Jawa Pos, Minggu, 19 April 2009
Invasi Amerika ke Irak pada 2003 telah mengirim kabar buruk bukan hanya bagi jutaan warga sipil Irak yang hingga kini hidup dalam kecamuk konflik atau empat ribuan keluarga tentara AS yang tewas di sekujur negeri Abu Nawas itu. Tetapi juga buat warga AS yang harus merogoh kocek --membayar pajak-- demi membiayai perang yang tak pernah memiliki pembenaran itu. Presiden George Walker Bush --yang menabuh genderang perang-- pun akan dikenang sebagai salah seorang presiden Amerika yang penuh bercak darah. Selain menghabiskan triliunan dolar, Bush telah mengirim popularitas Amerika tersungkur di seantero jagad --bahkan di negara-negara sekutunya.
Survei Pew Research Center menyebutkan perang telah mengubah secara dramatis kekaguman warga dunia pada Amerika. Kekaguman warga dunia pada Amerika di 26 dari 33 negara yang disurvei menurun. Pada 2007, kekaguman itu merosot sembilan persen di Turki dan 29 persen di Indonesia. Bahkan di Kanada, Inggris, Jerman, dan Prancis, kepercayaan pada kepemimpinan Vladimir Putin (Rusia) melampaui kepercayaan terhadap kepemimpinan Bush. Survei lebih mutakhir Pew menunjukkan, keberadaan AS di Irak dianggap sebagai ancaman yang lebih besar bagi perdamaian dunia daripada Korea Utara.
Amerika juga tak lagi dipercaya sebagai benteng hak-hak sipil dan demokrasi. Sekitar 65 persen rakyat Jerman, 66 persen rakyat Spanyol, dan 67 persen rakyat Brasil, misalnya, tidak suka terhadap gagasan Amerika soal demokrasi. Angka ini makin tinggi di Palestina (71 persen), Pakistan (72 persen) dan Turki (81 persen). Perang Irak tak pelak menjatuhkan martabat AS. Tak urung kini warga dunia selalu awas dengan setiap gagasan yang ditelurkan negeri itu, termasuk di bawah Presiden Barack Husein Obama yang diinginkan mengubah wajah \"polisi dunia\" itu.
Buku Joseph E Stiglitz dan Linda J. Belmes ini secara khusus menyelidiki biaya yang dikeluarkan AS dan juga para sekutunya untuk perang Irak. Biaya yang ditanggung Depkeu AS dan itu berarti harus ditanggung pembayar pajak antara 1,7 trilun hingga 2,7 triliun dolar. Ditambah biaya \"sosial\" substansial, yakni biaya-biaya yang tak tertangkap dalam anggaran pemerintah federal, tapi sebenarnya mencerminkan beban sesungguhnya yang dipikul warga AS berkisar antara 300 miliar hingga 400 miliar dolar AS. Total antara 2 triliun hingga 3,1 triliun dolar. Sama dengan 12 tahun biaya perang di Vietnam dan dua kali lipat dibandingkan dengan biaya perang di Korea!
Padahal dengan 1 triliun dolar, negeri itu bisa membangun 8 juta unit rumah, menggaji 15 juta guru selama setahun, membayar asuransi kesehatan 530 juta anak selama setahun, memberikan beasiswa empat tahun pada 43 juta mahasiswa di universitas negeri. Akan semakin banyak lagi manfaat yang didapat warga AS dengan dana 3 triliun dolar.
Peraih Nobel Ekonomi 2001, Stiglitz dan Bilmes, membagi biaya perang itu menjadi dua: biaya perang saat ini dan biaya perang masa datang. Biaya saat ini yang sudah dikeluarkan meningkat dari 4,4 miliar dolar (2003) menjadi 16 miliar dolar pada 2008. Dengan demikian, tiap keluarga Amerika telah membelanjakan 138 dolar setiap bulan untuk biaya operasi perang dan 100 dolar per bulan secara otomatis mengalir ke Irak (hlm. 63). Pada April 2009 ini, Barak Obama tengah butuh dana 83,4 juta dolar untuk keperluan mengirim pasukan ke Irak dan Afganistan. Menurut riset Kongres AS, total pengeluaran untuk perang di kedua negara itu menjadi satu triliun dolar AS sejak serangan teroris pada 11 September 2001.
Biaya perang masa datang dihitung sebab para pembayar pajak AS berutang miliaran dolar kepada para veteran yang memenuhi syarat mendapat kompensasi cacat, perawatan dan tunjangan medis. Dengan taksiran pasukan AS bertahan di Irak hingga 2017, biaya untuk pasukan akan bertambah 382 miliar dolar. Ini hampir 200 miliar dolar yang diminta Bush untuk operasi tahun fiskal 2008 serta operasi dari 2009 hingga 2017. Ini skenario terbaik. Tapi, bagaimana jika hingga 2017 jumlah pasukan yang diterjunkan di medan perang Irak dan Afganistan --termasuk operasi terhadap Al Qaeda-- mencapai 2,1 juta orang? Dalam skenario ini, biaya penugasan pasukan mencapai 400 ribu dolar per kapita. Sedangkan biaya total operasi masa datang akan lebih dari 913 miliar dolar. Dari jumlah itu, 669 miliar dolar untuk Irak.
Misalnya klaim cacat veteran sekitar 45 persen dan 88 persen dari klaim-klaim itu sebagian dikabulkan, maka ada 712.800 pasukan AS akan mengklaim tunjangannya. Rata-rata pembayaran pada veteran Perang Irak dan Perang Afganistan 542 dolar per bulan per orang. Belum lagi tunjangan veteran berupa penyesuaian biaya hidup yang setara jaminan sosial. Lihatlah
data ini: pada 2003 Departemen Urusan Veteran menanggung biaya perawatan 13.800 orang veteran Irak dan Afganistan. Pada 2008, sudah ada 263.000 veteran Irak dan Afganistan yang harus ditanggungnya.
Untuk para veteran dua perang ini, pemerintah AS harus mengeluarkan 398 miliar dolar (121 miliar dolar untuk perawatan kesehatan dan 277 miliar dolar untuk tunjangan cacat).
Membengkaknya biaya perang merupakan kombinasi dari tiga faktor. Pertama, kenaikan biaya personel --baik pasukan AS atau para tenaga kontrak militer (perusahaan jasa keamanan militer). Kedua, naiknya harga minyak secara drastis. Dan ketiga, kebutuhan untuk membayar \"pengaturan kembali\" secara umum peralatan dan persenjataan karena cadangan peralatan militer bisa aus dan lamanya perang membuat Pentagon harus memberikan pembelian yang tidak direncanakan.
Soal perusahaan jasa keamanan militer, jurnalis Los Angeles Times T. Christian Miller dalam bukunya Blood Money juga mengungkapnya. Menurut Miller, bahkan perusahaan tak berpengalaman asal sanggup mengumbar janji-janji palsu, ditunjuk Pemerintahan Koalisi Sementara (CPA) dan Kantor Rekonstruksi dan Bantuan Kemanusiaan (ORHA) --kepanjangan tangan Pemerintahan Bush-- untuk menggarap proyek penting dan sensitif seperti jasa keamanan untuk melancarkan proses rekonstruksi di Irak. Namun, yang paling eksesif adalah Halliburton --perusahaan yang dekat dengan Dick Cheney (wapres di masa Bush). Bahkan Halliburton acapkali menggelembungkan tagihan kepada otoritas Pemerintahan Koalisi Sementara, termasuk ketika ditunjuk untuk memasok minyak ke Irak, Mei 2003. Apabila Defense Energy Support Center (lembaga bahan bakar Pentagon) mampu mengimpor bahan bakar keperluan militer senilai 1,08 dolar per galon. Halliburton meminta bayaran 2,68 dolar untuk setiap galon minyak yang didatangkannya.
Stiglitz dan Bilmes menduga ada pembayaran berlebih (baca: aroma korupsi) kepada Halliburton. Bukan itu saja, Halliburton mendapat kontrak menyediakan jasa keamanan bertahun-tahun, melebihi dari yang dibutuhkan. Maklum jika perusahaan ini pernah menerima kontrak tunggal menguntungkan senilai 19,3 miliar dolar. Hingga 2007, Deplu AS telah menghabiskan 4 miliar dolar untuk para penjaga keamanan. Dan, penghasilan perusahaan seperti Blackwater dan Dyncorp lebih tinggi dari sersan angkatan darat. Setiap hari para penjaga keamanan mendapat 1.222 dolar atau 445 ribu dolar setahun. Sedangkan sersan hanya menghasilkan 140-190 dolar per hari atau 51.100-69.350 dolar setahun (hlm. 41-44). Sesuatu yang membuat persaingan tidak sehat. Korporasi mendompleng perang, bukan hanya merugikan rakyat Irak tapi menguras pundi-pundi pembayar pajak Amerika.
Perang akan terus memakan dolar jika tak selekas mungkin dihentikan. Bukan itu saja, sederet persoalan kejiwaan menghantui para veteran Irak dan Afganistan. Survei terhadap 2.000 veteran dua perang ini menemukan hampir sepertiganya menderita gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi mayor, cedera otak traumatik atau kombinasinya. Riset the RAND Corporation bahkan menaksir sekitar 300 ribu tentara menderita PTSD atau depresi mayor dan 320 ribu mengalami cedera otak traumatik. Stiglitz dan Bilmes, lewat angka-angka yang dipaparkan mengabarkan pada kita bahwa perang sungguh hal yang mubazir. (*)
*) Moh Samsul Arifin, anggota Klub Buku dan Film SCTV
Invasi Amerika ke Irak pada 2003 telah mengirim kabar buruk bukan hanya bagi jutaan warga sipil Irak yang hingga kini hidup dalam kecamuk konflik atau empat ribuan keluarga tentara AS yang tewas di sekujur negeri Abu Nawas itu. Tetapi juga buat warga AS yang harus merogoh kocek --membayar pajak-- demi membiayai perang yang tak pernah memiliki pembenaran itu. Presiden George Walker Bush --yang menabuh genderang perang-- pun akan dikenang sebagai salah seorang presiden Amerika yang penuh bercak darah. Selain menghabiskan triliunan dolar, Bush telah mengirim popularitas Amerika tersungkur di seantero jagad --bahkan di negara-negara sekutunya.
Survei Pew Research Center menyebutkan perang telah mengubah secara dramatis kekaguman warga dunia pada Amerika. Kekaguman warga dunia pada Amerika di 26 dari 33 negara yang disurvei menurun. Pada 2007, kekaguman itu merosot sembilan persen di Turki dan 29 persen di Indonesia. Bahkan di Kanada, Inggris, Jerman, dan Prancis, kepercayaan pada kepemimpinan Vladimir Putin (Rusia) melampaui kepercayaan terhadap kepemimpinan Bush. Survei lebih mutakhir Pew menunjukkan, keberadaan AS di Irak dianggap sebagai ancaman yang lebih besar bagi perdamaian dunia daripada Korea Utara.
Amerika juga tak lagi dipercaya sebagai benteng hak-hak sipil dan demokrasi. Sekitar 65 persen rakyat Jerman, 66 persen rakyat Spanyol, dan 67 persen rakyat Brasil, misalnya, tidak suka terhadap gagasan Amerika soal demokrasi. Angka ini makin tinggi di Palestina (71 persen), Pakistan (72 persen) dan Turki (81 persen). Perang Irak tak pelak menjatuhkan martabat AS. Tak urung kini warga dunia selalu awas dengan setiap gagasan yang ditelurkan negeri itu, termasuk di bawah Presiden Barack Husein Obama yang diinginkan mengubah wajah \"polisi dunia\" itu.
Buku Joseph E Stiglitz dan Linda J. Belmes ini secara khusus menyelidiki biaya yang dikeluarkan AS dan juga para sekutunya untuk perang Irak. Biaya yang ditanggung Depkeu AS dan itu berarti harus ditanggung pembayar pajak antara 1,7 trilun hingga 2,7 triliun dolar. Ditambah biaya \"sosial\" substansial, yakni biaya-biaya yang tak tertangkap dalam anggaran pemerintah federal, tapi sebenarnya mencerminkan beban sesungguhnya yang dipikul warga AS berkisar antara 300 miliar hingga 400 miliar dolar AS. Total antara 2 triliun hingga 3,1 triliun dolar. Sama dengan 12 tahun biaya perang di Vietnam dan dua kali lipat dibandingkan dengan biaya perang di Korea!
Padahal dengan 1 triliun dolar, negeri itu bisa membangun 8 juta unit rumah, menggaji 15 juta guru selama setahun, membayar asuransi kesehatan 530 juta anak selama setahun, memberikan beasiswa empat tahun pada 43 juta mahasiswa di universitas negeri. Akan semakin banyak lagi manfaat yang didapat warga AS dengan dana 3 triliun dolar.
Peraih Nobel Ekonomi 2001, Stiglitz dan Bilmes, membagi biaya perang itu menjadi dua: biaya perang saat ini dan biaya perang masa datang. Biaya saat ini yang sudah dikeluarkan meningkat dari 4,4 miliar dolar (2003) menjadi 16 miliar dolar pada 2008. Dengan demikian, tiap keluarga Amerika telah membelanjakan 138 dolar setiap bulan untuk biaya operasi perang dan 100 dolar per bulan secara otomatis mengalir ke Irak (hlm. 63). Pada April 2009 ini, Barak Obama tengah butuh dana 83,4 juta dolar untuk keperluan mengirim pasukan ke Irak dan Afganistan. Menurut riset Kongres AS, total pengeluaran untuk perang di kedua negara itu menjadi satu triliun dolar AS sejak serangan teroris pada 11 September 2001.
Biaya perang masa datang dihitung sebab para pembayar pajak AS berutang miliaran dolar kepada para veteran yang memenuhi syarat mendapat kompensasi cacat, perawatan dan tunjangan medis. Dengan taksiran pasukan AS bertahan di Irak hingga 2017, biaya untuk pasukan akan bertambah 382 miliar dolar. Ini hampir 200 miliar dolar yang diminta Bush untuk operasi tahun fiskal 2008 serta operasi dari 2009 hingga 2017. Ini skenario terbaik. Tapi, bagaimana jika hingga 2017 jumlah pasukan yang diterjunkan di medan perang Irak dan Afganistan --termasuk operasi terhadap Al Qaeda-- mencapai 2,1 juta orang? Dalam skenario ini, biaya penugasan pasukan mencapai 400 ribu dolar per kapita. Sedangkan biaya total operasi masa datang akan lebih dari 913 miliar dolar. Dari jumlah itu, 669 miliar dolar untuk Irak.
Misalnya klaim cacat veteran sekitar 45 persen dan 88 persen dari klaim-klaim itu sebagian dikabulkan, maka ada 712.800 pasukan AS akan mengklaim tunjangannya. Rata-rata pembayaran pada veteran Perang Irak dan Perang Afganistan 542 dolar per bulan per orang. Belum lagi tunjangan veteran berupa penyesuaian biaya hidup yang setara jaminan sosial. Lihatlah
data ini: pada 2003 Departemen Urusan Veteran menanggung biaya perawatan 13.800 orang veteran Irak dan Afganistan. Pada 2008, sudah ada 263.000 veteran Irak dan Afganistan yang harus ditanggungnya.
Untuk para veteran dua perang ini, pemerintah AS harus mengeluarkan 398 miliar dolar (121 miliar dolar untuk perawatan kesehatan dan 277 miliar dolar untuk tunjangan cacat).
Membengkaknya biaya perang merupakan kombinasi dari tiga faktor. Pertama, kenaikan biaya personel --baik pasukan AS atau para tenaga kontrak militer (perusahaan jasa keamanan militer). Kedua, naiknya harga minyak secara drastis. Dan ketiga, kebutuhan untuk membayar \"pengaturan kembali\" secara umum peralatan dan persenjataan karena cadangan peralatan militer bisa aus dan lamanya perang membuat Pentagon harus memberikan pembelian yang tidak direncanakan.
Soal perusahaan jasa keamanan militer, jurnalis Los Angeles Times T. Christian Miller dalam bukunya Blood Money juga mengungkapnya. Menurut Miller, bahkan perusahaan tak berpengalaman asal sanggup mengumbar janji-janji palsu, ditunjuk Pemerintahan Koalisi Sementara (CPA) dan Kantor Rekonstruksi dan Bantuan Kemanusiaan (ORHA) --kepanjangan tangan Pemerintahan Bush-- untuk menggarap proyek penting dan sensitif seperti jasa keamanan untuk melancarkan proses rekonstruksi di Irak. Namun, yang paling eksesif adalah Halliburton --perusahaan yang dekat dengan Dick Cheney (wapres di masa Bush). Bahkan Halliburton acapkali menggelembungkan tagihan kepada otoritas Pemerintahan Koalisi Sementara, termasuk ketika ditunjuk untuk memasok minyak ke Irak, Mei 2003. Apabila Defense Energy Support Center (lembaga bahan bakar Pentagon) mampu mengimpor bahan bakar keperluan militer senilai 1,08 dolar per galon. Halliburton meminta bayaran 2,68 dolar untuk setiap galon minyak yang didatangkannya.
Stiglitz dan Bilmes menduga ada pembayaran berlebih (baca: aroma korupsi) kepada Halliburton. Bukan itu saja, Halliburton mendapat kontrak menyediakan jasa keamanan bertahun-tahun, melebihi dari yang dibutuhkan. Maklum jika perusahaan ini pernah menerima kontrak tunggal menguntungkan senilai 19,3 miliar dolar. Hingga 2007, Deplu AS telah menghabiskan 4 miliar dolar untuk para penjaga keamanan. Dan, penghasilan perusahaan seperti Blackwater dan Dyncorp lebih tinggi dari sersan angkatan darat. Setiap hari para penjaga keamanan mendapat 1.222 dolar atau 445 ribu dolar setahun. Sedangkan sersan hanya menghasilkan 140-190 dolar per hari atau 51.100-69.350 dolar setahun (hlm. 41-44). Sesuatu yang membuat persaingan tidak sehat. Korporasi mendompleng perang, bukan hanya merugikan rakyat Irak tapi menguras pundi-pundi pembayar pajak Amerika.
Perang akan terus memakan dolar jika tak selekas mungkin dihentikan. Bukan itu saja, sederet persoalan kejiwaan menghantui para veteran Irak dan Afganistan. Survei terhadap 2.000 veteran dua perang ini menemukan hampir sepertiganya menderita gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi mayor, cedera otak traumatik atau kombinasinya. Riset the RAND Corporation bahkan menaksir sekitar 300 ribu tentara menderita PTSD atau depresi mayor dan 320 ribu mengalami cedera otak traumatik. Stiglitz dan Bilmes, lewat angka-angka yang dipaparkan mengabarkan pada kita bahwa perang sungguh hal yang mubazir. (*)
*) Moh Samsul Arifin, anggota Klub Buku dan Film SCTV
www.dinamikaebooks.com
0 komentar:
Posting Komentar