Selasa, 01 Juni 2010

[resensi buku] Sejarah Modernisasi Jepang

N Mursidi, Koran Jakarta, Senin, 31 Mei 2010

Togukawa Yoshinobu–gelar yang disematkan kepada Hitotsubashi Keiki yang dicatat sejarah sebagai shogun kelima belas–mungkin dapat dikatakan tak beruntung sewaktu diangkat menjadi shogun.

Yoshinobu yang memiliki banyak kelebihan dan dianggap sebagai reinkarnasi Ieyasu sedari awal direncanakan menjadi ahli waris Iesada (shogun ketiga belas). Tetapi, sejarah berkata lain. Iesada meninggal tiba-tiba.

Sementara itu, Hitotsubashi Keiki belum diangkat sebagai pewaris takhta. Padahal, Iesada tidak memiliki keturunan. Iemochi akhirnya yang diangkat menjadi shogun keempat belas–waktu itu berusia dua belas tahun.

Iemochi berkuasa delapan tahun (1858-1866). Ia lemah, tak memiliki anak, dan meninggal di usia muda sehingga dewan keshogunan mendesak Hitotsubashi menjadi shogun (kelima belas).

Tapi, ia diangkat menjadi shogun pada waktu Jepang dalam keadaan bergolak. Bangsa asing–Amerika, Inggris dan Rusia–tak henti-henti menuntut Jepang membuka diri dan tak menutup hubungan (perdagangan) dengan luar.

Sementara pemerintahan otoriter yang dibangun Ieyasu telah hancur berkeping-keping. Rakyat dicekam suasana politik di tampuk dualisme kepemimpinan yang rapuh. Pemimpin klan–terlebih klan Satsumo dan Choshu–berambisi menghancurkan keshogunan, melebur pemerintahan pada satu tampuk kepemimpinan di tangan kaisar.

Suasana politik yang tidak menguntungkan itu membuat Yoshinobu dihadapkan pada dilema. Yoshinobu yang dilahirkan di Edo, tahun 1838, dari keturunan Mito–putra Tokugawa Nariaki–mewarisi darah antibangsa asing. Padahal, dia sadar zaman sudah memasuki era modernisasi dan Jepang sudah seharusnya membuka diri.

Ia tak menolak merestorasi kekaisaran. Semula, ia berharap bisa meredam pemberontakan dengan cara perang– melawan Choshu.

Enam bulan kemudian, cara kekerasan itu ia hentikan, tapi pergolakan seperti tidak bisa dihentikan. Hingga akhirnya keadaan yang tak menguntungkan itu memucak, pada 1868, saat pasukan Satsuma dan Choshu berhasil menguasai kota Kyoto–dengan alasan ingin menyelamatkan kepemimpinan kaisar.

Tidak cuma itu, pasukan Satsuma dan Choshu kemudian bergerak ke Edo menuntut Yoshinobu turun takhta. Pasukan shogun tidak berkutik.

Dalam dua pertempuan, pasukan shogun kalah dan terdesak mundur. Tidak ada pilihan lain, Yoshinobu meninggalkan Edo dan melarikan diri ke Shizuoka. Pilihan itu diambil Yoshinobu tak lain untuk menghindari pertumpahan darah. Ia melepaskan jabatan sebagai shogun kelima belas.

Sejak itu, dia dicatat sebagai shogun terakhir karena setelah itu Jepang melakukan restorasi kekaisaran dan tidak lagi ada kepemimpinan di tangan shogun.

Buku karya Ryotaro Shiba, The Last Shogun ini, tidak semata-mata mengisahkan kehidupan shogun terakhir Yoshinobu dari kehidupan masa kecil hingga jadi shogun yang dipaksa turun pada usia tiga puluh tahun, saat ia berkuasa belum genap dua tahun.

Tetapi lebih dari itu, buku ini merupakan penjelajahan historikal Jepang dalam memasuki era modern. Yoshinobu bukan hanya shogun terakhir, melainkan juga seorang lelaki yang tangguh, pintar, mampu mengambil keputusan dengan cepat walau keadaan tak menguntungkan.

Berbeda dengan shogun pendahulunya, ia sadar bahwa Jepang dapat bertahan menjadi bangsa merdeka justru ketika Jepang menerima modernisasi dan perubahan.

Kebesaran dan kemegahan Jepang sekarang ini tak bisa dilepaskan dari pemikiran Yoshinobu yang rela melepaskan jabatan shogun dan menerima perubahan.

* Peresensi adalah N Mursidi, blogger buku dan pemerhati dunia pustaka, tinggal di Jakarta 


www.mediabuku.com

0 komentar: