Kamis, 04 Februari 2010

[resensi buku] Ketika Tuhan Membisu

Kompasiana, Purnawan Kristanto, 3 Februari 2010

Sungguh ngeri membayangkan penganiayaan yang dialami oleh orang Kristen di Jepang pada masa pemerintahan Tokugawa Bakufu. Ada yang dimasukkan ke dalam air bercampur belerang yang mendidih di puncak gunung. Ada yang direndam di pinggir pantai selama berhari-hari. Tubuh mereka diikatkan pada sebatang kayu dan dibiarkan terendam air selama berhari-hari. Mereka akan mengalami siksaan fisik yang luarbiasa mulai dari kelaparan, kehausan sampai dengan hipotermia. Mereka lakan mati secara perlahan-lahan.

Akan tetapi jenis siksaan yang paling mengerikan adalah yang disebut "Siksaan lobang." Penguasa membuat lubang seukuran lebih besar sedikit dari kepala manusia. Di dalamnya diisi dengan kotoran. Cara penyiksaannya, orang Kristen digantung terbalik dan kepalanya dimasukkan ke dalam lobang itu sebatas bahu. Untuk menambah penderitaan, maka sang algojo mengiris sedikit di belakang telinga sang korban. Darah akan keluar sedikit demi sedikit membasahi wajah mereka. Aliran darah ini ada yang masuk ke lobang telinga. Ada pula yang menutupi pandangan mata. Siksaan terbukti mampu meruntuhkan iman Christovao Ferreira, provincial berkebangsaan Portugis, yang melayani di Jepang.

Mengapa orang Kristen di Jepang mengalami penganiayaan? Padahal ketika Kristianitas pertama kali diperkenalkan oleh Fransiskus Xaverius, pada tahun 1549 di negeri Sakura ini, ada nada antusias dalam surat yang ditulisnya. Fransiskus Xaverius menyebut bangsa Jepang sebagai "pembawa sukacita di hatinya." "Orang-orang yang kami jumpai sejauh ini," tulis Fransiskus kepada rekan-rekannya di Goa, "adalah yang telah kami temukan dan rasanya tidak akan pernah ada…bangsa lain yang bisa menandingi bangsa Jepang."

Benih yang ditebarkan oleh Fransiskus ini selanjutnya dirawat oleh Alessandro Valignano, sejak tahun 1579. Di bawah karya misinya komunitas Kristen berkembang pesat sehingga Valignano berani memimpikan sebuah pulau yang sepenuhnya Kristen di wilayah Jepang. Kristianitas juga mendapat dukungan dari para daimyo (kalangan bangsawan Jepang) karena mereka berharap bisa menjalin hubungan dagang dengan kapal-kapal hitam dari Macao. Para pastor juga memiliki posisi yang baik di istana.

Tiba-tiba, pada tanggal 24 Juli 1587, tanpa alasan yang jelas Hideyoshi sang penguasa saat itu, memerintahkan para misionaris keluar dari negeri itu. Namun kemarahannya cepat surut dan keputusan pengusiran itu dinyatakan tidak berlaku lagi.

Sepuluh tahun kemudian, amarah Hideyoshi bangkit kembali. Ini gara-gara bualan pelaut Spanyol yang terdampar. Untuk mengambil hati orang Jepang, dia mengatakan bahwa para misionaris selalu mempersiapkan jalan bagi angkatan bersenjata kerajaan Spanyol. Maka dimulailah perburuan dan pembantaian secara sistematis dan tanpa ampun terhadap orang Kristen di Jepang.

***

Berlakang belakang Jepang pada abad ke-17, Shusaku Endo menuliskan pergulatan yang dialami orang Kristen Jepang. Penulis novel ini adalah orang Jepang yang dibaptis menjadi Katolik pada usia 11 tahun. Setelah lulus dari fakultas sastra Perancis di Keio University, dia mendapat beasiswa selama dua setengah tahun di Lyon. Pengalaman ini kelak dituangkan dalam beberapa novelnya. Salah satunya, Shiroi Hito (The White Man) yang mendapat penghargaan bergensi Akutagawa.

Novel ini diawali dengan berita tentang pemurtadan Christovao Ferreira, yang sampai di telinga tiga mantan muridnya:pastor Juan de Santa, pastor Francis Garrpe dan pastor Sebastian Rodrigues. Mereka lalu mengajukan diri supaya dikirim ke Jepang untuk "menggembalakan domba-domba" di sana. Semula pihak gereja enggan mengabulkan, tetapi karena begitu gigih keinginan mereka, akhirnya mereka diizinkan.

Dalam pelayaran ternyata pastor Juan de Santa jatuh sakit sehingga harus ditinggal di Macao. Sementara itu, pastor Francis Garrpe dan pastor Sebastian Rodrigues berusaha menyelundup ke negeri matahari terbit itu dengan bantuan Kichijiro, orang Jepang di perantauan. Mereka berhasil mendarat di Jepang dan segera mengerjakan karya misi secara sembunyi-sembunyi. Di sini, konflik dalam novel mulai meningkat. Pembaca dibuat bertanya-tanya, apakah kedua pastor itu akan tertangkap?

Umat yang mereka layani adalah petani yang sangat miskin dan ditindas oleh penguasa dengan pungutan pajak yang sangat tinggi. Dalam situasi demikian, Kristianitas hadir untuk memberikan penghiburan kepada mereka. Dalam Kristianitas mereka mendapat sentuhan lembut kasih dan pengharapan akan adanya kehidupan yang lebih baik setelah kematian.

Untuk menangkap para misionaris dan umat Kristen, penguasa mengiming-imingi uang bagi setiap informasi tentang keberadaan orang Kristen. Hadiah ini cukup menggiurkan bagi petani miskin karena nilainya sangat besar. Dalam situasi ini kedua pastor ini hidup dalam bayang-bayang pengkhianatan dari umat yang dilayani. Sewaktu-waktu mereka bisa diadukan oleh petani miskin yang tergiur oleh hadiah itu. Namun tanpa disangka, ternyata yang menjadi "Yudas" itu adalah Kichijiro, sang pemandu mereka. Kichijiro sebenarnya adalah orang Kristen juga, namun pernah ditangkap oleh penguasa. Karena tidak tahan oleh siksaan, maka dia mengingkari imannya dengan cara menginjak fumie, yaitu lempengan tembaga yang dipahat membentuk wajah Yesus.

Pembaca selanjutnya digiring pada pertanyaan apakah kedua pastor ini tahan terhadap siksaan? Apakah mereka juga akan menginjak fumie sebagai tanda pengingkaran iman?

***

Alur novel ini sangat sederhana. Penokohannya sangat sederhana. Hanya satu tokoh yang dapat mengaduk-aduk emosi pembaca, yaitu Kichijiro. Dia digambarkan sebagai pria miskin Jepang yang culas, oportunis, licin, dan pandai menjilat. Narasi penceritaannya pun terasa datar dan banyak mengulang kata-kata yang sama. Misalnya untuk menggambarkan suasana sunyi yang menggigit, penulis kerap menggunakan suara jangkrik dan dengung sayap lalat.

Kekuatan novel ini justru terletak pada problematika yang diangkatnya yaitu bersifat psikologis dan cenderung kontroversial. Melalui percakapan antara Rodrigues dan Ferreira, penulis melontarkan sebuah tesis bahwa Kristianitas tidak dapat tumbuh baik Jepang.  Dia mengibaratkan Jepang seperti rawa-rawa yang akan menghisap habis kekristenan. Benih Kristianitas tidak dapat menancapkan akarnya si rawa-rawa itu, sehingga daunnya akan layu dan menguning. Inilah pendapat yang disampaikan oleh Ferreira dengan nada pahit.

"Selama dua puluh tahun aku bekerja keras menjalankan misiku." Dengan suara datar tanpa emosi Ferreira mengulangi kata-kata yang sama itu. "Satu hal yang aku tahu pasti adalah agama kita tidak bisa berakar di negeri ini."

"Bukannya tidak bisa berakar," Rodrigues berseru dengan suara keras sambil menggelengkan kepala. "Masalahnya akar-akar itu dicabuti." [h.234]

Rodrigues tidak sepakat. Menurutnya, Kristianitas adalah kebenaran yang universal yang dapat tumbuh dimana saja, dalam kondisi apa pun. Dia lalu mengajukan bukti-bukti tentang perkembangan komunitas Kristen yang pesat sebelum masa penganiayaan. Namun Ferreira menanggapinya dengan sinis. Menurutnya, Tuhan yang disembah oleh orang Kristen di Jepang itu berbeda dengan konsep Tuhan yang dibawa oleh para misionaris.

"Mereka mengubah dan memplesetkan Tuhan kita dan menciptakan sesuatu yang berbeda," seru Ferreira, mantan pastor yang telah mengingkari imannya itu. "Ibarat kupu-kupu yang terjerat jaring laba-laba. Mulanya kau yakin dia kupu-kupu. Tapi keesokan harinya hanya bagian luarnya yang tampak seperti kupu-kupu-sayapnya, badannya. Realitasnya yang sejati sudah hilang dan menjadi sekadar kerangka saja. Di Jepang, Tuhan kita persis seperti kupu-kupu yang terjerat jaring laba-laba itu. Hanya bentuk luar Tuhan yang tersisa, tetapi sudah menjadi kerangka" [h.237].

Problematika lain yang tak kalah menggetarkan adalah keheningan Tuhan. Endo menggambarkannya dalam bentuk pergulatan batin Rodrigues.  "Sudah duapuluh tahun berlalu sejak penganiayaan ini dimulai; tanah Jepang yang hitam telah dipenuhi ratap tangis begitu banyak orang Kristen; darah merah para imam juga telah mengalir deras di sini; tembok gereja-gereja telah runtuh; dan di hadapan pengorbanan dahsyat yang tidak kenal kasihan ini, Tuhan tetap hening dan bungkam" [h.100]. Misionaris Portugal ini menyaksikan kebisuan Tuhan ketika petani-petani miskin Jepang ditenggelamkan ke laut dengan tangan terikat. "Di balik keheningan menyesakkan laut ini ada keheningan Tuhan… perasaan bahwa sementara manusia berseru-seru dalam penderitaan mereka kepada-Nya, Tuhan tetap diam dengan kedua lengan terlipat." Di manakah Tuhan ketika umat-Nya berseru kepada-Nya?

Pergumulan ini membawa sang pastor dalam puncak kebimbangan: Apakah yang kuimani selama ini sudah benar? Pertanyan besar ini menggalayut berat di jiwanya saat dia dihadapkan pada fumie. Haruskah dia menginjak wajah sang Penebus itu? Dalam kebimbangan,  Rodrigues melihat wajah Yesus dalam lempengan tembaga itu seolah-olah berseru kepadanya:

"Injaklah! Injak! Aku lebih tahu daripada siapa pun tentang kepedihan di kakimu. Injaklah! Aku lahir ke dunia memang untuk diinjak-injak manusia. Untuk menanggung penderitaan manusialah Aku memanggul salib-Ku."

Pada bagian lain, pastor ini berseru menggugat Tuhan:

"Tuhan aku benci kebungkaman-Mu."

"Aku tidak bungkam. Aku ikut menderita di samping-Mu."

Jawaban inilah yang menenteramkan batin sang pastor. "Tuhan tidak bungkam. Andai pun Dia bungkam selama ini, kehidupanku sampai hari ini adalah cukup berbicara tentang Dia," katanya dengan semeleh.
------------------

Judul: Silence; Hening
Pengarang: Shusaku Endo
Diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh William Johnston
Alih bahasa: Tanti Lesmana
Penerbit: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2008


www.mediabuku.com

0 komentar: