Sidik Nugroho, ulasansastra.blogspot.com
Saat-saat ini, manakala berita seputar keberadaan dan jejak-langkah para teroris sangat gencar diperbincangkan di berbagai media, sebuah novel tentang terorisme tempaknya akan mengundang perhatian publik.
Endorsement para tokoh lintas-agama, budayawan, hingga artis membuat novel Demi Allah, Aku Jadi Teroris karya Damien Dematra ini tampak menjanjikan ketika kita memandang sampulnya di bagian belakang dan halaman-halaman awal buku ini. Dengan membaca semua itu, kita berharap besar agar novel ini mengisahkan sesuatu yang benar-benar hebat. Puji-pujian diberikan kepada Damien Dematra atas keberaniannya mengangkat tema ini dalam novelnya.
Novel Damien Dematra tentang teroris ini berusaha memotret perjalanan seorang yang memiliki kehidupan serba gundah. Ialah seorang gadis yang dalam kisah ini digambarkan begitu sempurna secara fisik, bernama Kemala. Di mana pun Kemala berada, ia akan menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya. Ia punya kemungkinan besar mendapatkan hidup serba sukses -- seperti yang terjadi pada banyak wanita cantik lainnya -- namun malah mengalami kesepian yang mendalam.
Kesepiannya disebabkan karena pengalamannya yang pahit di masa lalu. Kemala lahir bukan dari sebuah keluarga yang sah. Ia anak hasil sebuah hubungan gelap. Ketika masih kecil ibunya telah meninggal karena kanker otak, sementara ia tak kenal siapa ayahnya. Ia kemudian diasuh oleh seorang wanita bernama Mirasati.
Selain Kemala, ada juga tokoh lain, bahkan ditampilkan lebih dulu, bernama Prakasa. Seperti Kemala, Prakasa dibayang-bayangi dengan kepahitan hidupnya di masa kecil. Ia menyaksikan dengan mata-kepalanya sendiri bagaimana ibunya meninggal: Ayahnya menampar ibunya karena cemburu buta hingga terjatuh, kepalanya terluka, dan tewas seketika itu juga. Ia melarikan diri, menjadi gelandangan sejak kejadian itu, walau ia akhirnya kembali juga kepada ayahnya.
Namun, kembalinya Prakasa tak berlangsung lama. Ayahnya yang terkena serangan jantung meninggal setelah ditemui Prakasa di dalam penjara. Prakasa kemudian diasuh oleh seorang perwira polisi, dan kemudian tumbuh-besar menjadi seorang polisi yang sangat gagah dan tampan, dengan tugas-tugas rahasia, termasuk melacak keberadaan teroris.
Takdir kemudian membawa Kemala dan Prakasa bertemu. Saat mereka bertemu, Kemala tengah menyamar menjadi penari di sebuah kelab malam yang banyak dikunjungi turis asing. Ia sebenarnya ditugasi secara khusus untuk melakukan "jihad" di sana pada waktunya. Proses cuci otak terjadi pada diri Kemala saat ia bertemu dengan Ustadz Amir yang mengajarkan tentang menghadirkan surga di bumi: membuat ajaran Islam diterima semua kalangan dengan berbagai cara -- bahkan dengan cara kekerasan.
Akan mudah ditebak banyak pembaca: pertemuan Prakasa dan Kemala pun kemudian merambah kepada sebuah hubungan asmara. Hubungan mereka penuh dialog yang persuasif dan investigatif. Sampai akhirnya sebuah rencana Kemala dan kawan-kawan terorisnya terkuak oleh seorang anggota polisi rekan Prakasa.
Sejauh itu, Damien berhasil menyuguhkan bacaan dengan alur yang memikat. Ia juga pandai mengemas novel ini dengan bahasa yang ringan dan gaul. Novel ini sangat pas ditujukan bagi para remaja dan pemuda yang sedang mencari jati-diri. Damien berhasil menyusupkan banyak pesan moral dalam novelnya tentang jati-diri Islam yang pada hakikatnya adalah agama perdamaian. Profesor Syafii Maarif, Romo Benny Susetyo, Pendeta Erick Barus, hingga aktor Ray Sahetapy memberikan pujian padanya dalam hal ini. Bahkan Nasir Abas, mantan pimpinan Jamaah Islamiyah, memberikan kata penutup yang memuat pesan perdamaian dengan begitu gamblang.
Namun, dari mana proses kreatif itu berawal dan dari mana data-data yang digunakan untuk membangun jalan cerita diperoleh, pembaca tidak diberi penjelasan. Sampai sejauh mana Damien menjalin kedekatan dengan latar-peristiwa, tempat, karakter dan dunia terorisme tampak meragukan. Di halaman depan novel hanya tertulis penjelasan sejumput kalau "... beberapa kejadian di dalamnya terinspirasi dari cuplikan kisah-kisah nyata yang sebagian didramatisasi untuk keperluan cerita."
Damien dikenal sebagai penulis produktif. Sudah empat puluh lebih novel ia publikasikan. Tampaknya ia memang ahli dalam membuat satu karya panjang dengan cepat. Namun hal yang sangat disayangkan, di sini Damien tampak tergesa-gesa menyelesaikan novelnya. Beberapa kesalahan penulisan masih dibuatnya di sana-sini -- mengurangi kenikmatan membaca.
Damien menciptakan tokoh imajiner yang memiliki alasan-alasan logis dan manusiawi untuk memutuskan menjadi teroris pada akhirnya. Sayangnya, ia kurang menggerapai lebih jauh dalam menjabarkan dunia dan kehidupan para teroris. Ia lebih banyak mengisahkan pergulatan batin Kemala -- juga harapan dan impian-impiannya yang pupus karena nasib buruk yang beruntun menimpa hidupnya.
Alih-alih menghadirkan dunia terorisme yang kejam dan berdarah-darah, Damien lebih terobsesi menghadirkan kisah teroris yang -- entah ia sadari atau tidak -- ia balut dengan nuansa dongeng Cinderella. Bagaimana tidak, Damien menghadirkan teroris yang sangat cantik dan polisi yang sangat gagah dan tampan dalam kisah ini. Membaca buku ini separuh lebih, para pembaca akan sangat mudah menebak akhir ceritanya. ***
Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan pembaca sastra Indonesia
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar