Majalah Gatra No. 23 tahun XV/ 16-22 April 2009
Mana ada samurai tanpa pedang? Bagaimana mungkin, dia bisa menang perang? Setumpuk pertanyaan lain menggayut ketika membaca judul buku ini. Tapi setelah ditelaah lebih ke dalam, ternyata ada kisah nyata seorang samurai yang tampil tanpa mengandalkan pedang sebagai simbol kependekaran Jepang.
Itulah yang terungkap dari riwayat Toyotomi Hideyoshi. Tidak hanya samurai biasa, ia bahkan menjadi pemimpin legendaris di Jepang. Dengan sosok yang jauh dari citra pendekar, ia menyatukan negeri itu yang tercabik-cabik di abad XV-XVI. Bahkan di puncak kariernya, Hideyoshi menjadi wakil kaisar. Kuncinya adalah kecerdasan, kelicinan dan kemampuan negosiasinya yang luar biasa.
Lahir sebagai anak petani miskin, di Nakamura, Provinsi Owari. Tampang jelek, dan bertubuh pendek. Menjadi yatim sejak kecil, dan dibesarkan oleh seorang ayah tiri. Tahun kelahirannya, walau masih diperdebatkan, tercatat tanggal 2 Februari 1536.
Nyaris tak ada kelebihan yang dapat dibanggakan untuk menatap masa depan. Bahkan karena keadaan fisiknya yang buruk, julukan Monyet dilekatkan tuan tempatnya mengabdi: Oda Nobunaga. HIdeyoshi lahir ketika Jepang dilanda perang antar-klan yang berkepanjangan. Era ketika setiap samurai dituntut memiliki keahlian menggunakan pedang dan bela diri.
Tapi Hideyoshi membalik \"mitos\" samurai itu bahkan pada setiap jenjang kepemimpinan yang dirintisnya. Ia tak bisa bela diri dan tak mahir olah senjata itu, tapi sanggup tampil sebagai pemimpin dan pemersatu klan-klan yang berseteru.
Dalam buku ini, Kitami Masao mengisahkan Hideyoshi dengan gaya otobiografi --dengan tokoh utama \"aku\"-- berbekal setumpuk dokumen penelitian ahli sejarah. Ia pun menjamin, buku ini mendekati akurat di tengah-tengah mitos yang melingkupi kepemimpinan Hideyoshi.
Soal keberhasilan tampil sebagai pemimpin dan tokoh pemersatu, Hideyoshi berujar, \"Keberhasilanku dalam meraih kepemimpinan dibangun atas dasar-dasar yang terdengar lumrah seperti pengabdian, penghargaan, kerja keras dan tindakan tegas.\" Sedemikian sederhananya, tapi Hideyoshi menjalankan prinsip hidup itu melampaui kewajaran.
Ia bekerja tiga kali lebih keras. Mengabdi tiga kali lebih setia. Memberi penghargaan tiga kali lebih tinggi. Dan bertindak keras pada diri sendiri lebih dari orang lain. Maka, ia berhasil menjadi pemimpin. Di masa kecil hingga remaja, Hideyoshi boleh dibilang sungguh tidak beruntung. Ayahnya wafat ketika ia berumur tujuh tahun, lantas ibunya menikah lagi (dengan seorang petani pula). Waktu kecil, ia tergolong nakal dan benci sekolah, sehingga para biksu angkat tangan dan mengembalikan Hideyoshi ke orangtuanya. Di rumah pun ia selalu bertengkar dengan ayah tirinya.
Di usia 15 tahun, ia meninggalkan rumah dan berjanji tak akan pulang sebelum berhasil meraih impiannya. Dia berpetualang, tidur di jalanan, dan kerap kelaparan; jadi pedagang jarum keliling, menjalani pekerjaan rendahan.
Hideyoshi sempat ikut klan Matshushita sebelum mengabdi kepada Lord Nobunaga. Di matanya, Nobunaga adalah pemimpin yang memiliki visi ke depan. Ketika Nobunaga meninggal dibunuh Mitsuhide, dia mengobarkan semangat untuk menuntut balas. Hidoyoshi meneruskan perjuangan Nobunaga, menyatukan Jepang dan kemudian menjadi wakil kaisar.
Buku ini mengungkap riwayat hidup Hideyoshi. Kisahnya tak hanya ihwal setumpuk prestasi dan keberhasilan sang legenda, juga kegagalan setelah ia meraih jabatan. Terutama, akibat racun kesombongan. Tapi kegagalan itu, seperti dikutip Tim Clark dalam pengantarnya untuk buku ini, termaafkan karena keberhasilannya yang spektakuler.
Namanya masih melekat di ingatan para siswa sekolah Jepang sampai empat aban kemudian. Ia wafat pada 18 September 1598 sebelum cita-citanya yang dirajut bersama Nobunaga, menaklukkan Cina, kesampaian. ***
*) N. Mursidi, blogger buku terbaik dalam Pesta Buku Jakarta 2008
Mana ada samurai tanpa pedang? Bagaimana mungkin, dia bisa menang perang? Setumpuk pertanyaan lain menggayut ketika membaca judul buku ini. Tapi setelah ditelaah lebih ke dalam, ternyata ada kisah nyata seorang samurai yang tampil tanpa mengandalkan pedang sebagai simbol kependekaran Jepang.
Itulah yang terungkap dari riwayat Toyotomi Hideyoshi. Tidak hanya samurai biasa, ia bahkan menjadi pemimpin legendaris di Jepang. Dengan sosok yang jauh dari citra pendekar, ia menyatukan negeri itu yang tercabik-cabik di abad XV-XVI. Bahkan di puncak kariernya, Hideyoshi menjadi wakil kaisar. Kuncinya adalah kecerdasan, kelicinan dan kemampuan negosiasinya yang luar biasa.
Lahir sebagai anak petani miskin, di Nakamura, Provinsi Owari. Tampang jelek, dan bertubuh pendek. Menjadi yatim sejak kecil, dan dibesarkan oleh seorang ayah tiri. Tahun kelahirannya, walau masih diperdebatkan, tercatat tanggal 2 Februari 1536.
Nyaris tak ada kelebihan yang dapat dibanggakan untuk menatap masa depan. Bahkan karena keadaan fisiknya yang buruk, julukan Monyet dilekatkan tuan tempatnya mengabdi: Oda Nobunaga. HIdeyoshi lahir ketika Jepang dilanda perang antar-klan yang berkepanjangan. Era ketika setiap samurai dituntut memiliki keahlian menggunakan pedang dan bela diri.
Tapi Hideyoshi membalik \"mitos\" samurai itu bahkan pada setiap jenjang kepemimpinan yang dirintisnya. Ia tak bisa bela diri dan tak mahir olah senjata itu, tapi sanggup tampil sebagai pemimpin dan pemersatu klan-klan yang berseteru.
Dalam buku ini, Kitami Masao mengisahkan Hideyoshi dengan gaya otobiografi --dengan tokoh utama \"aku\"-- berbekal setumpuk dokumen penelitian ahli sejarah. Ia pun menjamin, buku ini mendekati akurat di tengah-tengah mitos yang melingkupi kepemimpinan Hideyoshi.
Soal keberhasilan tampil sebagai pemimpin dan tokoh pemersatu, Hideyoshi berujar, \"Keberhasilanku dalam meraih kepemimpinan dibangun atas dasar-dasar yang terdengar lumrah seperti pengabdian, penghargaan, kerja keras dan tindakan tegas.\" Sedemikian sederhananya, tapi Hideyoshi menjalankan prinsip hidup itu melampaui kewajaran.
Ia bekerja tiga kali lebih keras. Mengabdi tiga kali lebih setia. Memberi penghargaan tiga kali lebih tinggi. Dan bertindak keras pada diri sendiri lebih dari orang lain. Maka, ia berhasil menjadi pemimpin. Di masa kecil hingga remaja, Hideyoshi boleh dibilang sungguh tidak beruntung. Ayahnya wafat ketika ia berumur tujuh tahun, lantas ibunya menikah lagi (dengan seorang petani pula). Waktu kecil, ia tergolong nakal dan benci sekolah, sehingga para biksu angkat tangan dan mengembalikan Hideyoshi ke orangtuanya. Di rumah pun ia selalu bertengkar dengan ayah tirinya.
Di usia 15 tahun, ia meninggalkan rumah dan berjanji tak akan pulang sebelum berhasil meraih impiannya. Dia berpetualang, tidur di jalanan, dan kerap kelaparan; jadi pedagang jarum keliling, menjalani pekerjaan rendahan.
Hideyoshi sempat ikut klan Matshushita sebelum mengabdi kepada Lord Nobunaga. Di matanya, Nobunaga adalah pemimpin yang memiliki visi ke depan. Ketika Nobunaga meninggal dibunuh Mitsuhide, dia mengobarkan semangat untuk menuntut balas. Hidoyoshi meneruskan perjuangan Nobunaga, menyatukan Jepang dan kemudian menjadi wakil kaisar.
Buku ini mengungkap riwayat hidup Hideyoshi. Kisahnya tak hanya ihwal setumpuk prestasi dan keberhasilan sang legenda, juga kegagalan setelah ia meraih jabatan. Terutama, akibat racun kesombongan. Tapi kegagalan itu, seperti dikutip Tim Clark dalam pengantarnya untuk buku ini, termaafkan karena keberhasilannya yang spektakuler.
Namanya masih melekat di ingatan para siswa sekolah Jepang sampai empat aban kemudian. Ia wafat pada 18 September 1598 sebelum cita-citanya yang dirajut bersama Nobunaga, menaklukkan Cina, kesampaian. ***
*) N. Mursidi, blogger buku terbaik dalam Pesta Buku Jakarta 2008
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar