Senin, 13 April 2009

[resensi buku] Lara Kusapa

@h_tanzil, http://bukuygkubaca. blogspot. com

Lara Kusapa (Bonjour Trisete) adalah novel perdana karya novelis Perancis terkenal, Francoise Sagan (1935-2004). Novel ini pertama kali diterbitkan pada 1954 saat Sagan berusia 18 tahun dan langsung menjadi best seller dan menyulut sensasi heboh pada masanya. Hal ini mungkin dikarenakan usia si penulis yang masih begitu muda namun kisahnya ditulis bagaikan penulis-penulis dewasa senior yang menceritakan kisah cinta disertai bumbu pengalaman seksualitas gadis remaja yang dituturkan tanpa malu-malu. Novel inilah yang akan melejitkan Sagan menjadi sosok penulis terkemuka dalam sastra Perancis dan menjadi karya abadi yang terus dibaca orang hingga kini.

Judul novel ini diambil Sagan dari sebuah puisi karya penyair Perancis, Paul Eluard \"À peine défigurée\", yang diawali dengan kalimat "Bonjour tristesse ...\". Dalam novelnya ini Sagan bertutur mengenai kisah Cecile, gadis manja berusia 17 tahun yang telah tinggal bersama ayahnya(Raymond) seorang duda keren berusia 40 tahun yang gemar bergonta-ganti wanita semenjak istrinya meninggal dunia ketika Cecile masih berusia 2 tahun.

Saat liburan musim panas Cecile dan ayahnya yang juga ditemani oleh kekasihnya, Elsa Mackenbourg berlibur di sebuh villa mewah di pinggir pantai. Elsa sendiri adalah wanita muda, gaul, kurang berpendidikan, dan penggoda pria yang usianya hanya terpaut 12 tahun dari Cecille dan merupakan kekasih ayahnya yang entah untuk keberapa kalinya yang telah memasuki kehidupan ayahnya. Selain Elsa, Raymond juga mengundang Anne, kawan lama mendiang ibu Cecile untuk sama-sama menghabiskan liburan mereka di pantai. Anne yang seumuran dengan ayahnya adalah sosok wanita 'lurus' dan terpelajar.

Awalnya tak ada masalah dalam liburan mereka, Cecile pun menemukan kebahagiaan karena berkenalan dengan Cyril, seorang pemuda yang juga sedang berlibur di pantai tersebut. Bersama Cyrill Cecile menjalin cinta yang penuh gairah tanpa batas tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya hingga akhirnya Anne memergokinya dan menyatakan ketidaksukaannya pada hubungan mereka.

Sikap Anne yang lambat laun mulai merecoki kehidupannya dan sok mengatur membuat Cecille menjadi tak menyukai Anne, apalagi ketika akhirnya ia mengetahui bahwa ayahnya dan Anne berencana untuk menikah. Setelah rencana ini diketahui juga oleh Elsa, maka Elsa pun pergi meninggalkan Raymond. Rencana pernikahan ini ditentang oleh Cecile. Ia mulai membayangkan jika ayahnya jadi menikah dengan Anne maka kehidupannya akan berubah, dari tadinya serba tak teratur, seenaknya, ugal-ugalan, menjadi kehidupan yang tertib dan membosankan.

Untuk menggagalkan pernikahan ayahnya itu, Cecile menyusun rencana yang melibatkan Cyrill, kekasihnya dan Elsa, mantan kekasih ayahnya. Berhasilkah ia dengan rencananya itu ? di tengah usahanya menggagalkan rencana pernikahan ayahnya itulah akhirnya Cecile berjumpa dengan Lara…

Novel tipis ini dibagi menjadi dua bagian besar, jika dicermati maka di bagian pertama kita akan diajak mengenal karakter Cecile sebagai gadis remaja yang nakal, naïf, dan belum matang. Sedangkan di bagian berikutnya, kegelisahan dan ketakutan akan masa depannya membuat Cecile tampak lebih matang dan dewasa baik dalam berperilaku maupun dalam berpikir.

Tema dan kisah yang dibangun oleh Sagan tampak biasa-biasa saja dan mungkin sangat umum dan seperti layaknya kisah-kisah sinetron. Namun kepiawaian Sagan menyusun konflik antar tokohnya dan sedikit gambaran seksualitas Cecille dalam novel ini yang mungkin menjadikan novel ini menarik untuk dibaca, tak heran novel ini menjadi best seller dan menjadi salah satu novel klasik. Bahkan novel ini jgua mengilhami Simon Gerfunkel untuk membuat salah lagunya yang terkenal, 'Sound of Silence'

Sagan memang piawai menghidupkan konflik-konflik antar tokohnya, ia juga dengan baik mengeksplorasi konflik batin dan ketakutan Cecille akan masa depannya jika ayahnya jadi menikah dengan Anne. Ketika kekalutan itu datang dan dirinya kehilangan akal, Cecille berlari menuju pantai, seolah laut adalah representasi atau simbol dari seorang ibu yang tidak dimilikinya semenjak ia kecil.

Semua peristiwa yang dialami Cecille tampak begitu nyata, dan menyentuh, menggemaskan, semua itu tersaji dengan wajar, tak ada kesan yang dilebih-lebihkan. Mungkin hal ini karena Sagan menghadirkan tokoh Cecille yang seumuran dengan dirinya sehingga Sagan tahu betul bagaimana perasaan seorang gadis remaja jika menghadapi situasi seperti yang dialami Cecille. Tentunya hal ini merupakan hal yang sangat luar biasa bagi seorang penulis yang masih berusia 18 tahun. Dan mungkin hal inilah juga yang membuat novel ini mengantar nama Sagan sebagai penulis terkenal di Perancis dan dunia.

Setelah Novel perdananya ini sukses dan menjadi best seller, Sagan terus berkarya dan sepanjang hidupnya ia telah menghasilkan puluhan novel, beberapa cerita pendek, naskah drama, biografi, lirik lagu, dll. Kebanyakan karya-karyanya menggambarkan karakter remaja yang kecewa seperti halnya karya-karya J.D. Salinger. Banyak dari novel-novelnya juga telah diadaptasi ke dalam film. Bonjour Tristesse sendiri telah beberapa kali ke dalam sebuah film antara lain yang diproduksi Columbia Picture pada tahun 1958 yang diperani oleh Deborah Kerr, David niven, Jean Seberg.

Pada tahun 1985, Sagan menerima penghargaan Prix De La Foundation dari Pangeran Pierre de Monaco untuk keseluruhan karyanya. Di Perancis sendiri, ia begitu terkenal sampai-sampai ketika Sagan meninggal di usianya yang ke 69 pada tahun 2004 lalu akibat penyakit paru-paru yang didieritanya. Presiden Perancis, Jaques Chirac mengatakan: \" Perancis kehilangan salah seorang penulisnya yang paling cemerlang dan peka, seorang sosok terkemuka dalam kehidupan sastra kita".

Mungkin nama Francoise Sagan di negara kita masih terasa asing dan hanya dikenal oleh mereka yang 'melek sastra'. Karenanya dengan terbitnya karya Sagan untuk pertama kalinya dalam bahasa Indonesia ini kita patut disyukuri karena dapat menambah wawasan pembaca Indonesia khususnya dalam hal sastra Peracis. Novel ini tampaknya diterjemahkan dengan sangat baik oleh Ken Nadya, penerjemah yang pernah belasan tahun tinggal di Perancis dan terbiasa menerjemahkan buku-buku dalam bahasa Perancis. Pilihan menerjemahkan judul "Bonjour Trisete" menjadi Lara Kusapa merupakan pilihan kalimat yang sagat baik karena terkesan indah dan liris, bandingkan dengan terjemahan inggrisnya yang menjadi "Hello, Sadness".

Satu hal yang mengganjal dari novel terjemahan ini adalah covernya. Saya rasa covernya yang menampilkan foto wajah seorang wanita, tampak terlalu sensual sehingga membuat calon pembaca menyangka bahwa ini adalah novel dengan kisah sensual. Padahal setelah saya membaca tamat novel ini, tak ada hal berlebihan dalam mengumbar deskrispi seks, walau memang ada, namun semua menyatu dalam kisahnya dan tak ada yang berlebihan. Mungkinkah ini hanyalah strategi marketing? Jika memang demikian, saya rasa penerbit terlalu berlebihan dalam mengemas sebuah novel klasik yang seharusnya bisa dikemas dengan lebih elegan namun menarik orang untuk membacanya.

@h_tanzil


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: