Jumat, 26 Maret 2010

[resensi buku] Berbahagia Menjemput Kematian

Kompas.com, Jumat, 29 Januari 2010

Salah satu fenomena yang pasti dihadapi oleh setiap makhluk hidup adalah datangnya kematian. Menyebut kata kematian seolah membuat orang bergidik merinding. Seakan-akan belum siap, gelisah, takut meninggalkan gegap-gempita dunia ini, dan lain sebagainya. Padahal, siap atau tidak kematian pasti akan datang menghampiri. Di sinilah menjadi tepat kiranya jika Profesor Komaruddin Hidayat mendiskusikan fenomena ihwal kematian.

Secara simplistis, kematian adalah terputusnya hubungan ruh dengan badan, kemudian ruh berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan seluruh lembaran amal ditutup, pintu taubat dan pemberian tempo pun terputus. Kematian tidak berarti berhentinya kehidupan, melainkan perpindahan dimensi waktu dan dimensi alam. Secara metafisis hidup dan kematian adalah tahapan-tahapan agar semakin dekat dengan Tuhan. Oleh karenanya, berbahagialah mereka yang bisa melihat, merasakan, dan berpartisipasi dalam kehidupan ini.

Bagi Pak Komaruddin, ada tiga tonggak penting yang selalu menggurita dalam dimensi fundamental manusia. Yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian. Manusia bisa hidup dan menghirup udara saat ini karena adanya peristiwa kelahiran. Sementara pernikahan terjadi berada di tengah antara kelahiran dan kematian. Pernikahan adalah poros hidup manusia guna menjaga kelestarian generasi pelanet bumi. Dalam alam pernikahan, ada mahligai yang harus disemai, dijaga, dipelihara, dan ditumbuhkembangkan. Pernikahan menjadi aras kebahagiaan sebelum menyongsong kebahagiaan yang hakiki.

Adapun kematian memiliki kemiripan dengan kelahiran. Setiap orang mengalaminya namun tak sanggup menceritakannya. Perbedaannya, kelahirann berada di depan sementara kematian berada di belakang. Kelahiran sesuatu yang tengah terjadi, sementara kematian sesuatu yang akan terjadi.

Ibarat sebuah film atau cerita dalam novel, ending menjadi sangat penting untuk dibuat semenarik dan semenggelitik mungkin. Sebab, penilaian sebuah film atau novel terletak pada endingnya. Bahkan tak jarang para novelis memerlukan waktu berbulan-bulan hanya untuk membuat ending dari cerita novelnya.

Begitu juga dengan manusia. Kematianlah sebagai ending penutup cerita hidupnya. Kematian menjadi penting untuk dipelajari dan disiasati dengan harapan ending dari lembar cerita hidup ini menjadi menarik. Sebab, tak jarang manusia lupa akan ending dalam cerita hidupnya. Mereka sibuk menggarap cerita di dalamnya, namun sepi dari memikirkan ending (kematian)nya.

Tak hanya itu, rasa takut dan pesimis dalam menghadapi ending kehidupan (kematian) juga kerapkali mengiring-iringi dan bersemayam dalam lekuk diri manusia.  Di sinilah buku berjudul: Berdamai dengan Kematian; Menjemput Ajal dengan Optimisme karya Komaruddin Hidayat ini menarik untuk dibaca.

Buku ini menyimpan banyak pesan optimistik untuk menjemput kematian. Dengan bahasa yang santun serta lentur, Pak Komar—begitu sapaan akrab guru besar sekaligus rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—ini mendedahkan coleteh segar ihwal kematian dengan memakai sudut pandang al-Qur'an.

Ibarat sebuah sungai, muaranya merupakan merupakan pintu gerbang samudra. Begitu pula dengan kematian, ia adalah muara bagi pintu gerbang samudra kehidupan yang luas dan kekal. Untuk itu, kehadirannya haruslah dinanti dengan rasa senang. Lebih dari itu, kehidupan juga diibaratkan sebuah festival yang entah kapan berakhirnya. Peran apa dan bagaimana manusia memaknai posisi di festival ini, mereka sendiri yang menentukan.

Hanya, manusia sering tenggelam dalam panggung festival. Artinya, kalimat "sesungguhnya apa yang kita cari dankejar dari peran sebagai aktor dalam panggung kehidupan ini" sepertinya jarang disematkan pda diri setiap insane manusia. Padahal, jika disadari bahwa masing-masing aktor hanya memiliki waktu terbatas. Peran yang dimainkan, dan nasib yang diterima berbeda-beda. Dari permainan panggung itu, tak terasa waktu mulai senja. Artinya, festival kehidupan tak akan lama lagi pasti berakhir. Sebab, lorong waktu tak kenal mundur. Setiap waktu mendorong manusia bergerak maju.

Pada titik inilah kematian juga disebut sebagai panglima nasihat dan guru kehidupan. Kematian sebagaimana juga kehidupan adalah anugerah ciptaan Tuhan. Kematian dan kehidupan diciptakan untuk mendorong manusia semakin banyak tabungan amal salehnya. Karena itu, memandang kematian dengan penuh kedamaian dan optimistis adalah sesuatu yang perlu terus dilakukan. Hidup adalah anugerah untuk dirayakan dengan mempererat persaudaraan dan memperbanyak amal kebajikan. Untuk itu, memikirkan kematian adalah suatu hal  yang penting dan layak untuk direkomendasikan setiap insan. Artinya, kematian harus selalu diingat dan dipikirkan. Sebab, sedikit saja ia lengah dari memikirkan kematian, maka ia telah kehilangan guru terbaik dalam hidupnya.

Buku setebal 208 halaman ini sangat layak dibaca siapa saja. Ada pesan moral dan spiritual yang begitu dalam dan kental mengiring-iringinya. Dengan membaca buku ini, kita akan diajak untuk sesekali merenung dan sesekali tersenyum.

* Peresensi: Ali Rif'an, Alumnus Ma'had Raudlatul Ulum, Guyangan Pati Jateng.
Alamat: Jl. Pesanggrahan No. 63 A Gedung Baitun Najwa Lt.2 Cempaka Putih Ciputat  Jakarta Selatan 15419.


www.mediabuku.com

0 komentar: