab silsilah kekaisaran Etiopia sejak Manelik, 3000 SM sampai generasi terakhir yang di kudeta pada 1976), Al Kitab dan Alquran.
Sayangnya penulis yang jebolan sastra Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini kurang lihai memainkan kata. Banyak situasi-situasi emosional yang digambarkan datar saja, semisal saat menggambarkan kesedihan Ibu Heri saat anaknya mati (h.22), perasaan Indra, Esa dan Nisa saat melihat kematian Ibu Indra, Bayu dan yang lainnya (h.268).
Begitu juga dalam mendeskripsikan perasaan cinta antara Esa dan Nisa, kurang terasa. Banyak ditemui juga peristiwa yang menurut saya terlalu "kebetulan", contohnya saat Nisa kehabisan tiket pesawat di Yaman, ia tiba-tiba diberi tiket gratis oleh seseorang (h.110) dan lain-lain.
Terlepas dari kekurangan itu, karya mantan ketua kelompok Analis Kisah Sejarah dalam Kitab Suci (AKSi) ini tetap layak untuk dibaca. Di dalamya kita akan menemukan banyak fakta mengenai Yahudi, Bani Israel, Zionisme dan seluk beluknya. Berbagai kutipan literatur menjadikan novel ini terlihat nyata daripada fiksi. Tak salah kiranya jika novel yang dibuat berdasarkan riset selama 3 tahun ini disebut Seno Gumira Ajidarma--testimoninya di sampul--sebagai novel yang ensiklopedis.
Agus Hariyanto, penyuka buku, tinggal di Semarang.
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar