Senin, 20 April 2009

[resensi buku] Perbandingan Komunikasi Politik Presiden Indonesia

Kompas.com, Minggu, 5 April 2009

Dalam sebuah tesisnya, Weber pernah menengarai adanya suatu perubahan sosial masyarakat. Perubahan itu tampak jelas ketika adanya suatu perbandingan yang membedakan antara masyarakat zaman sekarang dengan masyarakat sebelumnya. Menurutnya, perubahan itu tidak lepas dari perubahan intelektualitas yang dimiliki individu-individu yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri.

Sebagai makhluk sosial, para presiden pun tidak lepas dari perbedaan antara presiden satu dengan lainnya. Termasuk dari aspek pemahaman maupun penyikapannya terhadap realitas kehidupan bangsa-negara. Memang, secara geneologis jabatan presiden yang dipikul mereka pun tidak jauh berbeda dalam tataran hukum yang mengikat dan mengatur. Namun, dalam praksisnya, pasti akan muncul sejumlah perbedaan. Dari perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian menimbulkan sederet realitas kehidupan bangsa-negara yang tidak mesti sama.

Namun, dalam buku ini, tingkat perbedaan intelektulitas seorang presiden dengan presiden lainnya, terbukti bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi perubahan sosial bangsa-negara. Menurut Tjipta Lesmana, perbedaan tingkat emosional dan spiritual juga memiliki andil dalam perubahan. Artinya, tingkat perbedaan intelektualitas, emosionalitas, dan spiritulitas antara Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, berkorelasi positif dengan perbedaan pola interaksi sosial mereka. Dari perbedaan interaksi sosial yang berkaitan erat dengan pola komunikasi inilah yang akhirnya menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Mulai intrik, lobi politik hingga menyikapi kritik pun, mereka belum tentu sama dalam satu pola komunikasi politik.

Dalam buku ini, kajian komunikasi politik keenam presiden kita dibagi dalam enam bab. Bab I, di duduki oleh Soekarno. Dalam bab ini, presiden pertama kita ini tampak sebagai sosok yang memiliki ilmu yang dalam, piawai menganalisis situasi politik, matang dalam berpolitik, dan berani menghadapi tantangan dan tegas. Namun, "Singa Podium" ini tak ubahnya seperti manusia biasa yang punya amarah dan salah. Dalam kemarahannya, ia sering menggebrak meja, menggedor kiri-kanan, menghardik sasaran dengan suara yang keras, menantang, memperingatkan dan mengancam (hlm.5). Semua itu sering disampaikannya dalam bahasa, meminjam istilah Edward T. Hall (1976), yang low context; jelas, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling. Selain itu, ia sering menggunakan bahasa yang mengulang-ulang.

Berbeda dengan Soeharto, dalam bab II, yang lebih banyak mendengar dan mesem (senyum). Dalam berkata, ia sering menggunakan bahasa yang high context; tidak jelas, penuh kepura-puraan (impression management), teka-teki, rahasia, dan amat santun serta multi tafsir. Tidak jarang para menteri perlu merenungkan atau menanyakan kepada orang lain tentang arti dari kominikasi presiden terhadap mereka. Bagi yang tidak memahami komunikasi tingkat tinggi ini, perlu siap-siap menuai gebukan atau perlawanan rakyat dan lingkungan sekitar. Semisal, kasus penyerbuan massa PDI Soerjadi terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Dalam kasus ini, Sutiyoso yang dianggap bertanggung jawab waktu itu, berdalih bahwa peristiwa itu berasal dari perintah "atasan". Sementara, Feisal Tandjung mengatakan bahwa Soeharto tidak pernah memerintahkan penyerbuan (hlm.67).

Uniknya, dalam kondisi marah atau tidak suka pun, "The Smiling General" ini menggunakan bahasa high context pula. Semisal, ketika ada menteri yang laporan atau dipanggil diruang kerja presiden telah dipersilahkan meminum minuman yang tersedia, berarti diperintahkan segera untuk pamit. Meski begitu, Soeharto juga pernah menggunakan bahasa low context.

Berbeda lagi ketika Presiden BJ. Habibie marah. Dalam bab III, ia tampak menggunakan bahasa low context. Ketika marah, ia sering melototkan mata kepada yang dimarahi, raut muka memerah dan suara keras. Ia juga dikenal sebagai sosok yang temperamental. Meski cerdas, ia cepat emosi dan cepat marah, terlebih ketika ditantang, dikritik, dan didebat. "Anehnya, tidak ada satupun menteri yang takut", menurut informan Hendropriyono (hlm.159).

Dalam bab IV, ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) marah, kadang menggebrak meja dan atau mengancam. Meski begitu, Gus Dur tidak lepas dari sifat gampang tidur dan humorisnya. Sering dalam setiap sidang kabinet yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB, Gus Dur melakukan ritual tidur. Ketika salah atau mendapat konfirmasi dari orang yang merasa dirugian, Gus Dur sering menanggapinya dengan santai. "Oh, begitu, ya? Ya, Sudah. Enggak usah dipikirin...!", jawabnya (hlm.199).

Sedangkan Megawati, dalam bab V, setiap marah suka menghardik korbannya. Semisal, ketika Megawati sedang menghadiri acara dengan sejumlah kerabatnya di restoran sebuah hotel mewah di Singapura. Dalam acara itu, Roy BB. Janis dihardik habis-habisan di depan umum akibat kedatangannya tidak diundang (hlm.283). Selain itu, ia juga terkenal pendendam. SBY merupakan salah satu contoh yang menjadi korban sifat pendendam itu. Dalam debat calon presiden 2004, misalnya, gara-gara menaruh dendam dengan SBY, Megawati mengajukan syarat kepada penyelenggara acara untuk menghapus acara jabat tangan antar calon. Dalam pelantikan Presiden SBY pun, Megawati tidak mau menghadirinya.

Dalam berkomunikasi, menurut penulis, Megawati tidak bisa efektif. Ia lebih suka diam atau menebar senyum dari pada berbicara. Selama berpidato, suaranya tampak datar, nyaris tidak ada body language sama sekali. Ia membaca kata per kata secara kaku, seolah takut sekali pandangannya lepas dari teks pidato di depannya (hlm.247). Ironisnya, dalam setiap pembicaraan dengan orang-orang dekatnya lebih banyak membicarakan shopping dari pada soal-soal yang berkaitan dengan bangsa dan negara. Dalam menghadapi kritik, ia sering tidak tahan, alergi kritik (hlm.265).

Meski tidak jarang menuai kritik, dalam bab VI, SBY tampak merasa gerah pula. Bahkan, SBY sering balas mengkritik bagi orang atau pihak yang berani mengkritiknya, termasuk kebijakan pemerintah. Namun, dalam setiap pembicaraannya, SBY tergolong cukup hati-hati. Seolah-olah setiap kata yang keluar dari bibirnya diartikulasikan secara cermat. Dalam perspektif komunikasi, SBY tergolong dalam lower high context. Ia gemar menggunakan analogi dalam menggambarkan suatu masalah dan tidak bicara secara to the point. Hanya hakikat suatu permasalahanlah yang sering disampaikannya. Dalam berbagai kesempatan, SBY seperti sengaja tidak mau memperlihatkan sikapnya yang tenang, tetapi membiarkan publik menebak-nebak sendiri.

Tidak sedikit informasi tentang komunikasi keenam presiden kita dalam buku ini. Selain unik, bikin tercengang, tertawa, dan kesal, buku ini memberikan berbagai wawasan terkait kepribadian beberapa presiden yang pada pemilu tahun ini hendak tampil sebagai calon presiden lagi. Namun, untuk mengetahui apakah dari sejumlah presiden itu tergolong –meminjam istilah Kurt Lewin- Authoritarian, Participative, atau Delegatif, pembaca dipersilahkan menyimpulkan sendiri.***

*Ketua Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) Yogyakarta


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: