Jumat, 11 Juni 2010

[resensi buku] Sepotong Bibir, Sepotong Senja, dan Beberapa Potong Cerita

Sidik Nugroho. ulasansastra.blogspot.com

MEMBACA judul buku kumpulan cerpen Agus Noor ini, pembaca mungkin akan diingatkan dengan buku karya Seno Gumira Ajidarma (SGA) Sepotong Senja untuk Pacarku. Ternyata, cerpen Agus Noor yang berjudul Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia dalam buku ini ia persembahkan buat SGA. Dua cerpen ini sama-sama mengisahkan tokoh fiktif bernama Sukab, pria yang yang dalam cerita SGA memotong senja seukuran kartu pos untuk dipersembahkan kepada Alina; dan dalam cerita Agus Noor mempersembahkan sepotong bibir kepada Maneka -- bibir yang indah, yang bisa meloncat-loncat, dan pandai bernyanyi pula! (Sukab, Alina, dan Maneka adalah tokoh-tokoh fiktif ciptaan SGA.)

Begitulah Agus Noor menghadirkan imajinasi yang terasa melampaui batas nalar, namun terkesan tak mengada-ada. Ia tampaknya sedang merepresentasikan secara naratif sebuah peristiwa sosial ketika menulis cerpen-cerpennya. Jejak kepengarangannya tak jauh dari berbagai gejolak sosial di tanah air ketika melahirkan suatu karya. Satu yang terkenal adalah ketika ia bersama Butet Kertaredjasa dan beberapa seniman lain mempresentasikan sebuah monolog berjudul Matinya Tukang Kritik -- ia menjadi penulis naskah di situ.

Kini, pada buku kumpulan cerpen ini, ia tengah menyuguhkan cerita-cerita yang terhitung optimal dalam hal eksplorasi bahasa. Keutamaan cerpen-cerpen Agus Noor dalam bukunya ini setidaknya ada pada dua pencapaian penting yang berhasil diraihnya.

Pertama adalah keberhasilannya dalam mengangkat berbagai tema cerita yang variatif. Agus Noor menyampaikan hampir semua ceritanya dengan diiringi kisah cinta yang terhitung pedih -- seperti perceraian, perselingkuhan, juga pelacuran. Tema-tema utama seperti kematian, keterasingan dan bahkan keagamaan yang terhitung berat dan muram, jadi terasa lebih ringan dan santai karena ada kisah cinta yang membalutnya. Hal inilah yang membuat cerpen-cerpennya akan disukai para pembaca dari banyak kalangan, bukan hanya penikmat sastra.

Sebuah contoh adalah kisah seorang pelacur bernama Mawar di Mawar di Tiang Gantungan yang menjadi bagian dari Cerita yang Menetes dari Pohon Natal. Inilah sebuah fragmen cerita yang sangat menggigit -- tentang kedudukan seorang pelacur di mata Tuhan.

Begitu banyak orang yang membenci pelacur. Para Satpol PP menyiduki pelacur, bahkan berita-berita kematian pelacur yang kerap menghiasi koran-koran kriminal rasanya sudah menjadi berita sehari-hari yang terdengar biasa. Namun, di tangan Agus Noor, kisah Mawar menjadi begitu satiris, selain amat reflektif dan menghadirkan nuansa keagamaan yang sangat kental.

Pencapaian keduanya adalah keberhasilannya menangkap sebuah realitas, dan kemudian menuangkannya menjadi sebuah penggalan kisah -- atau bahkan kisah yang utuh -- yang memuat renungan yang subtil. Inilah yang ia sebut sebagai fiksi mini pada sebuah esainya. Di buku ini, ada beberapa cerpen yang merupakan gabungan dari berbagai fiksi mini.

Cerpen-cerpennya yang berjudul Episode, 20 Keping Puzzle Cerita dan Perihal Orang Miskin yang Bahagia merupakan penggabungan dari beberapa fiksi mini atau sebutlah fragmen cerita. Tiga cerpen ini berbeda-beda cara membacanya. Episode, pada tiap fragmennya dari awal sampai akhir adalah kisah yang urut dan saling berkaitan; fragmen yang satu ada yang menjelaskan fragmen yang lain. Cerpen 20 Keping Puzzle Cerita paling susah diikuti karena dua tokoh yang ada di dalam cerita ini tak diberi penjelasan siapa menceritakan siapa. Agus Noor sedang bermain-main dengan sudut-pandang pencerita ketika menuliskan cerita ini.

Cerpen yang paling berhasil adalah Perihal Orang Miskin yang Bahagia karena selain lebih mudah diikuti, setiap fragmennya memiliki sindiran, renungan, kepedihan dan bahkan lelucon yang sangat dalam maknanya dan bisa berdiri sendiri, walau tetap memiliki ending yang sangat apik. Pembaca akan menikmati cerpen ini tanpa dibebani alur yang membuat pusing, atau pergantian-pergantian sudut-pandang pencerita. Fragmen-fragmen dalam cerita ini begitu dekat dengan kemiskinan yang sehari-hari kita temui. ***

CERPEN-CERPEN Agus Noor hampir semuanya memiliki alur yang tak tertata -- seringkali ia mengisahkan sesuatu dengan alur saling-silang atau bahkan tanpa alur. Hal ini dapat membuahkan dampak ganda. Para pembaca yang menyukai keindahan bahasa dan berbagai gaya bercerita akan menikmati cerpen-cerpen ini dalam kesunyian dan keheningan, sambil merenungkannya dalam-dalam. Namun, di sisi lain, cerpen-cerpen ini dapat dinilai sebagai karya-karya eksperimen yang melelahkan bagi sidang pembaca yang lebih suka membaca cerita-cerita yang realistis dengan alur yang cepat dan tertata.

Membaca keseluruhan cerita di buku ini, saya jadi teringat Victor Hugo, sastrawan Prancis itu, ketika suatu waktu mencoba menuturkan apa-apa saja yang melintasi benak seseorang yang akan dihukum mati dalam novelnya Le dernier jour d''un condamné (Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati). Setiap menit berisi gagasan. Mimpi bagai menyatu dengan kenyataan. Kepedihan membaur dengan kengerian. Hidup, setiap saat, serasa amat berarti. Bahkan, segala sesuatu yang dilihat, dirasa dan diraba, semuanya dicoba untuk direnungkan detilnya, sebagai bahan untuk dituangkan dalam kata-kata yang terbatas -- untuk memaknai hidup dalam waktu yang merambat dalam keheningan.

Begitu pula Agus Noor. Ia pernah mengaku sangat menyukai menulis dalam keheningan. Hal itulah yang tampaknya berdampak pada cerpen-cerpennya: Ia menjadi penulis yang selalu berupaya menghadirkan keterlimpahan makna dari setiap ekspresi naratifnya di buku ini. Sepotong senja yang terkisah begitu manis dan imajiner dalam cerita SGA membuahkan cerita penuh sindiran tentang sepotong bibir yang romantis dan lucu di tangan Agus Noor. Di tangannya pula, hal-hal yang tampak sederhana dan dekat dengan dunia kita menghasilkan sepotong demi sepotong cerita yang perlu untuk dibaca dengan penuh penghayatan. ***

Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan pembaca sastra Indonesia


www.mediabuku.com

0 komentar: