Kompas.com, Rabu, 20 Mei 2009
Mungkin kita tak pernah menyangka bahwa kini dunia telah berinovasi sangat jauh, bahkan melampaui sekat tahun dan abad tapi untuk persiapan kiamat!
Di Kutub Utara, sebuah gunung beku di Kepulauan Svalbard, Norwegia, 1100 kilometer dari kutub utara dijadikan tempat menyimpan biji-bijian dari seluruh dunia resmi difungsikan. Fasilitas yang disebut sebagai Kubah Kiamat (Doomsday Vault).
Kubah yang berada di dalam perut gunung sedalam 127,5 meter tersebut akan menyimpan cadangan bibit dari ratusan bank benih dari seluruh dunia. Ruangan di dalamnya dapat memuat 4,5 juta sampel benih.
Kubah Kiamat dibangun atas prakarsa Global Crop Diversity Trust, lembaga yang didanai badan PBB untuk urusan pangan atau FAO (Food and Agriculture Organization), dan Biodiversity Internasional yang berbasis di Roma, Italia.
Bangunan tersebut dibuat selama satu tahun dengan biaya pembangunan mencapai 9,1 juta dollar AS. Menurut informasi, penyebutan kubah kiamat karena pembangunannya dimaksudkan untuk melindungi plasma nutfah. Jika terjadi bencana alam yang sangat besar hingga memusnahkan sumber pangan, biji-bijina tersebut diharapkan menjadi penyelamat manusia dari kelaparan. \"Svalbard Global Seed Vault" merupakan kebijakan penyelamatan. Ini adalah \\\'Bahtera Nuh\\\' untuk melindungi keragaman biologi generasi masa depan.
Itulah pekerjaan dunia meyelamatkan flasma nutfah dan biji-bijian yang didalamnya sudah dipastikan sebagai komoditas pangan dunia. Sekarang kita lihat India yang telah memiliki pusat riset pertanian di wilayah Pusa, New Delhi fasilitas yang super komplit baik untuk riset maupun konferensi, tempat itu juga yang dilengkapi dengan museum pertanian dengan nama National Agricultural Science Museum (NASM), Indialah yang memiliki museum pertanian pertama di dunia. Jangan bertanya apa isi didalamnya, tapi ada hal yang unik yang bagi bangsa Nusantara belum tentu terdokumentasikan yaitu adanya sejumlah buku seperti Artha Shastra oleh Kautilya, Brihat Samhita oleh Barahamihira, dan Krishi Parasara oleh Parasara sehingga memberikan gambaran fase-fase pertanian di India, sebuah museum peradaban!
India, dengan lantang menjaga dan mengembangkan enam pilar ekonimi pertanian yaitu tanah, air, iklim, benih, peralatan, dan petani. Inilah yang menjadikan India maju.
Kini kita baca Nusantara (Baca: Indonesia), komoditas rempah juga menjadi sebuah peradaban di masanya. Awal abad masehi komoditas ini telah dikenal di Romawi. Orang Romawi mengenal komoditas tersebut dari Arab selatan tepatnya Yaman. Tapi mereka hanya bilang kayu manis misalnya berasal dari sarang burung, soal burung itu membawa kayu manis darimana, hanya burung yang tahu. Bahkan sebuah buku History of The Arabs mengatakan rempah hanya disebutkan berasal dari bukit yang dijaga oleh ular. Pedagang Arab mengatakan sangat sulit mendapatkannya hingga komoditas tersebut dikenal berharga mahal. Padahal sumber itu dari Nusantara!
Kedatangan bangsa Arab ke Nusantara selain mencari rempah-rempah juga membawa pengaruh pada kuliner. Saat peradaban Persia mulai runtuh, disusul dengan munculnya peradaban Barat, rempah-rempah masih menjadi misteri hingga orang Portugis abad ke-16 datang ke Nusantara. Kedatangan peradaban India, China, Arab hingga orang Eropa membawa pengaruh pada makanan. Khusus di Pulau Jawa, jejak tersebut sangat komplet, menurut Prof. Deny Lombard mengatakan bahwa Pulau Jawa sebagai tempat persilangan budaya. Memalui buku inilah pembaca akan mengetahui legih luas mengenai sejarah masuknya peradaban kuliner di Nusantara.
Komoditas pangan khususnya beras ternyata sudah jauh hari dijadikan alat kekuasaan, alat perang dan bahan diplomasi dari jaman Majapahit hingga kini sebuah pengualangan yang tak elok. Begitu vitalnya peran pangan, teori Maslow tentang kebutuhan manusia mengemukakan, bahwa pangan adalah basic need yang menduduki peringkat pertama dari serentetan kebutuhan-kebutuhan manusia lainnya. Kerangka ini tentu bisa dipahami, sebab pangan sangat berkait erat dengan keberlangsungan hidup manusia. Dalam konteks yang universal, pangan telah ditempatkan sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Universal Declaration of Human Rights 1948, Article 25 (1) menyebutkan, "everyone has the rights to standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food ." Karenanya, secara normatif penyediaan pangan menjadi tanggung jawab negara, dalam kerangka pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, di mana hak atas pangan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Hak atas pangan dapat diterjemahkan sebagai right not to be hungry, yaitu hak bagi setiap orang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat, wilayah atau negara untuk mendapatkan kecukupan makanan yang dibutuhkan, bagi keperluan menjalankan aktifitas hidupnya dalam batas-batas yang memenuhi ukuran kesehatan. Pengakuan hak (entitlement) atas pangan bisa dimaknai sebagai klaim yang dapat dipaksakan atas permintaan barang, layanan, atau perlindungan oleh pihak lain. Hak tersebut hadir ketika suatu kelompok secara aktif dan efektif mendesak pihak lain untuk memberikan barang, layanan atau perlindungan, dan pihak ketiga-negara-membantu sepenuhnya, atau tidak menghalangi upaya tersebut. Kerangka berpikir yang menempatkan pangan sebagai hak bisa digunakan sebagai instrumen untuk memotong kerangka pemahaman, yang mengatakan bahwa persoalan pemenuhan pangan hanya sekedar persoalan distribusi sumber-sumber pangan semata.
Dalam logika relasi negara dengan masyarakat Wahyudi Djafar (Sekretaris Eksekutif Saqifa Institute for Ecosoc Rights Yogyakarta) menulis dalam salah satu artikelnya bahwa masyarakat telah menyerahkan sebagian haknya kepada negara, mereka telah patuh tunduk untuk menjalankan serangkaian kewajiban yang dibebankan negara kepadanya.
Penyerahan dan ketertundukan ini dilegitimasikan dalam sebuah kontrak sosial antara negara dengan masyarakat, yang kemudian disebut dengan konstitusi. Konstitusi menjadi norma dasar (grondnorm) dari suatu negara, yang tak boleh dilanggar dan disimpangi oleh aturan apapun, karena disitulah letak penyerahan daulat rakyat kepada negara. Konsekuensi logis dari penyerahan sebagaian hak warganegara kepada negara, terutama secara politik, mengharuskan negara untuk melakukan pemenuhan (to fulfil) hak-hak konstitusional warganegara dalam sektor sosial, ekonomi dan budaya, selain pemenuhan hak sipil dan politik. Konsepsi itulah yang selanjutnya melahirkan turunan bahwa pemenuhan pangan ialah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Kerangka berfikir tersebut kemudian dilegitimasi oleh UUD 1945, yang secara tegas mengatur kewajiban negara (state obligation) untuk memajukan (to promote), menegakkan (to protect) dan memenuhi (to fulfil) hak-hak konstitusional warganegara. Kaitannya dengan upaya pemenuhan hak atas pangan, secara tersirat konstitusi mengaturnya dalam Pasal 28C ayat (1), dan diperkuat dalam Pasal 28H ayat (1), (2), dan (3), yang jelas mengatur tentang akses warganegara untuk mencukupi kebutuah dasarnya. Untuk memperkuat upaya pemajuan dan pemenuhan hak-hak konstitusional warganegara tersebut, UUD 1945 Pasal 28I ayat (4) mengamanatkan, "Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah."
Konstruksi konstitusi ini kemudian diperkuat dengan diratifikasinya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, pada 28 Oktober 2005, melalui UU No. 11 Tahun 2005. Article 11 (1) ICESCR menyatakan, "The State parties to the present Covenant Recognize the right of everyone to an adequate standard of living including adequate food and agree to trake appropriate steps to realize this right ."
Sebagai upaya untuk memperkuat hak atas pangan, tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pangan terjelaskan bahwa: pertama, negara tidak diperkenankan mencampuri atau menghalang-halangi segala upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka (adanya jaminan aksesibiliti). Intervensi hanya diperbolehkan dalam rangka mendorong masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka; Kedua, negara memiliki kewajiban untuk mengeluarkan segala peraturan perundangan dan instrument hukum lainnya yang menjamin terpenuhinya hak atas pangan bagi seluruh warganegara, tidak bersifat imparsial atau hanya menguntungkan pihak-pihak atau kelompok tertentu; Ketiga, negara harus aktif dalam mengupayakan pemenuhan hak atas pangan bagi seluruh warganegaranya, tidak mengurangi hak atas pangan warga negara tertentu. Artinya setiap warganegara memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk mencukupi kebutuhan pangannya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah adanya kesalahpahaman dalam mekanisme penerapan pemenuhan hak atas pangan, sebagai bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya. Tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya banyak ditafsirkan bersifat obligations of result, artinya sangat tergantung pada peran negara dalam memaksimalkan sumber-sumber daya yang dimilikinya, sehingga pemenuhan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dapat dilakukan secara perlahan-lahan (progressively), tidak bersifat absolut. Berbeda dengan pemenuhan hak-hak sipil politik, di mana tanggung jawab negara berbentuk obligations of conduct, sehingga mutlak diadakan. Padahal kedua bangunan hak tersebut diposisikan indivisible dan inter-dependent, sehingga penegakkan dan pemenuhannya pun wajib diadakan secara bersamaan, tidak timpang antara satu dan lainnya.
Sebagai langkah nyata, pegalaman revolusi hijau pertama dan kini menginjak revolusi hikau tahap dua terbentang harap semoga dapat menyelesaikan masalah pangan dunia, khususnya Indonesia beberapa tahun kedepan. ©
Peresensi: Engkos Kosnadi (Pendiri/Peneliti Kaoem Dewantara Institute)
Blog : http://ramaprabu.multiply. com
e-mail : lord.ramaprabu@yahoo. co.id
Contac : 081321780781
Mungkin kita tak pernah menyangka bahwa kini dunia telah berinovasi sangat jauh, bahkan melampaui sekat tahun dan abad tapi untuk persiapan kiamat!
Di Kutub Utara, sebuah gunung beku di Kepulauan Svalbard, Norwegia, 1100 kilometer dari kutub utara dijadikan tempat menyimpan biji-bijian dari seluruh dunia resmi difungsikan. Fasilitas yang disebut sebagai Kubah Kiamat (Doomsday Vault).
Kubah yang berada di dalam perut gunung sedalam 127,5 meter tersebut akan menyimpan cadangan bibit dari ratusan bank benih dari seluruh dunia. Ruangan di dalamnya dapat memuat 4,5 juta sampel benih.
Kubah Kiamat dibangun atas prakarsa Global Crop Diversity Trust, lembaga yang didanai badan PBB untuk urusan pangan atau FAO (Food and Agriculture Organization), dan Biodiversity Internasional yang berbasis di Roma, Italia.
Bangunan tersebut dibuat selama satu tahun dengan biaya pembangunan mencapai 9,1 juta dollar AS. Menurut informasi, penyebutan kubah kiamat karena pembangunannya dimaksudkan untuk melindungi plasma nutfah. Jika terjadi bencana alam yang sangat besar hingga memusnahkan sumber pangan, biji-bijina tersebut diharapkan menjadi penyelamat manusia dari kelaparan. \"Svalbard Global Seed Vault" merupakan kebijakan penyelamatan. Ini adalah \\\'Bahtera Nuh\\\' untuk melindungi keragaman biologi generasi masa depan.
Itulah pekerjaan dunia meyelamatkan flasma nutfah dan biji-bijian yang didalamnya sudah dipastikan sebagai komoditas pangan dunia. Sekarang kita lihat India yang telah memiliki pusat riset pertanian di wilayah Pusa, New Delhi fasilitas yang super komplit baik untuk riset maupun konferensi, tempat itu juga yang dilengkapi dengan museum pertanian dengan nama National Agricultural Science Museum (NASM), Indialah yang memiliki museum pertanian pertama di dunia. Jangan bertanya apa isi didalamnya, tapi ada hal yang unik yang bagi bangsa Nusantara belum tentu terdokumentasikan yaitu adanya sejumlah buku seperti Artha Shastra oleh Kautilya, Brihat Samhita oleh Barahamihira, dan Krishi Parasara oleh Parasara sehingga memberikan gambaran fase-fase pertanian di India, sebuah museum peradaban!
India, dengan lantang menjaga dan mengembangkan enam pilar ekonimi pertanian yaitu tanah, air, iklim, benih, peralatan, dan petani. Inilah yang menjadikan India maju.
Kini kita baca Nusantara (Baca: Indonesia), komoditas rempah juga menjadi sebuah peradaban di masanya. Awal abad masehi komoditas ini telah dikenal di Romawi. Orang Romawi mengenal komoditas tersebut dari Arab selatan tepatnya Yaman. Tapi mereka hanya bilang kayu manis misalnya berasal dari sarang burung, soal burung itu membawa kayu manis darimana, hanya burung yang tahu. Bahkan sebuah buku History of The Arabs mengatakan rempah hanya disebutkan berasal dari bukit yang dijaga oleh ular. Pedagang Arab mengatakan sangat sulit mendapatkannya hingga komoditas tersebut dikenal berharga mahal. Padahal sumber itu dari Nusantara!
Kedatangan bangsa Arab ke Nusantara selain mencari rempah-rempah juga membawa pengaruh pada kuliner. Saat peradaban Persia mulai runtuh, disusul dengan munculnya peradaban Barat, rempah-rempah masih menjadi misteri hingga orang Portugis abad ke-16 datang ke Nusantara. Kedatangan peradaban India, China, Arab hingga orang Eropa membawa pengaruh pada makanan. Khusus di Pulau Jawa, jejak tersebut sangat komplet, menurut Prof. Deny Lombard mengatakan bahwa Pulau Jawa sebagai tempat persilangan budaya. Memalui buku inilah pembaca akan mengetahui legih luas mengenai sejarah masuknya peradaban kuliner di Nusantara.
Komoditas pangan khususnya beras ternyata sudah jauh hari dijadikan alat kekuasaan, alat perang dan bahan diplomasi dari jaman Majapahit hingga kini sebuah pengualangan yang tak elok. Begitu vitalnya peran pangan, teori Maslow tentang kebutuhan manusia mengemukakan, bahwa pangan adalah basic need yang menduduki peringkat pertama dari serentetan kebutuhan-kebutuhan manusia lainnya. Kerangka ini tentu bisa dipahami, sebab pangan sangat berkait erat dengan keberlangsungan hidup manusia. Dalam konteks yang universal, pangan telah ditempatkan sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Universal Declaration of Human Rights 1948, Article 25 (1) menyebutkan, "everyone has the rights to standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food ." Karenanya, secara normatif penyediaan pangan menjadi tanggung jawab negara, dalam kerangka pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, di mana hak atas pangan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Hak atas pangan dapat diterjemahkan sebagai right not to be hungry, yaitu hak bagi setiap orang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat, wilayah atau negara untuk mendapatkan kecukupan makanan yang dibutuhkan, bagi keperluan menjalankan aktifitas hidupnya dalam batas-batas yang memenuhi ukuran kesehatan. Pengakuan hak (entitlement) atas pangan bisa dimaknai sebagai klaim yang dapat dipaksakan atas permintaan barang, layanan, atau perlindungan oleh pihak lain. Hak tersebut hadir ketika suatu kelompok secara aktif dan efektif mendesak pihak lain untuk memberikan barang, layanan atau perlindungan, dan pihak ketiga-negara-membantu sepenuhnya, atau tidak menghalangi upaya tersebut. Kerangka berpikir yang menempatkan pangan sebagai hak bisa digunakan sebagai instrumen untuk memotong kerangka pemahaman, yang mengatakan bahwa persoalan pemenuhan pangan hanya sekedar persoalan distribusi sumber-sumber pangan semata.
Dalam logika relasi negara dengan masyarakat Wahyudi Djafar (Sekretaris Eksekutif Saqifa Institute for Ecosoc Rights Yogyakarta) menulis dalam salah satu artikelnya bahwa masyarakat telah menyerahkan sebagian haknya kepada negara, mereka telah patuh tunduk untuk menjalankan serangkaian kewajiban yang dibebankan negara kepadanya.
Penyerahan dan ketertundukan ini dilegitimasikan dalam sebuah kontrak sosial antara negara dengan masyarakat, yang kemudian disebut dengan konstitusi. Konstitusi menjadi norma dasar (grondnorm) dari suatu negara, yang tak boleh dilanggar dan disimpangi oleh aturan apapun, karena disitulah letak penyerahan daulat rakyat kepada negara. Konsekuensi logis dari penyerahan sebagaian hak warganegara kepada negara, terutama secara politik, mengharuskan negara untuk melakukan pemenuhan (to fulfil) hak-hak konstitusional warganegara dalam sektor sosial, ekonomi dan budaya, selain pemenuhan hak sipil dan politik. Konsepsi itulah yang selanjutnya melahirkan turunan bahwa pemenuhan pangan ialah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Kerangka berfikir tersebut kemudian dilegitimasi oleh UUD 1945, yang secara tegas mengatur kewajiban negara (state obligation) untuk memajukan (to promote), menegakkan (to protect) dan memenuhi (to fulfil) hak-hak konstitusional warganegara. Kaitannya dengan upaya pemenuhan hak atas pangan, secara tersirat konstitusi mengaturnya dalam Pasal 28C ayat (1), dan diperkuat dalam Pasal 28H ayat (1), (2), dan (3), yang jelas mengatur tentang akses warganegara untuk mencukupi kebutuah dasarnya. Untuk memperkuat upaya pemajuan dan pemenuhan hak-hak konstitusional warganegara tersebut, UUD 1945 Pasal 28I ayat (4) mengamanatkan, "Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah."
Konstruksi konstitusi ini kemudian diperkuat dengan diratifikasinya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, pada 28 Oktober 2005, melalui UU No. 11 Tahun 2005. Article 11 (1) ICESCR menyatakan, "The State parties to the present Covenant Recognize the right of everyone to an adequate standard of living including adequate food and agree to trake appropriate steps to realize this right ."
Sebagai upaya untuk memperkuat hak atas pangan, tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pangan terjelaskan bahwa: pertama, negara tidak diperkenankan mencampuri atau menghalang-halangi segala upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka (adanya jaminan aksesibiliti). Intervensi hanya diperbolehkan dalam rangka mendorong masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka; Kedua, negara memiliki kewajiban untuk mengeluarkan segala peraturan perundangan dan instrument hukum lainnya yang menjamin terpenuhinya hak atas pangan bagi seluruh warganegara, tidak bersifat imparsial atau hanya menguntungkan pihak-pihak atau kelompok tertentu; Ketiga, negara harus aktif dalam mengupayakan pemenuhan hak atas pangan bagi seluruh warganegaranya, tidak mengurangi hak atas pangan warga negara tertentu. Artinya setiap warganegara memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk mencukupi kebutuhan pangannya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah adanya kesalahpahaman dalam mekanisme penerapan pemenuhan hak atas pangan, sebagai bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya. Tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya banyak ditafsirkan bersifat obligations of result, artinya sangat tergantung pada peran negara dalam memaksimalkan sumber-sumber daya yang dimilikinya, sehingga pemenuhan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dapat dilakukan secara perlahan-lahan (progressively), tidak bersifat absolut. Berbeda dengan pemenuhan hak-hak sipil politik, di mana tanggung jawab negara berbentuk obligations of conduct, sehingga mutlak diadakan. Padahal kedua bangunan hak tersebut diposisikan indivisible dan inter-dependent, sehingga penegakkan dan pemenuhannya pun wajib diadakan secara bersamaan, tidak timpang antara satu dan lainnya.
Sebagai langkah nyata, pegalaman revolusi hijau pertama dan kini menginjak revolusi hikau tahap dua terbentang harap semoga dapat menyelesaikan masalah pangan dunia, khususnya Indonesia beberapa tahun kedepan. ©
Peresensi: Engkos Kosnadi (Pendiri/Peneliti Kaoem Dewantara Institute)
Blog : http://ramaprabu.multiply. com
e-mail : lord.ramaprabu@yahoo. co.id
Contac : 081321780781

www.dinamikaebooks.com


0 komentar:
Posting Komentar