Kamis, 23 April 2009

[resensi buku] Bunuh Diri dan Nasib Rakyat Tertindas

Seputar Indonesia, April 2009

Semua gambaran tentang problematika hidup akan semakin kuat saat kita membaca novel Bunuh Diri Massal 2008 karya Fajar Nugros dan Alanda Kariza. Novel ini bukanlah karya utuh kedua nama tersebut. Cerita dalam novel ini diawali dengan ide dari Ketua Bunuh Diri Massal (BDM) yang karakternya dibangun Fajar Nugros.KetuaBDM ini mulai membagikan kartu undangan kepada siapa pun untuk bergabung dengan acara yang digagasnya.

Dalam benaknya, ketua BDM 2008 ini merasa bahwa acara yang akan digelarnya merupakan jawaban dari segala kesusahan hidup orang-orang. la merasa akan menjadi pahlawan bagi mereka yang sudah tidak mempunyai harapan hidup. Ia merasa semua orang harus melihat dan mengenang kegiatan akbar ini. Kegiatan yang mengabarkan kepada dunia tentang pandangan bahwa hidup membawa keputusasaan.

Ternyata, gagasan bunuh diri ini mendapat respons yang luar biasa. Hampir tiga puluh ribu orang mendaftar untuk mengikuti acara bunuh diri massal yang rencananya digelar di lapangan Monas. Menariknya, untuk dapat mengikuti acara bunuh diri ini, peserta harus berkelamin laki-laki. Alasannya, laki-laki adalah sosok yang harus memberikan pengorbanan untuk sebuah kata cinta.

Di sini cerita bertambah menarik, karena dari semua formulir pendaftaran yang masuk tak ada satu pun yang ingin mati karena alasan cinta. Hal tersebut membuat Ketua BDM 2008 muak. Namun, ada seorang peserta wanita yang menggugat kuasa kelamin dalam acara tersebut. Nina Josephina, calon peserta yang ditolak untuk ikut dalam acara tersebut merasa kalau acara tersebut diskriminatif.

Dalam menentukan hidup mati, ternyata jenis kelamin masih berpengaruh. Novel ini seakan menegaskan kalau sistem patriarki masih membelenggu pikiran masyarakat bangsa ini, di mana perempuan selalu ditempatkan sebagai sosok yang lemah. Sikap tersebut diperlihatkan oleh Ketua BDM 2008 yang merasa kalau bunuh diri itu didedikasikan untuk cinta kepada perempuan yang selalu merasa menjadi korban cinta.

Setelah selesai dengan masalah kelamin dan alasan bunuh diri, ketua BDM berhadapan dengan masalah lain, yaitu masalah lokasi. Sebelumnya, lokasi bunuh diri massal ditetapkan di lapangan Monas. Namun, pihak kepolisian tak mengizinkannya, karena ada acara yang digelar di lapangan Monas berakhir dengan kerusuhan. Padahal, acara tersebut mengusung tema nasionalisme, kebersamaan, dan pluralisme.

Akhirnya, setelah mengalami perdebatan panjang tercetus kesepakatan. Acara bunuh diri massal digelar di Gedung DPR MPR. Gedung tersebut merupakan gedungnya para wakil rakyat yang merasa sebagai wakil rakyat. Dan karena acara bunuh diri merupakan acara rakyat yang hendak menentukan hak pilihnya, mau hidup terus atau mati di negara ini, gedung tersebut sangatlah cocok.

Terasa satir saat gedung tersebut menjadi pilihan digelarnya bunuh diri. Pasalnya, para peserta bunuh diri merupakan rakyat yang nasib dan hidupnya digantungkan di pundak para wakil rakyat. Tapi, justru kesengsaraan dan kesusahan hidup yang mereka dapatkan. Dan itulah yang menjadi alasan kuat rakyat yang ingin menjadi peserta bunuh diri.

Semua kisah mengalir terus seperti air dan berputar seperti waktu sampai pada akhirnya tibalah 22 September 2008. Perizinan untuk penggunaan Gedung disepakati, yaitu dengan cara setrum di kursi para wakil rakyat.

Rencana besar tak selalu ber jalan dengan benar. Itulah yang terjadi. Rencana ingin menjadi martir bunuh diri yang spektakuler yang diimpikan ketua BDM 2008 tak berjalan seperti rencana. Tepat pukul 10.00, 22 September 2008, hanya satu orang yang menjadi mayat dalam Gedung DPR/MPR tersebut, yaitu sang Ketua BDM 2008. la tewas di tangan Jojo, peserta yang dikaguminya setelah peluru dari pistol di tangan Jojo bersarang di kepalanya.

Jojo berpikir tak satu orang pun yang boleh mendiktekan kematian orang lain. la memberikan pelajaran atas ego sang ketua BDM yang menentang keinginan Tuhan. la justru merasa kalau sang ketua hanyalah seorang pengtcut, yang mati saja ingin mengajak-ngajak orang

Jojo telah menghentikan suatu hal ya.ng dipandang orang sebagai radikalisme, dipandang orang se¬bagai gerakan negatif. Harapan se¬lalu ada. Jojo melihat itu dari mata orang-orang yang ingin bunuh diri, yang sebenarnya masih berdoa agar tak jadi mati hari itu. It was nobody until I killed the biggest somebody to be on Earth. la pun mendendangkan lagu Imagine Jhon Lennon yang menyebarkan perdamaian.

Novel ini penuh dengan kritik sosial dan politik yang dituangkan dengan getir, tajam dan satir. Gagasan tentang kritik sosial dan politik yang disajikan pada novel ini merupakan luapan kekecewaan pada institusi bernama negara yang tak mampu menyejahterakan rakyatnya, sehingga mereka menjadi putus asa dalam menjalani hidup.

Bagaimana tidak, institusi negara yang seharusnya bekerja untuk menyejahterakan rakyatnya, justru membwa rakyatnya ke jurang penderitaan. Masyarakat kecil semakin hari semakin sengsara bahkan ditindas. Sementara itu para elite politik malah sibuk dengan upaya mempertahankan kekuasaan mereka. Yang jelas, politik pemerintahan tahun 2008 tidak akan berbeda jauh dengan politik pemerintahan tahun 2009 yang penuh dengan hingar-bingar pemilu memperebutkan kursi kekuasaan baik legislatif maupun eksekutif. Rakyat tetap akan mejadi bagian dari bangsa yang terlupakan.

Penulis mencoba menggugat kembali jalan yang selama inj dianggap sebagai jalan keluar dari segala problematika kehidupan. Novel ini merupakan suatu gerakan penyadaran yang ditunjukkan oleh para pemuda bangsa ini, bahwa selalu ada harapan dan jalan keluar dari semua krisis multidimensi yang melanda bangsa ini, sekaligus sebagai kritik terhadap perilaku para wakil rakyat yang tak pernah memikirkan kesejahteraan dan nasib rakyatnya. (*)

Wahyu Arifin, pegiat di lembaga pers Transformasi UNJ


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: