Selasa, 07 April 2009

[resensi buku] Dendam yang Bertunas di Masa Kecil

Jody Pojoh, http://jodypojoh. blogdrive. com

Setelah The Liebermann Papers pertama, A Death in Vienna (Mortal Mischief) yang memikat, kembali lagi Penerbit Qanita menerbitkan seri kedua yang telah beredar, Vienna Blood. The Liebermann Papers yang seluruhnya (akan) mengambil setting Wina di antara tahun 1902 hingga 1914 ini memang baru terbit dua buku. Buku ketiga, Fatal Lies, direncanakan terbit tahun 2008. Sekali lagi, seperti buku pertama, Maxim Liebermann, sang psikonanalis dan murid Sigmund Freud, akan unjuk kebolehan membantu sahabatnya -Inspektur Detektif Oskar Rheinhardt, dalam rangka memecahkan misteri pembunuhan yang terjadi di kota sphinx, Wina. Max akan mengaplikasikan ilmu yang dipulung dari gurunya sambil melakukan tindakan nekat seperti yang terjadi di buku pertama.

Dibandingkan dengan buku pertama, pembunuhan yang diceritakan dalam buku ini  lebih banyak dan memiliki tingkat kesadisan yang lebih tinggi. Rangkaian pembunuhan sadis ini dibuka dengan pembantaian Hildegard, seekor anakonda yang dikerat menjadi tiga bagian. Setelah itu terjadi pembantaian di sebuah rumah bordil yang menewaskan seorang mucikari dan tiga pelacur dengan metode pembunuhan yang sangat mengerikan; terpotong-potong, usus terburai, kelamin tercabik, dan tenggorokan tertebas. Pembunuh keempat perempuan ini meninggalkan jejak berupa lambang semacam salib di dinding yang dibuat menggunakan darah.

Sebelum kedua kasus pembantaian tersebut terpecahkan, seorang pedagang ayam asal Ceko meregang nyawa di ujung pedang, yang diduga sebagai senjata yang sama yang digunakan pada dua kasus terdahulu. Selain ditikam, ke dalam tenggorokan korban dijejalkan gerendel. Dan seolah-olah rangkaian pembunuhan ini belum cukup, seorang pelayan lelaki asal Nubia, tewas dibunuh dengan tenggorokan terbelah dan alat kelamin tercerabut.

Inspektur Detektif Oskar Rheindhardt tentu saja dibuat pusing oleh rangkaian pembunuhan itu. Investigasi dilakukan terhadap setiap oknum yang berpotensi melakukan tindakan kriminal, tapi kabut kebingungan menghalangi munculnya titik terang kasus. Kontribusi Amelia Lydgate memunculkan dugaan jika sang pembunuh adalah seorang pemilik toko buku tua atau seorang pustakawan.

Ketika menyaksikan opera The Magic Flute karya Mozart, Max menemukan jika kasus pembunuhan yang sedang ditangani sahabatnya berhubungan erat dengan opera ini. Berdasarkan analisis Max dan Oskar, pembunuh berantai ini mereka sebut sebagai Salieri, dan mereka yakin, setelah si pelayan asal Nubia, masih akan ada lagi pembunuhan berikutnya.

Simultan dengan terjadinya pembunuhan dan pengusutan pembunuhan, Asosiasi Sastra Eddik pimpinan Gustav von Triebenbach menggalang kekuatan. Organisasi ini secara terbuka mengembuskan permusuhan dengan berbagai kalangan, termasuk Freemason, yang salah satu anggotanya ternyata Mozart, pencipta opera The Magic Flute. Di antara mereka terdapat seorang musisi bernama Herman Aschenbrandt yang tengah menulis opera berdasarkan novel Carnuntuum karya Guido von  List, dan Andreas Olbricht, seorang pelukis yang hendak melaksanakan pameran tunggal untuk karya-karyanya.  

Pengusutan kasus pembunuhan oleh Max dan Oskar menemui titik terang ketika identitas si pembunuh diketahui (juga) sebagai pemain cello.  Tapi, ternyata, tetap tidak mudah membekuk si pembunuh sadis ini. Untuk membekuknya sekaligus mengungkap motivasi tindakannya, Max sekali lagi mesti melakukan tindakan nekat. Bukan hanya menyusup ke dalam organisasi rahasia Freemason,  tapi juga mempertaruhkan nyawanya sendiri. Jika Max gagal, berarti mata pedang si pembunuh akan meminta korban nyawa lagi. Meski hanya sedikit, latihan yang dilakukan Max pada awal novel akan memberinya bantuan untuk bertahan.

Di sela-sela pengusutan pembunuhan berantai itu, Max Libermann diserang kegalauan akan cintanya terhadap Clara Weiss, calon istrinya. Dalam kisaran cintanya dengan Clara, Max tidak menemukan gairah yang sama seperti ketika ia membayangkan Amelia Hydgate, mantan pasiennya yang pintar. Balada cinta Max bergulir di antara tugasnya sebagai psikoanalis yang mempertemukannya dengan Herr Beiber, seorang lelaki yang didiagnosisnya sebagai pengidap paranoia erotica. Tak disangka, sesi terapi dengan Herr Beiber ini akan memberikan penegasan pada Max siapa sesungguhnya si pembunuh berantai yang dicari-cari.

Bagi yang sudah membaca A Death in Vienna, sekali lagi akan merasakan pengalaman baca yang kurang lebih sama mengasyikkan dalam Vienna Blood. Frank Tallis masih menggunakan formula andalannya, misteri pembunuhan yang tidak mudah dipecahkan, tersangka yang tampak potensial, dan pelacakan serta pengungkapan motivasi pembunuhan yang berbelit. Semuanya tidak hanya membutuhkan kecerdasan analisis seorang Maxim Liebermann, tapi juga dukungan teori Sigmund Freud.

Seperti A Death in Vienna, Vienna Blood dielaborasi tanpa tergesa, panjang lebar, dalam bab-bab yang bergaya cerpen, sehingga tidak membosankan untuk diikuti. Seluruh kisah dipaparkan dalam 88 bab, yang terangkum dalam 4 bagian besar, berturut-turut terdiri atas Tersangka Utama, Kerajaan Malam, Salieri, dan Dunia Bawah Tanah. Setiap bab diakhiri dengan pas, dengan cara yang tepat untuk mengundang pembaca segera lanjut ke bab berikutnya.

Meski identitas pembunuh telah diketahui sejak bab 71 (dengan catatan, harus diikuti dari awal untuk menghindari kebingungan), perburuan si pembunuh sekaligus pembongkaran alasannya melakukan tindakan keji tetap menjadi materi yang sangat menarik untuk disimak. Rahasia yang terungkap berkat kecakapan Max Liebermann memanfaatkan psikonanalisis, hasil pemupukan tunas dendam yang tumbuh di masa kecil sang pembunuh, terasa sangat kuat dan mencengangkan sehingga membuat novel ini terasa lebih bersinar.

Beberapa bagian terkesan sangat kebetulan, misalnya pengungkapan wajah si pembunuh melalui pasien Max, atau ternyata opera The Magic Flute memiliki pengaruh pada tindakan nekat dan sadis si pembunuh. Tapi hal ini sama sekali tidak mengurangi daya tarik novel berlatar musim dingin tahun 1902 ini. Apalagi masalah kebetulan memang jamak ditemukan dalam novel detektif pembunuhan semacam ini.

Dengan karakter utama yang sama, beberapa karakter figuran yang pernah muncul di seri sebelumnya, dan tambahan karakter yang memberi nuansa baru, Vienna Blood kian mengukuhkan nama Frank Tallis, psikolog klinis peraih Writers\\\' Award (Arts Council of Great Britain, 1999) dan New London Writers\\\'Award (London Arts Board, 2000), sebagai novelis kisah detektif brilian yang karya-karyanya sangat layak dinikmati dan ditunggu kehadirannya.

Edisi Indonesia terbitan Penerbit Qanita ini diterjemahkan oleh Berliani Nugrahani dengan apik. Naskah dicetak menggunakan huruf  berukuran kecil, tapi masih tetap enak dibaca. Seingat saya, tidak ada kesalahan cetak yang membuat acara membaca menjadi terganggu. Penyuntingan novel juga sangat bagus, tidak ada kalimat-kalimat aneh membingungkan. Hal ini penting, mengingat belakangan, di dunia buku Indonesia beredar karya-karya fiksi yang kurang bagus dari segi penyuntingan. Malah, ada karya fiksi yang tampaknya terbit tanpa disunting terlebih dahulu, sehingga kita masih bisa menemukan kalimat-kalimat kacau yang perlu disiangi.

Setelah Vienna Blood, rasanya tidak sabar untuk segera membaca buku ketiga serial  The Liebermann Papers, yang sayangnya, baru akan terbit tahun 2008.


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: