Rabu, 08 April 2009

[resensi buku] Taubatnya Mantan Bandit Ekonomi Dunia

M Iqbal Dawami, http://resensor. blogspot. com

John Perkins adalah penulis asal Amerika Serikat (AS) yang mengungkapkan korporatokrasi yaitu jaringan yang bertujuan memetik laba melalui cara-cara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.

Buku ini adalah buku keduanya, setelah Confessions of an Economic Hit Man (2004). Dan boleh dikata buku ini sebagai lanjutan dari buku pertamanya tersebut. Perkins menyebut dirinya sebagai bandit ekonomi (Economic Hit Man; EHM) yang bekerja di perusahaan konsultan MAIN yang bermarkas di Boston, AS.

Sebagaimana halnya buku pertamanya, buku keduanya juga merupakan sebentuk pengakuan dosa dan kesaksian seorang ekonom bayaran Amerika Serikat yang ditugasi untuk menciptakan ketergantungan ekonomi negara Dunia Ketiga dan terbelakang melalui politik utang kepada negara adikuasa.

Perkins menceritakan bagaimana profil seorang agen terselubung hasil rekrutmen National Security Agency (NSA), organisasi spionase Amerika yang paling sedikit diketahui tapi terbesar. Perkins dan teman-temannya berperan sebagai agen spionase terselubung. Mereka membuat economics forecast untuk suatu negara klien korporatokrasi. Dan tugas utama mereka adalah menerapkan kebijakan yang mempromosikan kepentingan korporatokrasi (koalisi bisnis dan politik antara pemerintah, perbankan, dan korporasi) Amerika sambil menyatakan minat mereka untuk mengurangi derajat kemiskinan di negara Dunia Ketiga yang kaya akan sumber daya alamnya, baik yang ada di Asia, Afrika, Timur Tengah, maupun Amerika Latin.

Bantuan utang luar negeri yang selama ini ditawarkan lembaga-lembaga donor seperti IMF dan World Bank telah dikondisikan agar negara penerima donor menjadi sangat bergantung pada negara penyokong donor. Negara pendonor akan berada di atas angin. Ia bebas mendiktekan kebijakan ekonomi dan menuntut ketaatan negara penerima bantuan. Salah satu diktenya adalah negara yang diberi donor tersebut diharuskan mengizinkan perusahaan-perusahaan global untuk membangun proyek-proyek yang menciptakan laba sangat besar untuk para kontraktornya dan memperkaya sekelompok kecil elite dari bangsa penerima utang luar negeri.

Dari situ dapat dipastikan bahwa yang menjadi tujuan pendonor dana adalah agar negara penerima utang memiliki kesetiaan politik untuk jangka panjang sampai kekayaan alamnya habis. Indonesia adalah korban pertama Perkins. Ia menyebutkan, Indonesia merupakan negeri kepulauan terbesar yang kaya sumber daya alam, khususnya minyak. Hal ini membuat pendulum—Amerika Serikat (AS)—berdenyut. Perkins kali pertama menginjakkan kakinya di Indonesia pada 1971 mengaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi seperangkat alat ampuh untuk membangkrutkan Indonesia.

Perkins membuat laporan fiktif untuk IMF atau Bank Dunia agar mengucurkan utang yang tak mampu dibayar oleh negara Indonesia. Setelah tersandera, Indonesia ditekan mendukung AS di DK PBB atau menjual ladang minyak ke MNC Barat. Aksi ini dilakukan Perkins dalam tiga bulan pertama sejak 1971 berada di Indonesia.

Ketergantungan pada pendonor dana semenjak masa Soeharto ternyata masih berlanjut hingga pemerintahan SBY. Di antaranya adalah kasus Paiton, blog Cepu, dan lain-lain. Pemerintah dibuat tidak berkutik menghadapi gempuran para korporator, lantaran sudah dijebak dengan utang. Dalam kasus lain bisa kita lihat pada saat terjadi tsunami di Aceh. Menurut Perkins, pemerintah Indonesia cepat-cepat mengambil keuntungan dari peristiwa ini. Pasukan baru diterbangkan dari kawasan Indonesia lainnya. Dalam hitungan bulan, mereka akan mendapat bantuan personel militer dan prajurit upahan dari AS, seperti Neil. Meskipun angkatan bersenjata memegang komando dengan dalih meringankan korban bencana, agenda terselubung mereka tak lain menumpas GAM.
November 2005, Washington mencabut embargo senjata dan melanjutkan hubungan penuh dengan militer Indonesia. Perkins melihat GAM lahir dari hasrat untuk merdeka dari pemerintah yang dianggap berlaku eksploitatif dalam urusan ekonomi dan menindas dengan brutal. Meski lingkungan dan budaya mereka rusak akibat tangan-tangan korporasi asing, keuntungan yang diterima rakyat Aceh hanya sedikit. Salah satu proyek sumber daya terbesar di Indonesia, fasilitas gas alam cair (LNG), berlokasi di Aceh. Namun hanya sedikit keuntungan LNG itu yang disalurkan ke sekolah, rumah sakit, dan investasi lokal lainnya untuk membantu rakyat Aceh sebagai pihak yang terkena dampak paling besar dari perusahaan itu.

Mirip dengan Indonesia, Perkins dan kawan-kawannya juga mengendalikan sejumlah peristiwa dramatis dalam sejarah, seperti kejatuhan Shah Iran, kematian Presiden Panama, Omar Torrijos, dan invasi militer Amerika ke Panama dan Irak. Namun, aksi kejahatannya seperti itu yang telah berlangsung bertahun-tahun membuat nuraninya terusik. Ia merasa dirinya kontradiktif. Pemanasan global benar-benar menyadarkan dirinya lebih dalam lagi untuk menyerang balik para pelaku korporasi, lantaran bumi secara perlahan telah habis dieksploitasi oleh mereka. Dalam bukunya ini, sekaligus yang membedakan dengan buku pertamanya, Perkins mengajak warga dunia memerangi korporatokrasi yang terbukti menjadi senjata penjajahan paling mutakhir untuk membangkrutkan sebuah negeri.

Pada bab terakhir, Perkins menawarkan berbagai solusi menghadapi kejahatan korporatokrasi, mulai dari hal terkecil hingga yang paling besar (lihat hlm. 443-445). Sungguh, membaca buku ini membuka kesadaran kita akan mafia bisnis perusahaan multinasional dalam merusak ekonomi suatu negara. Untuk itu, buku ini sangat layak dibaca bagi siapa pun yang menginginkan kesadaran akan keselamatan dunia. Di samping itu, pengemasan buku dan penyajian bahasanya yang naratif membuat pembaca terbantu untuk menuntaskan rasa ingin tahunya dan enggan berhenti di tengah jalan.***

M IQBAL DAWAMI
Staf pengajar STIS Magelang, tinggal di Yogyakarta


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: