Minggu, 30 Agustus 2009

[resensi buku] Resensi Dreams from My Father

Haya Aliya Zaki haya77.multiply.com

Barack Obama (Obama) memang fenomenal. Ia adalah warga Amerika Serikat (AS) kulit hitam perdana yang diambil sumpah memangku jabatan menjadi Presiden AS. Padahal semua orang tahu bahwa lawannya saat kampanye cukup tangguh yakni, senator New York, Hillary Rodham Clinton. Diakui, sosok Obama sangat kuat menebar harum kharisma, pidato-pidatonya membius, dan mampu menarik limpahan simpati publik.

Sebenarnya, menjelang semarak pemilihan Presiden Amerika Serikat ke-44 beberapa waktu lalu, bukan warga Amerika Serikat saja yang berdegup cemas menanti hasil. Dan ketika akhirnya Obama menduduki posisi sebagai orang nomor 1 di negeri Paman Sam itu, bukan warga AS saja yang meluap bahagia. Di belahan bumi lain, ada warga Indonesia, ikut melonjak gembira dan menetes air mata haru. Ya, sepanjang sejarah pemilihan Presiden AS, baru kali ini nama Indonesia terdengar begitu karib. Bagaimana tidak, jejak masa kecil Obama selama beberapa tahun di Indonesia dan latar belakang keluarganya yang muslim, seolah mampu menjalin simpul 'hubungan emosi' nan kuat. Dan jelas, tersemat keping bangga di hati.

Untuk memenuhi animo masyarakat (terutama di Indonesia) tentang Obama, para penerbit berlomba melempar ragam buku seputar Obama ke pasaran. Buku karya Obama sendiri, Dreams from My Father: Pergulatan Hidup Obama, termasuk unik dan paling mencuri perhatian. Buku ini ditulis Obama sekitar 1 dekade silam, atas tawaran sebuah penerbit karena terpilihnya ia sebagai orang Afrika-Amerika pertama yang menjadi Presiden Harvard Law Review. Seiring ia mencalonkan diri menjadi Presiden Amerika Serikat -tentu karena meroketnya publikasi- buku ini diterbitkan kembali. Ternyata respon masyarakat melebihi dugaan. Buku ini menuai sukses.

Buku ini terdiri dari 3 bab: Asal Usul, Chicago, dan Kenya. Diceritakan, Obama lahir di Hawaii, dari pasangan beda ras. Ayahnya, Barack Hussein Obama Sr, keturunan Afrika, warganegara Kenya (suku Luo). Dan ibunya, wanita cantik berkulit putih asal Kansas, bernama Stanley Ann Dunham (Ann).

Barack Hussein Obama Jr mewarisi nama indah sang ayah yakni: Barack, berarti barokah (berkah dari Tuhan). Sayang, pada umur 2 tahun, Obama ditinggal ayahnya ke Afrika. Rangkuman cerita tentang sang ayah dari Kakek, Toot (panggilan Nenek di Hawaii) –dari pihak ibu Obama-, ibunya, juga hubungan surat-menyurat, kerap menjadi pengobat rindu tak terucapkan.

Episode Indonesia
Lalu takdir menggariskan, Ann menikah dengan pria tampan berkulit cokelat berkebangsaan Indonesia, Lolo Soetoro (Lolo). Hmmm, bisa dipastikan, 'episode Indonesia' dalam buku ini adalah kisah yang paling ditunggu pembaca Indonesia.

Dan 'episode Indonesia' pun berawal dari sini. Karena sesuatu hal, Lolo terpaksa meninggalkan Hawaii dan pulang ke negaranya. Obama dan ibunya dibawa serta. Ada dialog lucu saat Kakek, Toot, dan Obama kecil mencari tahu lebih jauh tentang kondisi dan situasi negara Indonesia, melalui peta. "Dalam buku ini dikatakan bahwa mereka di sana masih punya macan," kata Kakek. "Dan orang utan." Dia melongok dari balik bukunya dan matanya membesar. "Bahkan di sini dikatakan bahwa di sana masih ada pemburu kepala!" (hal.53). Sementara itu, Toot menjejali koper Obama dan ibunya dengan makanan-makanan instan. "Kau tak pernah tahu mereka itu makan apa," ujarnya tegas (hal.54).

Nuansa panorama 'cokelat dan hijau' yang kental, tergambar baik dalam kenangan kanak-kanak Obama akan Indonesia. Lahan subur, rimbun pepohonan, hamparan sawah, dan aneka satwa menarik. Walau tak dimungkiri, potret kumuh dan terbelakang, mencengkeram erat penduduk kita saat itu. Belum lagi korupsi yang merajalela, perubahan radikal oleh polisi dan militer, industri-industri dikelola oleh keluarga presiden dan pengikutnya.

Karena tak pernah bersua dengan keluarga besar ayah kandungnya, maka, Indonesialah, tempat Obama pertama kali belajar tentang keragaman dan toleransi. Kemandirian, sikap santun, dan tidak banyak menuntut, adalah nilai positif lain yang ia tanam lekat di hati. Kehadiran adiknya, Maya Soetoro (saudara seibu Obama), beberapa waktu kemudian, kelak menjadi faktor yang kian melambungkan berita kedekatan sosok Obama dengan Indonesia.
Pergulatan batin Obama

Setelah Ann bercerai dari Lolo, Ann bersama anak-anaknya kembali Ke Hawaii. Masa remaja Obama sangat terjal. Lingkungan sekitar tidak bersahabat karena ia seorang kulit hitam dan bernama aneh. Sungguh tak mudah, ketika ia mengutuk sikap rasis para kaum kulit putih, secara bersamaan pula ia dibayangi wajah teduh sang ibu.

Depresi akibat reaksi represif lingkungan dan terjebak kemelut pencarian 'akar' budayanya (identitas), menjerumuskan Obama pada dunia minuman keras dan obat-obat terlarang. Untunglah, berkat motivasi dan dorongan ibunya, Obama beranjak bangkit dari keterpurukan. Karir dan kehidupan rohaninya pun berjalan mulus. Sebagai aktivis di Altgeld (Chicago), Obama cukup bersinar. Pada momen itu pula, ia sempurna memeluk ajaran Kristiani (setelah sebelumnya menjadi seorang agnostik).

Obama mencintai lelaki yang datang dan pergi dalam hidupnya. Ayah kandungnya, ayah tirinya, dan Kakek. Tapi pada ayah kandungnya-lah, Obama menumpukan semua yang ia cari. Ayah kandungnya yang cerdas luar biasa dan punya banyak mimpi. Mimpi untuk membantu perjuangan masyarakat. Obama merasa berhutang mewujudkan mimpi-mimpi ayahnya. Dan salah satu cara, Obama akan menempuh studi di Harvard Law School. Ia berpikir, setidaknya dengan belajar hukum, ia bisa membuat perubahan nyata.
Namun di satu sisi, Obama masih saja berkubang resah dalam titik pencarian 'akar'. Bertahun-tahun figur sang ayah tetap menjadi teka-teki, menggerogoti pikiran dan perasaan, mengajaknya untuk 'pulang'.

Wanita-wanita di sekeliling Obama
Siapa lagi yang menjadi ratu di hati Obama kalau bukan ibunya? Di mata Obama, Ann adalah wanita dermawan dan penuh kasih. Figur Ann memberi pengaruh mahabesar dalam pembentukan moral serta mental Obama. "Bila kau ingin tumbuh sebagai manusia," ujar Ann kepada Obama, "kau harus memiliki nilai-nilai." (hal.73). Bicara soal pendidikan, pendidikan Obama termasuk prioritas Ann. Contohnya saja, setiap hari jam 4 pagi, Ann disiplin membangunkan Obama untuk mengajarkannya Bahasa Inggris selama 3 jam.

Wanita lain yang sangat dekat dengan Obama adalah Toot. Selama ini mereka tinggal bersama. Apalagi ketika Ann melanjutkan penelitian antropologinya di Indonesia, praktis hanya Toot (dan Kakek) yang menemani Obama. Toot wanita pekerja keras, juga bijaksana. Meski berkulit putih, Toot sangat membenci rasisme. Ada pula Maya Soetoro. Sayang, dalam buku, kehadiran wanita beretnis Jawa yang sekarang bermukim di Hawaii ini seakan selingan semata. Tak ada kesan khusus membekas. Berbeda dengan Auma, kakak tiri Obama (saudara seayah). Obama membahasnya dalam 1 sub bab penuh. Auma banyak mengurai nostalgia tentang ayah mereka. Meski mendapatkan informasi-informasi baru dari Auma, Obama masih merasa belum mengenal sosok sang ayah. Akhirnya, atas desakan kakak tirinya itu, tekad Obama untuk 'pulang' benar-benar bulat.

Tampaknya, tumbuh besar dikelilingi oleh wanita-wanita yang menyayanginya, membuat Obama dianugerahi pribadi lembut dan gampang tersentuh.

Mewujudkan mimpi masa lalu Ayah
Obama berangkat ke tanah asal ayahnya (Nairobi). Ia ingin mencari siapa dirinya. Ia tak mau lebih lama tercerabut dari 'akar'. Menyimpan perasaan 'dibuang' sejak masih kanak-kanak, sungguh menyakitkan.

Di sanan Obama bertemu dengan keluarga besarnya. Para bibi dan paman, sepupu-sepupu, istri pertama ayahnya (Kezia, ibunya Auma), istri ketiga ayahnya (Ruth), dan nenek. Cerita-cerita yang meluncur, terutama dari bibi serta nenek, menyibak sejarah keluarga Obama dan penyebab sang ayah meninggalkannya. Puncaknya, Obama menangis pilu di pusara kakek dan sang ayah. Tapi yang terpenting di atas segala, Obama berjanji akan berusaha keras mewujudkan mimpi-mimpi ayahnya yang menguap.

Jujur, Bab Kenya adalah bab favorit saya. Obama mendeskripsikan dengan detil tanah merah Afrika, pasar tua-nya, hiruk-pikuk masyarakat, aksi riuh para pedagang, dan pesona safari di alam terbuka. Saya ibarat menjelajah ke suatu tempat baru, eksotis, mengasyikkan. Wawasan tentang suku-suku, adat istiadat, kebudayaan, sampai histori awal kaum kulit putih menduduki daerah di sana, sangat bermanfaat membuka pikiran.

Penutup
Seperti yang telah diutarakan Obama dalam Pendahuluan, buku ini tidak memuat prestasi-prestasi berharga untuk dicatat, percakapan dengan orang-orang termasyhur, atau sebuah peran utama dalam peristiwa-peristiwa penting (hal.18). Namun, kisah istimewa warna-warni kultur keluarga Obama dan proses jatuh-bangun ia -yang ditakdirkan menjadi pemuda kulit hitam dan menyandang nama aneh- sampai menjadi 'bintang' seperti sekarang, pastinya menginspirasi banyak orang. Tak heran bila buku ini mengukir penghargaan bergengsi sebagai buku terlaris versi harian New York Times dan British Book Award For Best Biography 2009.

Setelah buku ini, Obama menulis buku berikutnya yakni: Menerjang Harapan: Dari Jakarta Menuju Gedung Putih. Buku kedua ini merupakan kelanjutan perjalanan hidup Obama. Di dalamnya antara lain mengulas, tentu saja, Indonesia. Bedanya, kalau di buku sebelumnya Obama berbicara Indonesia dari sudut pandang lugu kanak-kanak, di buku ini ia berbicara Indonesia dari sudut pandangnya sebagai politikus handal. Selain itu, lengkap pula dibahas tentang refleksinya sebagai warga yang 'tidak pernah berhenti resah', perkembangan politik, kebijakan-kebijakan Presiden AS terdahulu, masalah-masalah internasional, plus kerajaan kecilnya bersama Michelle.

Bila sebagian dari Anda menelaah buku kedua Obama dengan nafas tersendat dan dahi berlipat karena aroma politiknya yang pekat, maka, memamah Dreams from My Fahter: Pergulatan Hidup Obama, mungkin akan memberi suatu sensasi 'menyenangkan'. Mengapa? Karena di sini Obama lebih banyak bertutur tentang dahsyatnya arti keluarga, dalam rangkaian bahasa indah dan memikat. Dengan pemahaman sederhana, maknanya mampu menelusup deras ke lubuk hati. Banyak kalimat menggugah emosi, memaksa kabut mengaburkan kelopak mata. Kelebihan lain, catatan-catatan kaki sangat membantu pembaca awam untuk mengerti istilah-istilah sukar (terutama istilah hukum). Para penerjemah dan penyunting layak mereguk pujian atas hasil kerja keras mereka mengolah buku ini.

Hanya, barisan huruf berukuran kecil dan rapat, membuat mata cepat menjemput lelah. Nihilnya dokumentasi berupa foto (selain foto Obama), sedikit merajam suka. Saya pribadi berharap, paling tidak, dapat menikmati foto orang-orang penting dalam kehidupan Obama seperti: ayah-ibu Obama, Kakek-Toot, Maya Soetoro, atau mungkin keluarga besar Obama di Kenya.***


www.mediabuku.com

0 komentar: