Jumat, 26 Maret 2010

[resensi buku] Ketika Cak Nun Bertutur tentang Persoalan Bangsa

Kompas.com, Rabu, 27 Januari 2010

Di tengah-tengah runcingnya persoalan bangsa tak ada habisnya, membaca esai-esai Emha Ainun Nadjib serasa bagaikan mendapat suntikan segar dan menyejukkan, cerdas sekaligus bernas. 
Nama Cak Nun, sapaan akrab budayawan Emha Ainun Nadjib, tentu sudah tak asing lagi kita dengar. Bersama Kiai Kanjeng, Cak Nun mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menyambangi semua lapisan masyarakat, dari birokrat, elite politik, intelektual, berbagai penganut agama, pelacur, petani, hingga kaum marginal lain.

Sebagai pekerja sosial, Cak Nun lebih banyak dijadwal oleh masyarakat yang selalu disapanya lewat berbagai acara dan pertemuan. Setidaknya ada lima acara rutin yang diasuhnya: Padhang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang), dan Obor Ilahi (Malang).

Selain itu, Cak Nun juga melayani undangan dari berbagai kalangan dan pencarian solusi atas masalah-masalah bersama. Terhitung dari tahun 1998 sampai 2006, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng telah mengunjungi lebih dari 22 provinsi, 376 kabupaten, 1.430 kecamatan, dan 1.850 desa di seluruh pelosok Nusantara Indonesia. Bahkan belakangan kerap kali diundang ke berbagai belahan mancanegara.

Budayawan yang jeli
Cak Nun dikenal sebagai budayawan yang jeli dalam mengamati tiap perkara. Mulai dari yang remeh temeh sampai yang aneh-aneh, dari yang biasa-biasa sampai yang luar biasa. Ia mencoba menyisir segala persoalan kebangsaan dengan pisau analisa kebudayaan.

Bahasa kebudayaan dan sikap terbuka untuk semua kalangan merupakan arus utama yang menjadi ciri khas Cak Nun dalam berdakwah. Tanpa melihat warna dan stratifikasi sosial, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng selalu hadir menghampiri seluruh lapisan masyarakat dengan membawa kado cinta dan perdamaian menuju spirit bangsa yang adil dan sejahtera.

Bagi Cak Nun, nasionalisme menjadi bagian yang determinan bagi terwujudnya kesejahteraan. Nasionalisme dan kesejahteraan ibarat dua picing mata yang saling berhubungan. Ketika salah satu terpejam, terkadang yang lain berledip atau terbelalak tajam. Kadang pula serempak berkedip dan terpejam. Tetapi dalam konteks Indonesia, keduanya tampak berjalan tidak seimbang, bahkan berbenturan. Ini dapat dilihat dari kepeminpinan enam presiden di negeri ini, keseimbangan antara nasionalisme dan kesejahteraan kerap mengalami pasang surut.

Untuk itu, menjadi penting kiranya merefleksikan semangat membangun keutuhan bangsa demi terciptanya nasionalime bangsa yang kuat. Nasionalisme adalah senyawa dalam membangun sebuah bangsa. Orang tak mungkin dipaksa mengerek bendera dengan perut lapar. Sebaliknya, sungguh nista menjual bendera bangsanya demi urusan perut belaka.

Buku ini memperlihatkan adanya fenomena lain tentang masih adanya kekuatan revolusioner dari seorang budayawan. Melalui seranai obrolan imajiner yang cerdas, kocak, dan sesekali jahil, buku ini mencoba menyisir berbagai persoalan ekonomi dan kebangsaan dengan pisau analisa yang tajam.

Secara garis besar, Cak Nun berbicara tentang fenomena yang sedang hangat sekaligus sensitif di negeri ini. Mulai dari hal ihwal korupsi, demokrasi, hukum, reformasi, nasionalisme, hingga tentang musik, yang semua dikaitkan dengan tuntunan agama universal. Berbeda dengan buku sebelumnya (Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki: 2007) yang selalu melakukan kritik tajam terhadap berbagai persoalan bangsa. Dalam buku Demokrasi La Roiba Fih ini Cak Nun justru berusaha menempatkan diri pada posisi pro terhadap kejadian apapun yang sedang berlangsung. Tentu saja dengan justifikasi yang menarik, out of the box, dan tidak meninggalkan satire yang selalu membuat pembaca merasa getir terhadap isu yang diangkat.

Ketika berbicara demokrasi, misalnya, Cak Nun dengan tanpa ragu-ragu mengatakan bahwa demokrasi itu harga mati. Al-Qur'an boleh bilang bahwa dirinya la roiba fih, tak ada keraguan padanya. Tetapi menurut undang-undang di negeri ini, kata Cak Nun, orang boleh meragukan Al-Qur'an, tidak melanggar hukum jika meninggalkannya, bahkan terdapat kecenderungan psikologis empirik untuk menganjurkan secara implisit sebaiknya orang menolak dan membencinya.

Tetapi berbeda dengan demokrasi. Bagi Cak Nun, demokrasi-lah la roiba fih yang sejati. Sebab, di dalam praktik konstitusi negeri ini, demokrasi lebih tinggi dari Tuhan. Tuhan berposisi dalam lingkup hak pribadi setiap orang, sedangkan demokrasi terletak pada kewajiban bersama, dan itu berarti juga kewajiban pribadi. Artinya, orang tidak akan ditangkap karena mengkhianati Tuhan, tetapi berhadapan dengan aparat hukum jika menolak demokrasi (hlm. 54-55).

Begitu pula ketika bicara tentang korupsi. Bagi Cak Nun, tidak gampang mengukur kadarnya korupsi di negeri ini apakah sebagai suatu "penyakit sistem" (struktural), sebagai "penyakit manusia" atau "penyakit budaya" suatu masyarakat yang berada dalam sistem yang sama? Karena yang menarik dari fenomena korupsi adalah, jauh sebelum melakukan korupsi di tataran kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi, sejak dini masyarakat kita sudah lihai melakukan korupsi iman, ilmu, waktu, cara berpikir, dan sejatinya isi hati (hlm. 125).

Tetapi demikian, Cak Nun tetap kekeh mengatakan bahwa Indonesia itu luar biasa. Coba bayangkan, puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa rasionalitas ekonomi, gaji tak cukup untuk makan keluarga tapi kredit motor, tak ada kerjaan tapi merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana makan minum keluargamu, mereka menjawab: "Bismillah, Cak". "Ahli statistik di belahan bumi sebelah manapun tidak pernah mencatat makanan utama bangsa Indonesia adalah bismillah. Dan sesungguhnya apa yang terkandung di balik "bismillah" itu adalah kelonggaran-kelonggaran sistem budaya korupsi di berbagai celah kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa survive." (hlm. 128).

Pada titik inilah, membaca esai-esai alumnus International Writing Program di lowa University, Amerika Serikat (AS) ini menjadi penting kiranya. Gaya tutur yang lugas, nyentil, gayeng (cair), dan penuh aroma sastrawi serasa membuat kita enggan berhenti membacanya. Pun lebih mudah menguak pesan yang tersaji dalam tiap jengkal lembar karya bagus ini. 

Buku ini murupakan kompilasi esai-esai Cak Nun yang telah dipublikasikan di pelbagai harian nasional, khususnya Kompas. Hanya saja, penataan tema yang kurang sistematis dan runtut menjadi satu catatan dalam buku setebal 282 halaman ini.

*) Peresensi adalah Ali Rif'an, Pemerhati Budaya, Pengelola Rumah Pustaka FLP Ciputat, dan Peneliti di Community of People Against-Corruption (CPA-C) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


www.mediabuku.com

0 komentar: