Jumat, 03 April 2009

[resensi buku] Cinta Pertama yang Bikin “Gila”

Moh. Sidik Nugraha, Blog Catatan Miring

Dalam novel ini, Vladimir Nabokov tidak menghadirkan cinta melalui saluran fisik dan dalam bentuk vulgar nan erotis, tetapi menggunakan saluran elektrik atau kejiwaan. Oleh karena itu, jika pembaca perempuan penasaran bagaimana perasaan dan polah tingkah pasangannya ketika dilanda kerinduan, sosok Ganin cukup memberikan jawaban yang bisa dibilang mewakili lelaki pada umumnya.

Cinta pertama … hanya butuh satu kata untuk mengembalikan kenangan tentangnya. Mungkin bagi sebagian orang itu pengalaman biasa, tetapi sebagian yang lain merasakan hal sebaliknya. Tokoh utama dalam novel ini, Lev Glebovich Ganin, termasuk kelompok kedua. Dalam keadaan tak terduga dan menjengkelkan karena terjebak dalam lift yang gelap, Ganin tiba-tiba teringat kembali kepada perempuan yang menjadi cinta pertamanya ketika dia berkenalan dengan seorang teman sepondokan.

"…. Namaku jauh lebih sederhana dan nama istriku juga sederhana, Maria. Oh ya, perkenalkan namaku: Aleksey Ivanovich Alfyorof. Maaf, kurasa aku menginjak kakimu …" (Hal. 14)

Dengan mendengar nama "Maria" saja, Ganin langsung mengira istri temannya itu adalah perempuan yang dia cintai beberapa tahun lalu. Hati pemuda berumur 20-an itu menjadi tak karuan. Terlebih setelah dia mengetahui Maria akan berkunjung ke pondokannya enam hari lagi. Pemuda yang tadinya periang itu, kini lebih sering murung. Perubahan sikap Ganin digambarkan dalam sebuah alinea cukup panjang di halaman 25.

Kini bagai ada sesuatu yang hilang dari dirinya, bahkan jalannya agak terbungkuk dan mengeluh susah tidur. Dia mengalami malam yang buruk terutama mulai Minggu sampai Senin setelah peristiwa dia terperangkap bersama pria yang ceriwis itu dalam lift selama dua puluh menit. Senin pagi, saat ia lama duduk dalam keadaan telanjang bulat disanggah dua tangan yang dingin direntangkan di antara kedua kaki, ia terkejut mengingat hari sudah berganti lagi dan ia harus memakai kemeja, celana panjang, kaus kaki—semua benda yang menyerap keringat dan debu—dan dia membayangkan seekor anjing pudel sirkus yang air mukanya begitu menyedihkan, memprihatinkan karena harus didandani seperti manusia. Sebagian kemalasannya oleh keadaannya yang sedang menganggur. Dia tidak mempunyai pekerjaan tetap saat ini, sementara uangnya, uang yang ditabungnya sepanjang musim dingin lalu, tidak lebih dari dua ratus Mark, padahal tiga bulan terakhir ini biaya hidup semakin tinggi.

Gara-gara kenangan akan Maria itu, hubungan Ganin dengan pacar barunya yang bernama Lyudmilla Borisovna semakin renggang. Dipenuhi perasaan bosan dan malu, Ganin menangkap kelembutan yang palsu—kehangatan cinta yang dulu dirasakannya lenyap sudah—yang membuatnya harus mencium bibir pacarnya itu tanpa perasaan. Bahkan, suara hatinya semakin lantang berteriak menyuruhnya untuk segera menjauhi Lyudmilla. Akhirnya, mereka pun berpisah.

Di kamar pondokannya di Berlin, ingatan Ganin mundur beberapa tahun ke belakang. ketika dia berumur 16 dan baru sembuh dari sakit tifus di St Petersburg, Rusia tahun 1915. Siapa lagi kalau bukan Maria yang dia kenang dan bayangkan.

"Alis matanya indah dan selalu bergerak-gerak, keaslian yang menyiratkan kehangatan terutama di bagian pipinya. Lubang hidungnya yang mengembang setiap kali ia bicara, tertawa kecil-kecil saat mengisap air dari batang rumput. Gaya bicaranya cepat dan beraksen kental, dengan deru napasnya, dan lekukan lehernya yang menggetarkan." (hal. 110)

Dalam novel ini, Vladimir Nabokov tidak menghadirkan cinta melalui saluran fisik dan dalam bentuk vulgar nan erotis, tetapi menggunakan saluran elektrik atau kejiwaan. Oleh karena itu, jika pembaca perempuan penasaran bagaimana perasaan pasangannya ketika dilanda kerinduan, sosok Ganin cukup memberikan jawaban yang mewakili lelaki pada umumnya.

Ketika kenangan cinta menjadi duri yang menusuk-nusuk di hati dan meracuni sistem kerja otak kiri, dia merasa perjumpaan khayalannya dengan Maria dan perjumpaan sesungguhnya seperti saling berbaur dan menyatu, karena sebagai sesosok makhluk hidup, sosoknya merupakan khayalan yang tak pernah terputus.

"Transisi sederhana dari hasrat menjadi aksi sepertinya jadi satu keajaiban yang tak terjangkau." (hal. 43)

Pondokan

Jika diberi kesempatan oleh sang pengarang untuk mengusulkan judul selain Maria, saya akan menyodorkan kata "pondokan". Kehidupan di pondokan bergaya Rusia menjadi warna tersendiri bagi buku ini. Nabokov memotret sekelompok pendatang asal Rusia di Berlin pada 1924.

Pondokan berkamar enam di dekat rel kereta api—yang membuat Ganin merasa kamarnya seperti diterobos setiap kali kereta lewat—itu dimiliki oleh janda tua bernama Lydia Nikolaevna yang digambarkan sangat pelit dan merasakan semacam getaran kenikmatan sekaligus kebanggaan yang  bila berhasil menghemat seseuatu, yang terlihat jelas dari caranya mendistribusikan perabot-perabot usangnya.

Ganin tinggal bersama Aleksey Ivanovich Alfyorof (suami Maria), Klara gadis montok yang diam-diam naksir Ganin, Anton Sergeyevich Podtyagin (penyair tua yang berpenyakit jantung dan sangat ingin tinggal di Prancis), dan Gornotsvetov serta Kolin (penari balet). Mereka hijrah ke Berlin setelah Revolusi Rusia meledak pada 1917. Meskipun karakter mereka berseberangan, para perantau itu dipersatukan oleh rasa senasib sepenanggungan.

Novel ini memang tidak sepopuler Lolita, yang melambungkan nama Vladimir Nabokov. Namun, kehadirannya sebagai karya pertama tetap penting karena dari sini kita bisa melacak ciri khas Nabokov. Dia selalu berusaha melawan lupa dengan menceritakan kenangan atau memori, setidaknya itulah yang saya tangkap setelah membaca novel ini.***


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: