by: IzHarry Agusjaya Moenzir
Bercerita tentang kehidupan Soetadi, yang karena sering sakit-sakitan diubah namanya menjadi Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo. Perjalanan kehidupan Gesang penuh liku dan onak duri, tidak semerdu dan seindah lagu-lagu ciptaannya. Misalnya, tentang pujaan hatinya yang selalu ia rindukan, namun tak pernah bersua kembali; tentang pernikahan yang kandas, lalu ia mengenang pujaan hatinya yang pertama; tentang prosesnya dalam mencipta lagu beserta penjelasan atas syair-syairnya; tentang kehidupannya yang pas-pasan, lalu tak punya tempat tinggal sampai Gubernur Jawa Tengah memberinya hadiah sebuah rumah; juga tentang popularitasnya di dunia, khususnya di Jepang, lawatan ke luar negeri; lalu kisah masa tuanya yang terabaikan.
"Keberadaan Gesang di khazanah musik tanah air sesungguhnyalah sebuah anugerah. Namun, mayoritas kita tidak melihatnya demikian. Sejak lama Gesang kita anggap biasa-biasa saja. Apalagi ketika keroncong dan langgam Jawa mulai memudar dan nyaris punah. Gesang yang terlupakan itu kemudian berpulang dan mendadak sontak kita mengelu-elukannya. Apakah itu karena kita menghargai karyanya? Saya ragu. Seorang seniman seharusnya dihargai karena karya, bukan karena iba hati, apalagi karena keinginan kita untuk tampil sebagai pembela kesenian. Buku ini saya harap bisa mendobrak ignorance, agar suatu saat nanti kita sebaiknya menghargai seniman selagi mereka masih bernyawa, meski tidak salah juga jika dilakukan pada saat mereka sudah tiada.
---Rizaldi Siagian, Etnomusikolog, Komposer, Penasihat Ahli Bidang Kebudayaan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar