Minggu, 28 Juni 2009

[resensi buku] Melawan Kejahatan di Papua, Sekaligus Menghibur

Koran Tempo, 26 Juni 2009

Novel ini adalah pemenang Lomba Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008. Menurut penulisnya, Anindita S. Thayf, ide untuk menulis novel ini datang justru ketika ia melakukan riset untuk menulis buku nonfiksi anak tentang keindahan alam Papua. Alihalih menemukan berbagai keindahan tanah Papua, ia malah banyak menemukan berbagai ketimpangan sosial di sana. Jiwanya terpanggil untuk menyuarakan ketidakadilan yang ia temui dalam risetnya. Atas dasar itulah, Anindita berganti haluan dari menulis buku nonfiksi tentang keindahan Papua ke novel yang sarat dengan kritik sosial dengan setting Papua.

Melalui riset pustaka selama dua tahun, ia dengan teliti mencoba mengenali sumber masalah rakyat Papua. Ia menyusun dan mengolah semua data yang ia peroleh menjadi cerita tentang perjalanan hidup satu keluarga. Ia hidupkan tokohtokohnya dengan karakterkarakter yang menarik, dan jadilah sebuah novel. Tanah Tabu dipilih menjadi judul karena ia beranggapan bahwa setiap tanah yang merupakan warisan leluhur pastilah ditabukan oleh turunannya yang berbakti. Ditabukan dalam arti dipergunakan sesuai manfaat dan kebutuhan, serta dijaga kelestariannya. Ironisnya tanah Papua yang ditabukan dan diwariskan turuntemurun itu kini sebagian besar hilang, terdesak oleh orangorang asing yang datang untuk mengeruk kekayaan emas Papua.

Novel ini mengisahkan kehidupan tiga generasi perempuan Papua, yaitu Mabel, Mace, dan Leksi. Mereka semua merupakan satu keluarga penduduk asli Papua dari Suku Dani, pewaris kekayaan alam Papua yang kaya namun ironisnya mereka hidup miskin dan menderita akibat terjarahnya tanah mereka oleh para pendatang yang dengan rakus mengeruk kekayaan alam Papua.

Walau ada beberapa tokoh utama dalam novel ini, kisah kehidupan Mabel merupakan kisah yang dominan dalam novel ini. Sewaktu masih kecil hingga beranjak dewasa Mabel diasuh oleh keluarga Belanda dan tinggal di Wamena. Otomatis ia dibesarkan dan dididik dalam tradisi masyarakat Barat. Namun ketika keluarga angkatnya harus pulang ke negeri asalnya, Mabel kemudian mengalami masamasa kelam dalam hidupnya. Dua kali pernikahannya gagal. Ia juga pernah diculik dan mengalami siksaan hebat karena tuduhan bersekongkol dengan para pengacau keamanan.

Semua pengalamannya itulah yang membuat Mabel menjelma menjadi sosok yang mandiri, teguh, pemberani, cerdas, dan memiliki wawasan dan cara berpikir yang modern dibanding para wanita Papua.

Dalam kesehariannya, Mabel menjual sayur di pasar dan tinggal bersama Mace selaku menantunya dan Leksi, cucunya yang masih berusia 7 tahun yang hingga usianya kini belum pernah bertemu dengan ayah kandungnya yang meninggalkan Mace sebelum Leksi lahir. Lalu ada pula tokoh Pum, sahabat setia Mabel, dan Kwe, yang setia menemani dan menjaga Leksi kemana pun Leksi pergi. Selain itu, ada pula tokohtokoh tambahan seperti keluarga Mama Helda dan anaknya Yosi yang saban hari harus menghadapi kemarahan ayahnya yang pemabuk.

Novel ini dengan gamblang menyuarakan berbagai kenyataan pahit yang dialami penduduk Papua, terlebih ketika orangorang asing mulai berdatangan di kampung mereka. Orangorang asing itu memang datang membawa perubahan dan modernisasi, namun dua hal ini ternyata tak dirasakan manfaaatnya oleh kehidupan penduduk asli Papua. Di tengah tempat yang justru terus menerus dipoles menjadi semakin modern dan indah, masyarakat Papua justru tetap menderita, miskin, terkena penyakit, dan bencana, salah satunya karena sungai yang tercemar akibat limbah dari pabrik tambang emas yang berdiri megah ditengahtengah mereka.

Papua memang tak bisa menghindar dari gelombang modernisasi. Pembangunan dan modernisasi memang diperlukan di provinsi terujung Indonesia yang sering luput dari perhatian. Namun Papua dengan kekhasan alam dan budayanya membuat pembangunan dan modernisasi tak bisa dilaksanakan begitu saja tanpa mempertimbangkan faktor keunikan alam dan kultur budaya Papua halhal yang bersifat nonrasional. Saat ini pembangunan yang dilakukan di Papua hanyalah berdasarkan rasionalitas semata dan hanya untuk kepentingan para pendatang, untuk memudahkan mereka mengeruk habis kekayaan emas Papua.

Selain membongkar berbagai ketimpangan sosial yang terjadi di Papua, novel ini juga berbicara mengenai budaya patriarki Suku Dani yang amat merugikan kaum perempuan. Lelaki adalah penguasa, sedangkan wanita dianggap sebagai makhluk yang lemah sehingga patut dilindungi dari serangan musuh, tapi tidak dari penindasan keluarga sendiri.

Hal itu terlihat jelas pada semua tokoh wanita dalam novel ini. Mabel, Mace, dan Mama Helda, bernasib sama: mereka mengalami penderitaan fisik dan mental akibat perlakuan para suaminya tanpa bisa melawan. Hanya Mabel yang berhasil lepas dari belenggu nasibnya, dan ia yakin bahwa akar permasalahannya adalah karena jerat kebodohan yang menimpa perempuan Papua sehingga mereka terbelenggu oleh takdirnya yang hidup hanya untuk keluarga, suami, kebun, dan babi.

Melalui tokoh Mabellah suara perempuan Papua yang sebelumnya hanya berbisik dan nyaris membisu kini menjadi lantang terdengar. Mabel dengan berani melawan takdir perempuan sukunya dan menggugat berbagai ketimpangan yang terjadi di kampungnya. Mabel yakin bahwa satu hal yang dapat mengubah takdir mereka adalah melalui perjuangan melawan kebodohan. Setelah membebaskan keluarganya dari jerat kebodohan, ia lebarkan medan perjuangannya ke lingkungan sekitarnya. Sayangnya langkahnya terhenti juga ketika akhirnya Mabel tertangkap dan dibelenggu oleh pihakpihak yang tak menyukai sepak terjangnya.

Walau sarat dengan pesan kriktik sosial, dan memiliki tema yang kompleks, novel ini tak membosankan dan tak terkesan menggurui atau mengkhotbahi pembacanya. Anindita melebur semua itu ke dalam kisah kehidupan para tokohnya sehingga berbagai pesan moral yang hendak disampaikan penulis dengan halus menyelusup ke dalam alam bawah sadar pembacanya. Cara bertuturnya juga sangat baik sehingga novel ini enak dibaca dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Penulis juga menyertakan beberapa dialog inspiratif yang menggugah kesadaran pembacanya akan banyak hal.

Selain ceritanya yang menarik, novel ini juga dituturkan dengan cara yang unik. Kisah Mabel dan beberapa tokoh lain dalam novel ini dituturkan oleh beberapa narator secara bergantian menurut sudut pandangnya masingmasing. Uniknya, tak hanya manusia yang menjadi narator. Seekor babi dan anjing pun tak ketinggalan untuk ikut menjadi narator dan hal ini baru akan disadari oleh pembacanya di lembar akhir novel ini.

Di dunia cyber, novel ini tampaknya mendapat perhatian dari para book bloger yang umumnya mengutarakan pendapatnya atas novel ini secara jujur dan apa adanya. Di mata para blogger buku, novel ini dinilai sebagai novel yang bagus, hanya saja mereka umumnya mempertanyakan soal kemunculan dua binatang yang bernarasi dan memiliki perasaan dan cara berpikir seperti manusia ini. Terutama adalah soal usia si anjing yang merupakan teman setia Mabel selagi ia masih kecil. Bagaimana mungkin seekor anjing bisa memiliki umur panjang hingga puluhan tahun?

Menanggapi hal itu Anindita menuturkan bahwa dalam novelnya kali ini ia memang ingin menerobos logika pembacanya. Dalam ranah fiksi, umumnya pembaca Indonesia sering terjebak bahwa semua kisah dalam novel itu haruslah rasional, karena ketika ada sesuatu yang tidak rasional maka hal itu akan dipertanyakan.

Apakah Tanah Tabu merupakan novel fantasi? Tidak sepenuhnya. Di sinilah keunikan novel ini: ia menggabungkan dunia rasional dengan fantasi. Kehadiran seekor anjing dan babi yang bernarasi pada novel ini bisa dimaknai sebagai sebuah simbol dan perenungan bahwa rasionalitas tak dapat menjawab problem sosial yang dialami oleh rakyat Papua.

Satu hal yang sangat disayangkan dalam novel ini adalah penulis kurang mengeksplorasi budaya Papua. Padahal ada banyak hal sisi budaya lokal yang bisa diangkat, misalnya tarian perang Suku Dani atau pesta babi yang menjadi bagian dari kehidupan mereka. Jika saja muatan budaya lokal ini bisa dimasukkan menjadi unsur cerita dalam kisah Mabel, pembaca tak hanya mengetahui berbagai ketimpangan yang terjadi di Papua melainkan mendapat bonus tambahan berupa budaya lokal yang unik dan tentunya sarat dengan makna kearifan lokal.

Apa pun, yang telah ditulis oleh Anindita dalam karyanya kali ini semakin membuktikan bahwa karya sastra tak hanya memberikan hiburan sastrawi kepada pembacanya. Tapi selain itu, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, \"Pengarang itu korps avant garde, bukan menghibur... tugasnya melawan kejahatan dalam tulisantulisannya.\" Dan Anindita telah menunaikan tugas itu, melawan diskriminasi dan kejahatan terhadap keadilan dan kemanusiaan.

Hernadi Tanzil, Book Blogger & Book Reveiwer
Pengelola situs http://bukuygkubaca.blogspot.com


www.mediabuku.com

0 komentar: