Sabtu, 04 April 2009

[resensi buku] Di Bawah Ketiak IMF

M Iqbal Dawami, Resensor.blogspot

Buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Jalan Baru Membangun Indonesia memang sangat luar biasa. Sejak terbit pertama kali (cetakan I, Januari 2008) respons pembaca teramat positif atas buku ini. Walhasil, tak lebih setahun, mengalami cetak ulang.

Buku yang sesungguhnya tidak ringan ini ternyata mampu menyadarkan masyarakat Indonesia akan permainan politik Indonesia di kancah dunia. Konkritnya, buku ini menyadarkan kita akan kelemahan struktural yang laten di bawah kepemimpinan lima Presiden Indonesia.

Lantas, apa sesungguhnya yang menjadi keistimewaan buku ini sehingga masyarakat meminta penerbitnya untuk mencetak ulang? Tak lain, lantaran buku ini \"menelanjangi\" kelemahan lima presiden Indonesia dalam mengelola bangsa Indonesia.

Penulisnya memotret semua perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam kurun 1997-2007. Menurut penulisnya, bahwa di tengah pertumbuhan ekonomi semasa Orde Baru, berbagai ketimpangan dan kerawanan di bidang ekonomi maupun sosial terjadi, meski di permukaan seolah baik-baik saja. Dan pasca-reformasi semua kerawanan itu terjadi. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah telah gagal dalam membangun perekonomian nasional. Kegagalan kelompok ekonom yang merumuskan arah pembangunan nasional selama 40 tahun, sekaligus telah mewariskan potensi sebagai sebuah negara yang gagal (failed state).

Akibat kegagalan itu, Indonesia batal tinggal landas meski Orde Baru telah tumbang. Padahal, pada 1967, negara-negara utama di Asia nyaris memiliki posisi yang hampir sama secara sosial dan ekonomi dengan Indonesia. Pada waktu itu, GNP per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan China nyaris sama yaitu kurang dari US$100 per kapita. Setelah lebih dari 40 tahun, GNP per kapita negara-negara tersebut pada 2004, Indonesia mencapai sekitar US$ 1.100, Malaysia US$4.520, Korea Selatan US$14.000, Thailand US$2.490, Taiwan US$14.590, dan China US$1.500.

Ishak Rafick menyimpulkan bahwa kemerosotan ekonomi Indonesia tak lain adalah akibat para penguasa yang mau-maunya meminta bantuan pada IMF (International Monetery Fund). Padahal bantuan IMF tak lain adalah ibarat duri dalam daging. Contohnya adalah utang para konglomerasi senilai Rp 600 triliun akibat restrukturisasi perbankan, yang kemudian diubah menjadi utang rakyat. Pemerintah kemudian menerima resep rekapitalisasi perbankan dari IMF. IMF kemudian memaksa pemerintah mengeluarkan obligasi senilai Rp 430 trilyun. Bersama bunganya obligasi rekapitalisasi itu kemudian bernilai Rp 600 trilyun. Langkah IMF kemudian memaksa pemerintah menjual bank-bank, salah satunya Bank BCA yang telah menelan dana pemerintah Rp 58 triliun dan pembelinya kemudiaan menikmati bunga obligasi rekap.

Menurut skenario awal, obligasi itu dipakai hanya sebagai instrumen yang bisa ditarik kembali bila bank-bank sudah sehat. Tapi, belakangan, setelah bank-bank sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak pemerintah menjual bank-bank tadi bersama obligasinya. Perkembangan selanjutnya, bank-bank itu dibeli asing. Dengan cara itu, pemerintah telah mengubah utang swasta menjadi utang publik yang baru di samping utang luar negeri senilai US$ 137 milyar. Walhasil, pemerintah menanggung semua kerugiannya. Dan IMF lepas tangan.

Menurut Rafik pemerintah Indonesia mudah sekali dipengaruhi oleh pandangan ortodoks dan neoliberal. Imbasnya, negara ini pun hanya memperjuangkan kepentingan segelintir elite, sedangkan rakyat diserahkan kepada belas kasihan mekanisme pasar (market mechanism). Dan jika negeri ini masih meminta belas kasihan kepada IMF, World Trade Organization (WTO), dan Wordl Bank (Bank Dunia), maka sesungguhnya kita telah menggali kuburan sendiri.

Sisi lain, dalam buku ini diungkap kasus-kasus bagaimana pihak IMF, asing, dan para kapitalis menguasai kekayaan yang menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak. Sebagai contoh, bagaimana SBY dengan mudahnya memberikan Blok Cepu ke tangan Exxon Mobil Corporation.

Beberapa negara membuktikan bahwa sebetulnya tanpa bantuan IMF mereka bisa memperbaiki ekonominya sendiri. Malaysia adalah salah satu contohnya. Saat krisis ekonomi melanda Asia pada 1997, Malaysia menolak resep IMF, karena pasti akan menimbulkan gejolak ekonomi dan politik di Malaysia. Hasilnya sangat menggembirakan. Ekonomi Malaysia tetap stabil. Bahkan lebih dari itu, pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja meningkat.

Ishak menyoroti sikap dan kebijakan-kebijakan yang diambil tim-tim ekonomi di bawah lima presiden: Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan terakhir Yudhoyono. Terutama dalam kaitan dengan IMF. Intinya sama: tim-tim ekonomi itu umumnya selalu tunduk pada kemauan IMF (kecuali masa Gus Dur). Dan itulah inti persoalan yang membuat kekisruhan ekonomi Indonesia seperti tak berkesudahan hingga kini.

Dalam korporatokrasi, kedaulatan tidak lagi berada di tangan rakyat, tapi di tangan berbagai perusahaan besar yang menguasai pasar. Suara rakyat hanya diperlukan menjelang pemilihan umum seperti saat ini. Untuk itu, buku ini menemukan relevansinya pada saat ini, karena bisa dijadikan referensi penting sebelum pemilihan calon legislatif dan calon presiden. Bukankah seekor rusa saja tak pernah masuk pada lobang yang sama, bagaimana dengan kita?

M Iqbal Dawami
Staf pengajar STIS Magelang, pegiat "Diskusi Ilmiah Dosen" Jum'at malam di UIN Sunan Kalijaga, tinggal di Jogjakarta


www.dinamikaebooks.com

0 komentar: