Sabtu, 26 Desember 2009

[resensi buku] Pompeii pun Lenyap Ditelan Vesuvius

Ruang Baca Koran Tempo, Edisi 15 November 2009

Musim panas di wilayah Campania, Teluk Napoli, Italia, adalah liburan dan pesta-pora. Di bawah sengatan matahari melelehkan peluh berbalur embusan angin dari laut sekitar, Pompeii, kota Romawi kuno di kaki Gunung Vesuvius, larut dalam keriaan. Ketika itu, 24 Agustus 79, bertepatan dengan perayaan Hari Dewa Api Romawi, Vulcanalia, 20.000 penduduknya, para turis kaya, dan pebisnis menyesaki kota. 

Tak ada yang menduga hari itu Pompeii akan lenyap dan baru ditemukan kembali 1.600 tahun kemudian. Didahului gempa bergemuruh menggetarkan bumi, mengaduk- aduk semua yang diam dan bergerak di permukaan bumi, Vesuvius memuntahkan isi perutnya. Batuan, debu, dan awan panas membumbung membentuk pohon pinus raksasa, lalu melesat turun melantakkan apa saja yang terlewati. Begitu banyaknya material yang ditumpahkan hingga mengubur Pompeii bermeter-meter dalamnya dan merusak kota lain di sekitar.

Gunung berapi yang menjulang setinggi 1.281 meter itu bukan tak memberi petanda. Sejak awal Agustus 79 getaran-getaran kecil datang silih berganti, sumur dan sumber-sumber air di wilayah sekitar tiba-tiba mengering. Ironisnya, ketika itu, Pompeii belumlah sepenuhnya pulih dari hantaman gempa besar pada 5 Februari 62; serta gempa lain berskala lebih kecil namun cukup merusak pada tahun 64.

Mungkin ada yang was-was dan bertanya-tanya, tapi selebihnya kehidupan berjalan normal. Gempa kecil adalah hal umum bagi penduduk Pompeii dan sekitarnya. Begitu kerap hingga seperti yang dinyatakan penulis Romawi kuno, Plinius Muda, "Tidaklah begitu menakutkan karena sering terjadi di Campania." 

Yang lebih mengancam justru ketiadaan pasokan air kebutuhan warga, terutama ke pemandianpemandian mewah yang dijubeli orang kaya dan para pejabat tinggi. Tugas yang sepenuhnya diletakkan di pundak Marcus Attilius Primus, aquarius (penanggung jawab pengelolaan sumber air dan salurannya) berusia muda yang baru ditempatkan di Misenum, kota pelabuhan dekat Pompeii dan berjarak hanya 35 km dari kaki Vesuvius. 

Bertanggung jawab terhadap Aqua Augusta, saluran yang menampung mata air Serinus di Pengunungan Appenninus, urat nadi kehidupan kota-kota yang dilewatinya di sekeliling teluk (Pompeii, Nola, Acerrae, Atella, Neapolis, Puteoli, Cumea, Baiae, dan akhirnya Misenum), adalah kehormatan besar untuk Marcus Attilius. Aquarius berusia 27 tahun yang tak saja datang ke Misenum dengan kesedihan karena baru kehilangan istri dan anak, tapi juga karena mewarisi masalah yang ditinggalkan pendahulunya yang mendadak menghilang. 

Tanpa sumber air dan saluran cadangan, Aqua Agusta adalah satu- satunya pemasok air yang harus dijaga dengan segala daya. Sedikit kerusakan di salah satu bagian saluran sepanjang puluhan kilometer itu akan membawa akibat besar. Apalagi untuk Misenum yang menjadi pangkalan garnisun angkatan laut Kekaisaran Romawi. 

Tetapi itulah yang terjadi tatkala air dam penampung Misenum perlahan menyusut. Di saat yang sama beberapa bagian saluran menguarkan bau belerang, mencemari air, membunuh ikan-ikan di kolam Vila Hortensia milik jutawan Numerius Popidius Ampliatus. Korban pertama jatuh. Budak yang bertanggung jawab dilempar ke kolam belut, yang segera mencacahnya dengan ganas. Lolongannya bahwa airlah yang jadi biang kematian ikan-ikan itu, dan karenanya sang majikan harus memanggil aquarius untuk menguak penyebabnya, sama sekali tak digubris. 

Hanya Corelia Ampliata, putri sang jutawan yang berhati lembut, yang bersigegas mencari aquarius Marcus Attilius. Dan memang ikan-ikan itu tewas karena belerang yang mencemari air. Bau busuknya yang menyengat menyebabkan penduduk Campania dengan jijik menyebut belerang sebagai "napas anjing". 

Marcus Attilius yang masih dianggap sebagai aquarius plonco, bahkan oleh bawahan dan budakbudak pembantunya, segera dihadang krisis: mencari tahu sumber masalah di saluran sepanjang ratusan kilometer, di tengah intrik politik dan ekonomi air yang melibatkan uang dan kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Untunglah dia mendapat dukungan penuh Komandan Garnisun Angkatan Laut di Misenum, Laksamana Gaius Plinius, prajurit tua, naturalis pecinta ilmu pengetahuan yang menulis 37 volume Sejarah Alam dari hasil pengamatan, penelitian, dan perenungannya. 

Di tangan Robert Harris, harihari terakhir Pompeii direkontruksi dengan menempatkan empat sosok itu sebagai tokoh utama. Namun, Pompeii bukanlah sekadar novel yang berkisah tentang pergulatan profesional dan psikologis aquarius Marcus Attilius berhadapan dengan kelicikan dan kerakusan jutawan Numerius Popidius Ampliatus, pesona Corelia Ampliatus, dan keperwiraan Laksamana Gaius Plinius —yang selalu disertai keponakan sekaligus muridnya yang kelak dikenal sebagai Plinius Muda. 

Dialihbahasakan dari Pompeii terbitan Random House (2003), novel ini memadukan sejarah Romawi dan legenda kuno tentang lolosnya sepasang lelaki dan perempuan dari amukan Vesuvius, setelah mereka menceburkan diri dalam saluran Aqua Augusta. Yang patut diacungi jempol adalah riset yang dilakukan Harris, yang tidak saja mampu menggambarkan kehidupan bangsa Roma, lebih khusus lagi Pompeii yang dekaden; sistem penyediaan air di Campania kuno; tapi juga detil proses meletusnya Vesuvius.

Andaipun buku ini dikategorikan sebagai karya non-fiksi, saya kira umumnya pembaca tak akan peduli. Kesabaran Harris menelisik masa lalu membuat dia berhasil memadukan sosok sejarah, Laksamana Plinius (23-79 M) dan Plinius Muda (61-122 M), dan yang fiktif menjadi seolah-olah mereka adalah tokoh-tokoh nyata. Demikian pula dengan pengetahuannya terhadap ilmu kegunung-apian hingga penggambaran proses meletusnya Vesuvius amat hidup dan menggetarkan.

Penulis kelahiran Nottingham, Inggris, pada 1957 ini harus diakui merupakan pengarang fiksi yang piawai memadukan riset dan imajinasi. Ini tampaknya tak lepas dari latar belakang Harris sebagai editor politik di The Observer, kemudian penulis kolom di The Sunday Times dan The Daily Telegraph; serta penulis beberapa buku di antaranya A Higher Form Of Killing (1982) —ditulis bersama Jeremy Paxman— Selling Hitler (1986), dan Good and Faithful Servant (1990). 

Begitu beralih ke fiksi Harris langsung mencatat sukses. Novel pertamanya, Fatherland (1992) menjadi best seller, disusul Enigma (1995) yang difilmkan dengan bintang utama Daugray Scott dan Kate Winslet, serta Archangel (1998) yang kemudian menjadi mini seri di BBC pada 2005 dengan bintang utama Daniel Craig. 

Pompeii yang edisi Inggrisnya pertama kali dipublikasikan Random House (2003) adalah novel keempat Harris sekaligus ekspresi minat besarnya pada Romawi kuno. Sebagai novelis, di Indonesia dia memang lebih dulu dikenal lewat karya lain berlatar era yang sama, Imperium (Gramedia Pustaka Utama, Mei 2008); disusul novel politik Penulis Bayangan (Gramedia Pustaka Utama, November 2008). Kesukaannya pada Romawi kuno kian dipertegas dengan terbitnya Lustrum (Oktober 2009), yang merupakan buku kedua dari trilogi yang dimulai dengan Imperium. 

Bila diperbandingkan dengan Imperium dan Lustrum, dalam Pompeeii intrik politik penuh gejolak khas Romawi hanya menjadi pemanis. Daya tarik utama novel ini akhirnya memang pada legenda Aqua Augusta sebagai salah satu mahakarya teknik di masanya, serta kedasyatan letusan Vesuvius yang hingga kini masih tetap menjadi studi menarik tak hanya bagi para vulkanolog dan sejarawan. 

KATAMSI GINANTO, PECINTA BUKU 


www.mediabuku.com

0 komentar: