Minggu, 17 Mei 2009

[artikel dinamika] Sindiran untuk Anggota Dewan yang Terhormat

Republika, Minggu, 17 Mei 2009

Politik dan takdir manusia dibentuk oleh manusia tanpa gagasan dan kebesaran. Manusia yang memiliki kebesaran di dalam dirinya tidak akan berpolitik. Albert Camus.

Hiruk-pikuk merebut kekuasaan hingga kini masih bergejolak. Pertemuan pimpinan parpol untuk berkoalisi dan bagi-bagi jatah kursi menteri menjadi berita hangat setiap saat. Suasana semakin memanas hingga menjelang pemilihan presiden, Juli mendatang.

Itulah yang dilakukan para politisi di Tanah Air. Bagaimana nasib rakyat? Barangkali tak tebersit sedikit pun di pikiran mereka. Bagaimana mendapatkan kekuasaan dengan segala cara, itu lebih utama daripada memikirkan rakyat. Makanya, banyak kalangan telanjur menilai politik sebagai sesuatu yang berkonotasi negatif. Padahal yang salah bukan politiknya, melainkan para pelakunya.

Dari judulnya, buku ini meng-judge seakan-akan politisi tak akan bisa meraih kebahagiaan. Menjelang akhir buku ini, ada bab khusus \\\'Kalau Mau Kaya Jangan Jadi Politisi\\\'. Lengkaplah sudah \\\'tuduhan\\\' kalau menjadi politikus tidak akan bahagia dan kaya pula. Benarkah? Sebelum mendalaminya, Arvan menawarkan agar membaca lebih dulu karyanya berjudul The 7 Laws of Happiness.

Buku the best seller ini sebagai kerangka berpikirnya bahwa ada tujuh \\\'makanan bergizi\\\' untuk meraih kebahagiaan. Yaitu sabar (fokus pada proses), bersyukur, sederhana, kasih (mengasihi), memberi, memaafkan, dan berserah. Ketujuh resep mujarab ini dapat diterapkan di setiap kehidupan. Namun, rumus kebahagian itu tampaknya sulit diterapkan terhadap politisi, karena mereka memiliki rumus sendiri yang sangat berlawanan dengan rahasia \\\'tujuh makanan bergizi\\\' itu.

Di buku ini dibuatkan bagan sederhana berikut penjelasan betapa bertolak belakangnya kelakuan politisi dari tujuh kunci meraih kebahagian. Tertera di halaman dua.

Jika tujuh rumusan meraih kebahagian yang sederhana saja sulit diterapkan para politikus, bagaimana mereka dapat meraih kebahagiaan? Mereka bisa tetap bahagia, tapi bahagia yang berbeda. Kebahagian para politikus adalah ketika lawan politiknya mendapat masalah. Dalam politik, segala sesuatu yang buruk pada lawan politik akan menguntungkan baginya. Bukti nyata, ketika skandal video syur anggota dewan dengan artis dangdut tersebar, anggota dewan yang apes itu diberhentikan. Ini sebuah kebahagiaan, karena peluang besar untuk menggantikan posisi strategis yang dia tinggalkan.

Kebahagiaan lainnya disambut para politikus ketika meraih keberuntungan dan kemenangan. Ketika menang pemilu, luar biasa bahagianya. Ketika kandidatnya menjadi presiden, mereka sangat bahagia. Ketika menggagalkan hak angket, hak interpelasi, karena tidak sesuai kepentingan partai, mereka pun bahagia.

Jadi, rumus kebahagiaan dalam politik, yaitu sedih kalau melihat lawan politiknya senang dan senang kalau melihat lawan politiknya susah. Kebahagiaan macam apakah ini? Kebahagiaan karena alasan buruk bukanlah kebahagiaan. Anda korupsi, dan berhasil tidak diketahui KPK, apakah kebahagiaan? Bukan, melainkan kesenangan. Kesenangan sering menyamarkan sebagai kebahagiaan.

Rumus politik hanya satu, \\\'kepentingan\\\'. Dalam politik tidak ada lawan sejati dan tidak ada musuh abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan. Kepentingan telah menjadi tuhan bagi para politikus. Tidak ada politikus yang mementingkan orang lain. Kalau ada yang memikirkan kepentingan rakyat, mereka sesungguhnya bukan politikus melainkan negarawan. Mengutip Thomas Jefferson, politikus memikirkan pemilihan yang akan datang. Sementara, negarawan memikirkan generasi yang akan datang.

Buku ini dilengkapi kelakuan politisi dari yang baik, abu-abu, sampai yang bejat. Kisah nyata ini ada yang dikutip buku Parlemen Undercover yang ditulis Abu Semar, anggota parlemen negeri Indosiasat. Di antaranya, kegelisahan anggota dewan yang sering menerima amplop tak jelas. Nasihat pimpinan fraksinya, \"Dunia politik adalah dunia penuh risiko. Kalau tidak berani ambil risiko, jadilah guru, atau uztad.\"

Cerita lain ditemukan kondom di salah seorang ruang kerja anggota dewan oleh tim kebersihan. Acara favorit setiap anggota dewan adalah studi banding ke luar negeri. Acara ini sekaligus menjadi ajang belanja barang-barang supermahal. Yang mengejutkan ketika rombongan anggota studi banding ke Mesir, mereka menyempatkan diri menonton aksi tari perut. Bahkan mereka sempat merangkul dan foto bersama dengan penari.

Arvan mengingatkan pula, kalau para politikus yang mengaku sebagai wakil rakyat itu kelakuannya tidak membela rakyat. Bagaimana pertanggungjawaban di akherat kelak? Betapa sia-sianya hidup dihabiskan di gedung parlemen. Menghadiri rapat yang menjemukan, meluangkan waktu berjam-jam untuk voting, mendengarkan pernyataan yang tidak mencerahkan, lobi-lobi yang sarat kepentingan (kepentingan rakyatkah?). Betapa sulitnya ketika harus menjawab pertanyaan di akhirat kelak, \"Ke mana kau habiskan umurmu yang telah Kau-berikan?\" Alasan ini pula yang selalu membuat penulis buku ini enggan terjun ke dunia politik.

Apalagi kalau masalah yang dibahas tidak penting, dan tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat. Masih ingat konflik Komisi VII DPR dengan Dirut Pertamina yang baru, Karen Agustiawan. Anggota FPDI, Effendi Simbolon, menyebut direksi Pertamina yang baru harus banyak belajar, belum saatnya menjabat posisi itu. Bahkan tidak beda dengan seorang \\\'satpam\\\'. Apakah ini tindakan menghormati orang lain? Karen mengirim surat ke Komisi VII yang membuat anggota kebakaran jenggot. Ternyata masalahnya semakin berlarut-larut. Betapa menyedihkan jika wakil-wakil rakyat hanya bergelut dengan masalah-masalah kecil, dan sangat tidak penting bagi rakyat.

Buku ini enak dibaca oleh semua kalangan. Bahasanya mudah dimengerti, santai dan runtut. Buku setebal 130 halaman ini membuka wawasan bagi semua orang agar mengetahui fakta-fakta yang dilakukan para politikus. Politikus pun sebaiknya membaca buku ini agar menyadari ternyata profesi politikus sangat rawan dari kebahagiaan.

Bagi politikus baru mungkin saja setelah membaca buku ini urung melanjutkan ke kancah politik. Atau malah bergeming, semakin bersemangat melanjutkan terjun ke jalur politik. Siapa tahu para politikus baru ini berhasil \\\'mematahkan\\\' judul buku ini sehingga menjadi politikus bisa bahagia, dan kaya.

Tapi, Anda jangan apriori dulu. Di buku ini, penulisnya menampilkan beberapa sosok anggota dewan yang santun dan mementingkan rakyat. Mereka enggan mengambil uang siluman, walaupun sudah dianggarkan di APBD. Mereka anggota dewan di beberapa daerah, tentu jumlahnya tidak banyak. Namun penulisnya, keukeuh menganggap mereka bukan politikus, lebih tepatnya sebagai negarawan.

Anda masih tetap berminat terjun ke politik? Silakan saja, itu sebuah pilihan. Kalau anda tetap memilih jalur politik, tapi ingin juga bahagia bisa menjadikan buku ini sebagai buku saku agar Anda menjadi negarawan sejati. vie


www.mediabuku.com

0 komentar: