Pipit Fiharsi, Kompasiana, 21 Maret 2010
Terorisme bukan sekedar kejahatan kemanusiaan tapi juga kejahatan terhadap Agama, karena para pelaku teror melakukannya atas dasar justifikasi agama. Para pelaku teror berpandangan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan perintah agama [islam]. Padahal faktanya teror itu malah semakin mencoreng wajah agama [Islam tentu saja].
Dalam novel ini Damien Dematra seperti yang disampaikannya tidak bermaksud untuk menggeneralisasi agama Islam apalagi mendiskreditkannya. Namun sebaliknya, untuk mengangkat originalitas hakekatnya, sekaligus membukakaan pikiran, bahwa penyimpangan dalam praktek-praktek agama tanpa terkecuali adalah sebuah fenomena yang bukan tidak mungkin terjadi dalam masyarakat.
Persoalan terorisme di Indonesia, menurut para pengamat amat terkait dengan ideologi yang dianut pelakunya. Seperti yang coba diungkap dalam novel ini tokoh utama Kemala, seorang gadis yang sejak kecil selalu berkawan air mata. Episode hidupnya yang gelap membuat dia semakin haus untuk mencari 'Tuhan'nya. Sampai akhirnya Kemala atas ajakan temannya bergabung dengan kelomopok kerohanian, dari sinilah petaka hidup Kemala semakin memuncak karena Kelompok kerohanian yang Kemala ikuti ternyata sekelompok Oknum yang biasa menjaring para pencari kebenaran yang lugu dan hal ini tak pernah Kemala sadari sebelumnya.
Persentuhan Kemala dengan Kelompok ini, membuatnya semakin meyakini bahwa satu-satunya Negara yang diridloi adalah Negara yang bersyari'at Islam dan selain itu adalah kafir [terlebih orang-orang barat] darahnya halal untuk dikucurkan. Keyakinan ini membuat Kemala rela menjadi pembom bunuh diri, menjadi Pengantin karena dia yakin ini adalah cara kematian yang suci.
Dan Kemala pun mendapatkan kesempatan untuk menjadi "pengantin", Misi pertama dan terakhirnya adalah membom kafe Bistro America. Ia pun menyamar menjadi penari di kafe itu untuk mempersiapkan misi sucinya.
Sayangnya misi Kemala ternyata sudah terendus intelijen. Prakasa, intel urusan terorisme, ditugaskan untuk menyelidiki rencana teror. Prakasa kemudian menyamar sebagai pelanggan setia klub malam dan berpura-pura akan "menyewa" si teroris cantik belia yang ada di sana: Kemala.
Prakasa adalah pemuda apatis dan dingin. Ia tidak kenal cinta. Namun pertemuan Prakasa dengan Kemala meledakan bom cinta jauh sebelum ledakan maut benar-benar terjadi. Kini dua insan yang berlawanan jenis sekaligus ideologi, dan harus memilih melaksanakan tugas atau hati.
Kemala akhirnya sadar bahwa pemahamannya selama ini telah dipelintir dan dimanfaatkan oleh kepentingan sekelompok orang tertentu dengan mengatasnamakan Islam. Setelah menjalani hukuman di penjara, Kemala dan Prakasa pun bersatu. Kemala semakin yakin bahwa sesungguhnya Islam adalah agama yang membawa kedamaian di dunia ini.
Tak ayal dalam beberapa bagian Novel ini pun mendapatkan kritikan seperti yang diungkapkanantara lain dari K.H M al Khaththath, Sekjen FUI, yang mengatakan bahwa novel ini cukup menarik, namun aroma propagandanya terasa dipaksakan.
memahaminya.Apapun itu kontroversi terhadap novel ini, saya yakin Pembaca semua tentu bisa dengan cerdas memahaminya. yang pasti novel ini memiliki pesan moral yang hendak disampaikan jangan pernah membajak Tuhan untuk membenarkan tindakan keji dan kejam [ seperti yang diucapkan oleh Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, guru bangsa dan mantan Ketua Umum Muhammadiyah]
Karena Islam adalah agama perdamaian dan kemanusiaan, Islam Rahmatan lil 'alamiin.
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar