Sabtu, 09 Mei 2009

[resensi buku] Tabung Oksigen Ketiga dari Pidi Baiq

Lampung Pos, 19 April 2009

Untuk ketahuilah bersama alangkah hidup ini menakjubkan, sungguh menakjubkan. Sayang sekali kalau hidup bagimu hanya sekadar untuk menghirup oksigen. (Pidi Baiq, Drunken Mama; hlm. 116-117)

KONON, kehidupan ialah pusaran tanpa titik henti. Mati bukanlah akhir dari kehidupan manusia. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat doktrin yang termaktub dalam ajaran agama-agama di dunia yang semuanya yakin akan adanya kehidupan setelah kematian menyambangi manusia. Dus, tidaklah aneh jika manusia senantiasa mencari jawaban atas pelbagai fenomena yang melingkupinya setiap hari, seumur hidupnya.

Kiranya, hanya ada satu kegiatan yang membuat manusia tampak sebagai \"benar-benar manusia\", yakni menafsir kehidupan. Kegiatan tersebut menunjukkan manusia sungguh-sungguh memiliki akal--entitas yang membedakan manusia dengan hewan.

Akal yang selalu digunakan untuk menafsir kehidupan niscaya akan membuat manusia tak terperosok lubang hitam banalitas kebudayaan. Namun, akal yang digunakan untuk menafsir kehidupan haruslah bersifat bebas, lentur, dan liar. Sebab, kehidupan sehari-hari manusia telah disesaki segala hal yang serbakaku. Artinya, manusia tak harus berkerut kening dan berpeluh badan ketika menafsir lembar demi lembar dalam \"buku kehidupan\".

Kegiatan menafsir kehidupan ini sebenarnya pernah pula disebut sebagai sesuatu yang salah oleh Karl Marx. Filsuf asal Jerman itu berkata, \"Para filsuf hanya menginterpretasikan dunia dalam pemikirannya, padahal bagaimanapun yang terpenting ialah mengubahnya!\" Untunglah, Pidi Baiq bukan seorang filsuf--setidaknya ia tidak pernah mengaku sebagai filsuf, maka kita tetap laik membaca buku ketiga dari Seri Drunken yang ditulisnya

Pidi seolah tiada pernah merasa jengah menafsir fenomena yang melintas di hadapan matanya. Lebih jauh, ia pun tampaknya belum merasa cukup mengembangkan imajinasi dalam berperilaku yang oleh awam disebut sebagai ganjil dan aneh. Tetapi, Pidi hanya ingin menghibur hati manusia yang sering tertimpa lara nan berat. Pidi, tidak lebih, cuma ingin mengajak orang lain menafsir kehidupan dengan hati riang dan perasaan yang gembira. Tentu saja, tujuannya ialah kehidupan yang bahagia.

Membaca seluruh karya Pidi, sampai di Drunken Mama, saya memang harus tersentak dengan pertanyaan yang muncul otomatis dalam hati. Benarkah semua cerita Pidi selama ini sungguh-sungguh terjadi?

Kalau melihat struktur dan efek penceritaan dalam kisah yang telah ditulis Pidi sebagai catatan harian, pembaca akan merasakan kedahsyatan cerita-cerita tersebut. Kita memang akan dibawa untuk memercayai bahwa seluruh kisah Pidi adalah nyata adanya. Namun, lagi-lagi, kaidah umum memaksa pembaca untuk meyakinkan diri dengan bertanya pada hatinya; \"Sungguhkah ada manusia seperti Pidi ini?\"

Kalau cerita-cerita humor Pidi ialah suatu kebenaran, secara tidak sadar, ia telah meruntuhkan kekhawatiran Karl Marx terhadap orang-orang yang sering menafsir kehidupan. Pidi tak hanya menafsir kehidupan, tapi ia mengubahnya lewat perilaku yang humoris dan kritis. Sementara itu, jika Pidi hanya sekadar berimajinasi dalam bentuk tulisan--untuk tak menyebutnya berbohong--termasuk dalam 17 kisah di Drunken Mama ini, tak seharusnya kita mencaci Pidi. Sebab, bagaimana mungkin memarahi orang yang telah menghibur hati?

Anggap saja cerita-cerita Pidi bagaikan tabung oksigen yang biasa diberikan kepada orang yang pingsan. Membaca semua cerita Pidi memang ibarat menghirup oksigen yang membuat kita segar untuk kembali menapaki gemunung persoalan dalam hidup ini. Bahkan lebih dari itu, kisah-kisah humor yang ditulis Pidi seolah setia mengajak pembaca untuk tak sekadar menjalani kehidupan yang kaku dalam rutinitas. Maka, sekali lagi, sampai di Drunken Mama, Pidi Baiq seolah belum kehabisan energi kreatifnya. Hingga tetaplah laik kalau karya paling anyar dari Pidi ini dibaca.

* Denny Ardiansyah, peneliti kebudayaan di SoSADem (Society of Sociological Analitic for Democracy)


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: