Senin, 24 Agustus 2009

[resensi buku] Resensi Dreams from My Father

Anwar Holid, halamanganjil.blogspot.com

BILA jalan hidup Barack Obama biasa saja, tanpa terobosan, tidak menatah sejarah sebagai presiden Amerika Serikat pertama keturunan Afrika, Dreams from My Father bisa jadi terlupakan dan terkubur. Bagaimana tidak? Buku ini baru terbit ulang setelah out of print begitu Obama terpilih sebagai salah satu pembicara utama di Konvensi Nasional Demokratik (DNC) 2004 yang melejitkannya sebagai rising star politik Amerika Serikat.

Buku ini aslinya terbit pada 18 Juli 1995, ketika usia Obama 33, beberapa tahun sebelum Obama menjadi politisi, melainkan seorang aktivis masyarakat. Cikal-bakalnya lahir setelah dia terpilih sebagai Presiden Harvard Law Review pada 1990. Dia merupakan orang African-American pertama yang terpilih sebagai presiden jurnal hukum terkemuka tersebut. Kejadian itu bersejarah, membuat New York Times memuat profil Obama. Isi berita tersebut menarik perhatian seorang literary agent muda bernama Jane Dystel. Dia lantas merancang proposal penulisan buku oleh Obama berisi kisah kehidupannya, dikirim ke berbagai penerbit sampai akhirnya menemukan kesepakatan dengan Poseidon---sebuah imprint kecil dari konglomerasi penerbit Simon & Schuster.

Sayang setelah beberapa tahun lewat ternyata Obama tetap gagal menuntaskan buku tersebut. Dia hendak menyelesaikan studi dan mulai merintis karir lebih dahulu. Akibatnya Simon & Schuster membatalkan kontrak. Dystel mendekati Henry Ferris, editor senior Times Book dari kelompok Random House, dan Peter Osnos, wakil penerbit tersebut. Setelah bertemu dan mendengar cerita Obama, Times Book merasa bahwa kisah itu menarik, dan Obama yakin bisa menyelesaikan penulisannya.

Cetakan pertama buku ini laku 10 ribu kopi, menerima kritik bagus, di antaranya dari Publishers Weekly, dengan komentar "mengharukan, memoar yang menggali kisah kehidupan langka---buku yang menggetarkan, dalam, dan kaya." Setelah itu peredarannya habis. Namun, begitu Obama menjadi bintang Partai Demokrat, Crown Books segera menerbitkan ulang buku tesebut, ditambah pengantar baru Barack Obama dan lampiran pidato di DNC. Edisi itu menjelma sebagai sukses besar, terjual lebih dari 500.000 kopi dalam semester pertama. Edisi audio book-nya memenangi Grammy Award untuk kategori Best Spoken Word Album 2006. Sementara itu edisi pertama terbitan Times Book jadi barang buruan langka di kalangan kolektor, sebab hanya satu-dua yang bertanda tangan Obama. Harga satuannya bisa mencapai 13.000 dolar AS. Lebih dari satu dekade kemudian, penulis terkemuka macam Toni Morrison maupun Joe Klein baru tergerak membaca dan memuji-mujinya pada tahun 2008.

OBAMA menulis dengan gaya jurnalisme sastrawi (literary journalism), dan itu membuat kisah dalam bukunya sangat enak dinikmati. Penuturannya lentur, bahasanya ekspresif, dan eksplorasi terhadap identitas dirinya begitu emosional. Judul buku ini menyiratkan obsesi Obama akan ayah yang meninggalkannya sejak umur dua tahun, berusaha mereka-reka bayangannya berdasar cerita ibu dan keluarganya yang berkulit putih. Ayah jadi bayang-bayang idealisasi yang melahirkan perasaan rindu-dendam, apalagi selama masa pertumbuhan itu Obama menghadapai masalah identitas dan rasialisme. Sebenarnya subjek buku ini lebih menekankan pada pencarian akar budaya, pembentukan karakter, perjuangaan akan idealisme, dan penerimaan takdir.

Karena warna kulitnya, Obama mengidentifikasi diri sebagai keturunan Afrika. Ketika remaja, mula-mula dia sadar dirinya merupakan minoritas di tengah dominasi siswa keturunan Asia, sementara ketika kuliah dan dewasa, kaum kulit putih mendominasi segala bidang kehidupan sosial-politik AS. Namun identifikasi ini pun tetap bermasalah, sebab dalam kehidupan sosial-politik di AS tahun 1980-an rasisme masih merupakan persoalan sensitif. Di sinilah subjudul asli buku ini "kisah mengenai ras dan keturunan" menemukan signifikansi. Ketegangan menemukan identitas itu membuat Obama bertanya-tanya. Bila dalam lingkungan keluarganya menerima warisan banyak budaya---Amerika Serikat, Kenya, Indonesia, Kristen, dan Islam---kenapa dalam kehidupan sosial hal itu mudah menimbulkan prasangka dan sukar sekali diwujudkan?

Ayah Obama berasal dari Kenya, datang ke Amerika Serikat untuk belajar dan kelak kembali ke kampung halamannya untuk ikut serta memajukan negerinya. Dari cerita ibu dan kakek-neneknya, Obama tahu bahwa ayahnya brilian, cerdas, dan hebat, meskipun temperamental dan dominan. Karena tak terjangkau dalam kehidupan sehari-hari, lama-lama ayahnya berubah lebih merupakan mitos. Obama baru sadar akan sejarah marga ayahnya dari mulut nenek dan saudara-saudaranya, ketika menjelang kuliah dia mengunjungi kampung halaman ayahnya di pedalaman Kenya, itu pun setelah ayahnya meninggal.

Obama habis-habisan menelusuri kegelisahannya sebagai anak berkulit hitam di negeri kulit putih. Dalam pengembaraan yang emosional itu, dia berusaha mengerti apa artinya menerima warisan budaya bukan saja dari ayah dan ibunya, melainkan juga Indonesia dan agama. Ketika akhirnya memutuskan jadi jemaah gereja Trinity, dia menyatakan keberserahan diri kepada sang Mahakuasa.

Dalam masa transisi pembentukan karakter itu dia kerap frustrasi. Obama mulai mencoba-coba pengalaman pemuda yang lebih ekstrem, memiliki gang, menggugat takdir, merokok, minum alkohol, termasuk marijuana dan kokain. Dia mengakui masa ini merupakan kompensasi dari perjuangan kebingungan menghadapi kondisi sosial dan pencarian identitas karena warisan multirasialnya. Tujuannya, "Untuk menekan agar pertanyaan ''siapa aku'' ke luar dari kepala." Meski sebagian orang memuji karena jujur, pengakuan seperti ini selalu mengejutkan.

Setelah jadi best-seller, buku ini cukup banyak menuai kritik karena para analis sering menemukan inakurasi ingatan Obama dengan fakta. Yang cukup fatal ialah ketika dia menulis ada artikel di Life tentang laki-laki kulit hitam yang berusaha mencuci dan mengelupas kulitnya sampai putih dengan cairan kimia. Chicago Tribune melaporkan bahwa sejarahwan majalah itu menyatakan tak ada artikel seperti itu. Sebagian orang menilai bahwa Obama terlalu menonjolkan perannya sebagai aktivis masyarakat di Altgeld Gardens, sampai terkesan meremehkan sumbangsih orang lain.

Dari segi sosial, buku ini merupakan refleksi tentang ras dan dinamika persoalan sosial, sementara dari segi personal tampak sebagai pembentukan perkembangan jiwa. Bila orang gagal mengatasinya hakikat ras, keturunan, juga warisan budaya, persoalan fisik bisa melahirkan persoalan psikologis mengerikan, seperti tampak dari fenomena rasisme dan tribalisme. Di Indonesia fenomenanya mirip. Persoalan SARA bisa kapan saja meledak bila tak disikapi dengan baik, bahkan di beberapa tempat menimbulkan konflik berkepanjangan. Di sinilah pentingnya penerbitan buku ini bagi publik Indonesia yang juga multikultur dan bersuku-suku. Kita bisa belajar soal toleransi dari sini.

CETAKAN edisi Indonesia ini agak buruk, banyak huruf tampak pecah dan tinta blobor; ini patut disayangkan mengingat kualitas penerjemahan dan penyuntingannya bagus.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @


www.mediabuku.com

0 komentar: