M. Iqbal Dawami, Resensor.Blogspot.com
Membaca buku Di Bawah Cengkeraman Asing (2009) benar-benar membuat saya geram, miris, sekaligus membuka kesadaran. Betapa tidak, pelbagai sektor riil di Indonesia ternyata berada dalam penguasaan asing. Dominasi asing sudah keterlaluan merasup di tubuh kita sebagai bangsa dan negara. Tidak saja dalam penguasaan ekonomi, yang kemudian mencuatkan pengelolaan sistem ekonomi neoliberalisme, tapi juga pengaruhnya dalam bidang budaya, pendidikan, dan gaya hidup.
"Pernahkah anda menyadari, dari bangun tidur, beraktivitas, hingga tidur lagi, semuanya telah dikuasai perusahaan asing?" (hlm. 13). Begitulah Wawan, sang penulis buku ini, membuka pembahasannya. Tengok saja, dari mulai minum AQUA (74 persen sahamnya dikuasai perusahaan Danone asal Prancis), atau minum teh Sariwangi (100 persen sahamnya milik Unilever, Inggris), minum susu SGM (milik Sari Husada yang 82 persen sahamnya dikuasai Numico, Belanda), mandi dengan sabun Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (milik Unilever), hingga merokok Sampoerna (97 persen sahamnya milik Philips Morris, Amerika Serikat) dikuasai pihak asing.
Betapa tergantungnya kita dengan perusahaan asing. Tapi, memang begitulah realitanya, bahwa bangsa kita sebenarnya sudah dijajah bangsa asing. Kalau dulu sebatas Belanda dan Jepang, sekarang ini beragam bangsa asing mencengkeram negeri kita. Bagaimana bisa perusahaan asing itu menguasai begitu dahsyat pasar di Indonesia sementara kita hanya menjadi penonton?
Perusahahaan asing bisa merajalela menguasai lahan-lahan di Indonesia, tentu besar kemungkinannya ada unsur kesengajaan dari pihak kita. Mengapa bisa demikian? Hal inilah yang ditelusuri Wawan dalam bukunya.
Menurut Wawan alasannya adalah kondisi tersebut sengaja diciptakan oleh bangsa kita sendiri lantaran para pengelola negeri ini (termasuk wakil rakyat, pembuat undang-undang) telah terjangkit mental korup, mental suap. Kondisi ketidakmampuan terhadap pihak asing ini diakibatkan oleh lemahnya hukum (produk hukum). Karena melalui produk hukum inilah penguasaan ekonomi Indonesia bisa mulus dilakukan pihak asing. Nah, produk hukum berupa undang-undang atau perangkat peraturan lainnya itu nyatanya dapat dibuat sesuai pesanan pihak asing. Tentu saja yang menjadi agennya adalah para birokrat dan anggota legislatif yang duduk menggodok undang-undang. Karena dari tangan-tangan merekalah undang-undang yang memperbolehkan kepemilikan asing itu diterbitkan.
Lihat saja, misalnya, kasus marak yang terjadi di pertengahan tahun 2008. Untuk membuat amandemen UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI), pejabat BI harus mengelontorkan dana Rp 31,5 milyar untuk menyuap beberapa anggota DPR Komisi IX. Kasus ini terkuak setelah diadilinya anggota DPR Komisi IX Hamka Yandhu yang ditanggap KPK dan diadili di pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Nah, bukankah menjadi besar kemungkinannya pula untuk menggelontorkan undang-undang yang melindungi kepentingan asing, para pembuat UU itu juga mendapat kucuran uang alias disuap?
Lantas, dari mana pihak asing berani mencampuri produk-produk hukum Indonesia. Menurut Wawan, hal itu bermula Presiden Soeharto naik tahta. Saat itu, Soeharto butuh banyak uang untuk modal pembangunan negeri. Ia kumpulkan para ekonom, termasuk orang-orang terdekatnya di bidang lain.Tujuannya untuk mencari dana ke luar negeri. Maka dibuatlah blue print pembangunan ekonomi Indonesia. Untuk itu, berkumpullah para negara pendonor guna berkonferensi di Jenewa, November 1967.
Para pejabat Indonesia yang hadir merasa puas, jumawa, tersenyum lega, lantaran berhasil mendapatkan utangan! Sekalipun untuk mendapatkan utang atau pinjaman itu, kekayaan alam Indonesia harus dibagi-bagikan kepada perusahaan transnasional raksasa, dan dengan harga murah. Freeport mendapat bukit di Timika, Papua, untuk mengeksplorasi "tembaga", ternyata emas. Sedang perusahaan Alcoa mendapat bauksit. Sekelompok konsorsium Eropa mendapat nikel di Papua Barat, sekelompok perusahaan Amerika, Jepang dan Prancis giliran mendapat pengelolaan hutan-hutan tropis di Sumatera, Kalimantan dan Papua barat. Dan masih banyak lagi.
Begitulah, bagaimana negeri kita diobok-obok pihak asing yang ironisnya dibantu orang kita sendiri. Mereka banyak mengambil untung. Tapi, lihatlah, bagaimana dengan nasib bangsa Indonesia dan rakyatnya? Bagaimana nasib penduduk Papua? Sama sekali tak masuk diakal. Dengan kekayaan Gunung Grasberg (Tembagapura), pemerintah Indonesia masih mengemis-ngemis mencari pinjaman ke sana-sini. Padahal, cadangan emas dan tembaga yang dapat membayar seluruh utang Indonesia malah diserahkan kepada pihak asing. Sekarang, Indonesia justru kerepotan membayar bunga dan cicilan utang, sedangkan rakyatnya semakin miskin.
Nestapa Indonesia belum selesai sampai di situ. Saat negara-negara kaya pemberi utang Indonesia memberikan utangnya, ternyata membuat banyak persyaratan. Di antaranya, uang hasil utang harus dipakai untuk membeli barang dan jasa dari perusahaan asal negara pemberi utang. Walhasil, sekitar 80 persen uang tunai hasil dari berhutang itu kembali ke negara-negara pemberi pinjaman, sementara utang pemerintah kita tak lunas-lunas.
Kekuatan-kekuatan asing dalam bidang ekonomi yang terjalin dalam korporasi-korporasinya memang telah mendikte dari pelbagai sisi: perdagangan, perbankan, penanaman modal, kepelayaran dan kepelabuhan, kehutanan, perkebunan, pertambangan migas dan non-migas, dan lain-lain. Lantas, masihkah Indonesia pantas sudah disebut merdeka?
Buku ini patut dibaca guna menyegarkan kembali kesadaran kita dalam berbangsa dan bernegara yang pada saat ini sedang ditemukan momennya.***
M. Iqbal Dawami,
Staf pengajar STIS Magelang
Membaca buku Di Bawah Cengkeraman Asing (2009) benar-benar membuat saya geram, miris, sekaligus membuka kesadaran. Betapa tidak, pelbagai sektor riil di Indonesia ternyata berada dalam penguasaan asing. Dominasi asing sudah keterlaluan merasup di tubuh kita sebagai bangsa dan negara. Tidak saja dalam penguasaan ekonomi, yang kemudian mencuatkan pengelolaan sistem ekonomi neoliberalisme, tapi juga pengaruhnya dalam bidang budaya, pendidikan, dan gaya hidup.
"Pernahkah anda menyadari, dari bangun tidur, beraktivitas, hingga tidur lagi, semuanya telah dikuasai perusahaan asing?" (hlm. 13). Begitulah Wawan, sang penulis buku ini, membuka pembahasannya. Tengok saja, dari mulai minum AQUA (74 persen sahamnya dikuasai perusahaan Danone asal Prancis), atau minum teh Sariwangi (100 persen sahamnya milik Unilever, Inggris), minum susu SGM (milik Sari Husada yang 82 persen sahamnya dikuasai Numico, Belanda), mandi dengan sabun Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (milik Unilever), hingga merokok Sampoerna (97 persen sahamnya milik Philips Morris, Amerika Serikat) dikuasai pihak asing.
Betapa tergantungnya kita dengan perusahaan asing. Tapi, memang begitulah realitanya, bahwa bangsa kita sebenarnya sudah dijajah bangsa asing. Kalau dulu sebatas Belanda dan Jepang, sekarang ini beragam bangsa asing mencengkeram negeri kita. Bagaimana bisa perusahaan asing itu menguasai begitu dahsyat pasar di Indonesia sementara kita hanya menjadi penonton?
Perusahahaan asing bisa merajalela menguasai lahan-lahan di Indonesia, tentu besar kemungkinannya ada unsur kesengajaan dari pihak kita. Mengapa bisa demikian? Hal inilah yang ditelusuri Wawan dalam bukunya.
Menurut Wawan alasannya adalah kondisi tersebut sengaja diciptakan oleh bangsa kita sendiri lantaran para pengelola negeri ini (termasuk wakil rakyat, pembuat undang-undang) telah terjangkit mental korup, mental suap. Kondisi ketidakmampuan terhadap pihak asing ini diakibatkan oleh lemahnya hukum (produk hukum). Karena melalui produk hukum inilah penguasaan ekonomi Indonesia bisa mulus dilakukan pihak asing. Nah, produk hukum berupa undang-undang atau perangkat peraturan lainnya itu nyatanya dapat dibuat sesuai pesanan pihak asing. Tentu saja yang menjadi agennya adalah para birokrat dan anggota legislatif yang duduk menggodok undang-undang. Karena dari tangan-tangan merekalah undang-undang yang memperbolehkan kepemilikan asing itu diterbitkan.
Lihat saja, misalnya, kasus marak yang terjadi di pertengahan tahun 2008. Untuk membuat amandemen UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI), pejabat BI harus mengelontorkan dana Rp 31,5 milyar untuk menyuap beberapa anggota DPR Komisi IX. Kasus ini terkuak setelah diadilinya anggota DPR Komisi IX Hamka Yandhu yang ditanggap KPK dan diadili di pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Nah, bukankah menjadi besar kemungkinannya pula untuk menggelontorkan undang-undang yang melindungi kepentingan asing, para pembuat UU itu juga mendapat kucuran uang alias disuap?
Lantas, dari mana pihak asing berani mencampuri produk-produk hukum Indonesia. Menurut Wawan, hal itu bermula Presiden Soeharto naik tahta. Saat itu, Soeharto butuh banyak uang untuk modal pembangunan negeri. Ia kumpulkan para ekonom, termasuk orang-orang terdekatnya di bidang lain.Tujuannya untuk mencari dana ke luar negeri. Maka dibuatlah blue print pembangunan ekonomi Indonesia. Untuk itu, berkumpullah para negara pendonor guna berkonferensi di Jenewa, November 1967.
Para pejabat Indonesia yang hadir merasa puas, jumawa, tersenyum lega, lantaran berhasil mendapatkan utangan! Sekalipun untuk mendapatkan utang atau pinjaman itu, kekayaan alam Indonesia harus dibagi-bagikan kepada perusahaan transnasional raksasa, dan dengan harga murah. Freeport mendapat bukit di Timika, Papua, untuk mengeksplorasi "tembaga", ternyata emas. Sedang perusahaan Alcoa mendapat bauksit. Sekelompok konsorsium Eropa mendapat nikel di Papua Barat, sekelompok perusahaan Amerika, Jepang dan Prancis giliran mendapat pengelolaan hutan-hutan tropis di Sumatera, Kalimantan dan Papua barat. Dan masih banyak lagi.
Begitulah, bagaimana negeri kita diobok-obok pihak asing yang ironisnya dibantu orang kita sendiri. Mereka banyak mengambil untung. Tapi, lihatlah, bagaimana dengan nasib bangsa Indonesia dan rakyatnya? Bagaimana nasib penduduk Papua? Sama sekali tak masuk diakal. Dengan kekayaan Gunung Grasberg (Tembagapura), pemerintah Indonesia masih mengemis-ngemis mencari pinjaman ke sana-sini. Padahal, cadangan emas dan tembaga yang dapat membayar seluruh utang Indonesia malah diserahkan kepada pihak asing. Sekarang, Indonesia justru kerepotan membayar bunga dan cicilan utang, sedangkan rakyatnya semakin miskin.
Nestapa Indonesia belum selesai sampai di situ. Saat negara-negara kaya pemberi utang Indonesia memberikan utangnya, ternyata membuat banyak persyaratan. Di antaranya, uang hasil utang harus dipakai untuk membeli barang dan jasa dari perusahaan asal negara pemberi utang. Walhasil, sekitar 80 persen uang tunai hasil dari berhutang itu kembali ke negara-negara pemberi pinjaman, sementara utang pemerintah kita tak lunas-lunas.
Kekuatan-kekuatan asing dalam bidang ekonomi yang terjalin dalam korporasi-korporasinya memang telah mendikte dari pelbagai sisi: perdagangan, perbankan, penanaman modal, kepelayaran dan kepelabuhan, kehutanan, perkebunan, pertambangan migas dan non-migas, dan lain-lain. Lantas, masihkah Indonesia pantas sudah disebut merdeka?
Buku ini patut dibaca guna menyegarkan kembali kesadaran kita dalam berbangsa dan bernegara yang pada saat ini sedang ditemukan momennya.***
M. Iqbal Dawami,
Staf pengajar STIS Magelang
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar