Jumat, 28 Agustus 2009

[resensi buku] KING, Pertarungan Novel dan Film

Batam Pos, 28 Juni 2009

"… Hiduplah Indonesia Raya…" Lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di halaman rumah Pak Tejo di Dusun Jampit, Banyuwangi, Jawa Timur. Sebuah dusun yang berada di kaki Gunung Ijen. Seluruh warga dusun berkumpul di halaman rumah Pak Tejo, untuk nonton bareng  kejuaraan bulutangkis Asian Badmintond Championship.

Guntur , anak Pak Tejo, berhasil memenangi kejuaraan itu. Yah warga Dusun Jampit yang sepi itu berhasil menjadi juara! Sebuah kebanggaan bagi mereka, sebuah dusun yang memang memiliki tradisi kejuaraan bulutangkis tingkat kampung, berhasil menelurkan juara tingkat dunia.

Di atas adalah sekelumit cerita tentang novel King, sebuah novel adaptasi dari film dengan judul sama. Biasanya film diputar dulu lalu dituliskan versi naskah tulis atau dibalik, novel muncul duluan barulah difilmkan. Yang ini agak beda, kedua versi itu diluncurkan pada saat bersamaan 25 Juni 2009 lalu.

Iwok Abqary dipercaya sebagai penulis naskah novel King. Pria yang kerap menulis cerita anak ini – seperti halnya kisah dalam novelnya – "berlomba" dengan film yang diadaptasinya.

Tentu saja Iwok tidak akan bisa menghadirkan gambaran jelas tentang Dusun Jampit kepada pembaca, tidak akan bisa menghadirkan rusa-rusa yang bermain di Savanna Gunung Ijen, bahkan tak bisa menghadirkan sosok Guntur sang lakon dalam cerita ini.

Sangat beda dengan film. Sebuah media yang mendekatkan latarbelakang lokasi, tokoh dan sebagainya kepada penonton.
Yang sama, kedua-duanya tak bisa menghadirkan betapa menyengatnya bau belerang kawah Ijen, apalagi bagi orang yang tak biasa membau belerang.

Tapi layaknya naskah tulis. Ia menghadikan teater minda (theatre of mind). Sebuah kekuatan imajinasi yang membawa kenikmatan diri si pembacanya. Melalui naskah tulis, setiap pembaca dipersilakan mengambarkan latar cerita melalui uraian dari sang penulis. Menuruti setiap detil kalimat, membayangkan jauh ke dusun Banyuwangi. Bahkan menerawang jauh ke belakang saat sang legenda bulutangkis Indonesia , Liem Swie King, diarak di Kota Kudus.

Iwok memainkan peran itu dengan menebar detil-detil deskripsi lokasi dan emosi di sepanjang cerita. Melalui tanda baca, melalui ketikan panjang sebuah huruf demi menggambarkan teriakan dan sebagainya.

Iwok mencoba menjadi sutradara bagi setiap pembacanya, menyusun adegan demi adegan dalam minda (pikiran) masing-masing pembaca.

Iwok menggantung perasaan pembaca di banyak jeda. Sedih, marah, kecewa, riang, haru dipadunya menjadi satu.
Novel ini berkisah tentang perjuangan anak manusia demi meraih cita-cita. Novel anak-anak yang bisa menjadi inspirasi.
Insipari bagaimana meraih cita-cita. Inspirasi bagaimana sebuah olahraga dapat diceritakan secara menarik. Layaknya orang Hollywood mengisahkan olahraga basket maupun baseball atau rugby, olahraga favorit orang Amerika.

Kini keputusan ada pada Anda, apakah Anda akan menyukai filmnya atau justru menikmati novelnya. Atau bahakan dua-duanya? Yang jelas novel ini bisa menjadi bikisan indah untuk anak/adik kita. *** 

Peresensi: Putut Ariyo Tejo



www.mediabuku.com

0 komentar: