Rabu, 27 Mei 2009

[resensi buku] Kisah 'Sang Samurai' Tanpa Pedang

Batam Pos, Minggu, 10 Mei 2009

Jepang di abad enam belas merupakan zaman pembantaian dan kegelapan. Zaman di mana satu-satunya hukum yang ada adalah hukum pedang. Ini di tandai dengan segala persoalan di selesaikan dengan pertumpahan darah. Tak pelak, dengan mudah nyawa melayang.  Namun, kehadiran Hideyoshi, anak petani miskin, yang di nilai mustahil membawa perdamaian, ternyata mampu mengeluarkan Jepang menuju pencerahan.

Di tulis dengan gaya bertutur sudut pandang pihak pertama, novel karya Kitami Masao ini di beri judul The Swordless Samurai. Inilah novel apik yang mempresentasikan Jepang di abad 16 dengan Hideyoshi sebagai pemenang tunggal pemimpin yang sukses tanpa pertumpahan darah. Sehingga ia diberi gelar 'Samurai Tanpa Pedang\\\'. Tampaknya penulis sudah mengenal betul karakter, sifat, kepribadian dan pola berfikir tentang tokoh utama yang di mainkan dalam novel ini. Ini terlihat dari gaya kepenulisanya dan inilah kisahnya.

Sebuah perjalanan yang amat biasa, Hideyoshi pun terlahir dari kelas social terendah. Ibunya berprofesi sebagai penggarap lahan sawah. Namun setelah kematian ayah kandungnya, Hideyoshi tidak betah tinggal bersama ayah tirinya. Ia selalu bertengkar dengan ayah tirinya maka sang ibu meminta Hideyoshi untuk pergi jauh meninggalkan rumah. "Dengarkan aku baik-baik, Hideyoshi, di dunia ini kau butuh tanah dan uang untuk hidup. Sebetulnya aku tidak mau menikah lagi, tapi aku harus bertahan hidup. Sekarang kau harus melakukan bagianmu, demi kita semua." Pinta sang ibu. Waktu itu Hideyoshi berumur lima belas tahun.

Betapa kejamnya hidup ini hingga demi sebuah keberlangsungan di hari depan Hideyoshi pun terpaksa menuruti permintaan sang ibu. Ia pun pergi meningalkan rumah dengan satu tekad dan tak akan pulang sebelum sukses di genggamnya. Dan beberapa kali ia mencoba berbagai pekerjaan namun, naas. Ia  selalu gagal dalam pekerjaanya bahkan hampir putus asa. Terakhir kali kegagalannya ketika ia sedang bekerja pada keluarga Matsushita. Siapa sangka, dialah pemimpin legendaries Jepang di abad 16 yang tiada tanding diplomasinya.

Suatu hari ketika Hideyoshi merenungkan segala kegagalanya terbersit di benaknya bahwa di provinsi Owari, tempat asalnya, tingallah seorang panglima perang muda bernama Oda Nobunaga. Hideyoshi bergegas menemui dan memutuskan untuk bekerja pada keluarga Nobunaga. Ia akhirnya memasuki dunia baru yaitu 'samurai\\\'. Semula,  Hideyoshi bekerja sebagai pembawa sandal  Nobunaga bahkan guna memberikan pelayanan maksimal, kamar Hideyoshi bersebelahan dengan kamar Nobunaga.

Semata, karena Hideyoshi ingin menunjukkan bahwa dirinya mampu bekerja dengan baik dan berguna bagi keluarga Nobunaga. Itulah cara Hideyoshi mendedikasikan hidupnya pada pemimpin yang di kaguminya secara diam-diam, pemimpin yang mempunyai visi dan misi ke depan, pemimpin yang selalu mendemonstrasikan program kerjanya. Hingga suatu hari, setelah prestasi demi prestasi cemerlang ia tunjukkan, Hideyoshi muncul sebagai pemimpin yang di segani baik kawan maupun lawan. Bukan tanpa alasan, karena tak-tik peperangannya  yang selalu mengubah kelemahan menjadi kekuatan bahkan kelebihan menjadi ciri khas Hideyoshi dalam menaklukkan lawan-lawanya di medan pertempuran. Hingga tak jarang setiap musuhnya hendak melakukan perlawan selalu kedodoran bahkan ada yang menyatakan kalah sebelum bertanding.

Menjadi pemimpin adalah melayani sepenuh hati serta mendedikasikan hidupnya untuk orang yang di pimpinya. Sebab dengan cara seperti itulah seorang pemimpin akan terlihat terhoemat dan berwibawa di mata masyarakatnya. Itulah gaya kepemimpinan yang di contohkan oleh Hideyoshi dalam masa kepemimpinanya.

Dalam konteks Indonesia maka sudah selayaknya para calon pemimpin di negeri ini becermin pada apa yang telah di lakukan oleh Hideyoshi. Sekalipun Hideyoshi berangkat dari kelas samurai, yang dalam konteks Indonesia kalangan militer, tapi ia tidak seenak perut menggunakan kekuasanya dalam menjalankan roda pemerintahan. Ia tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusian. Ini ia tunjukkan dalam sikapnya yang ramah terhadap wilayah jajahan yang tetap di beri wewenangn untuk memerintah.   

Seolah Nyata

Penulis dengan memposisikan sebagai pelaku utama seakan mengajak kita untuk menyelami dunia di mana Hideyoshi hidup waktu itu. Dengan berlatar keluarga miskin , seakan kita merasakan betul apa yang di alami Hideyoshi ketika berumur lima belas tahun yaitu, memotong rumput dan menangkap ikan. Membaca novel ini, kita seakan berada sebagai pelaku utama yang tiap langkah dapat merasakan keputusan Hideyoshi yang penuh dengan arif dan bijak. Kelebihan lain buku ini terletak pada keteguhan prinsip-prinsip Hideyoshi sebagai peminpin yang mengedepankan diplomasi sebagai jalan menuju perdamaian. Di samping juga beberapa syarat-syarat yang harus di miliki seorang pemimpin seperti melayani dengan baik, membanmgun jaringan personal dll .   

Di akui atau tidak, novel ini tak lebih dari buku-buku motivator yang sifatnya sebagai penyemangat. Ini terlihat dari alur cerita yang di bangun oleh penulis dalam novel ini. Narsisme, penulis, dalam memberikan justifikasi dalam tiap tindakan yang di lakukan oleh Hideyoshi merupakan bukti bahwa tambahan memeng ada di sana sini. Meskipun Ken Belson, New York Times, pernah menyatakan 'The Swordless Samurai adalah bacaan berharga bagi siapa saja.\\\' Namun tetap saja bagiku, inilah gaya baru buku-buku motivasi yang di kemas dengan bungkus novel sejarah dengan merujuk tokoh-tokoh hebat di zamanya.

Seperti di ceritakan dalam bab akhir novel ini bahwa sebaik dan secemerlang apapun  masa pemerintahan Hideyoshi toh tetep saja ia mengakui bahwa kesombongan itu ada. Karena terlalu silau dengan kekuasaanya sehingga mengakibatkan ia buta  yang berujung pada pertumpahan darah sebagai mana tak ia inginkan. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa sifat dasar manusia yang sering lalai dan berbuat dosa selalu menuntut kesadaran kita untuk selalu berhati-hati dan waspada ketika berada di puncak kesuksesan.

Diresensikan oleh: Santoso Rukatam


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: