Selasa, 08 September 2009

[artikel dinamika] Hemingway

Jawa Pos, Minggu, 06 September 2009

ERNEST HEMINGWAY (1899-1961) merupakan pengarang cerita pendek, novel, dan roman Amerika paling menonjol pada zamannya. Riwayat hidupnya memuat juga sejumlah puisi, namun puisinya jarang dikenal di ranah sastra dunia. Hingga akhir 1925, hanya muncul sekitar 25 puisi, yakni puisi-puisi remaja angkatannya. Dr Hans Bastian dalam pengantar untuk buku Sämtliche Gedichte -kumpulan puisi Hemingway terbitan Rowohlt, Hamburg-Jerman- mencatat, selain ke-25 puisi tersebut, ada 70 puisi lagi yang ditemukan, berupa coret-coretan atau catatan di kertas-kertas buram yang agaknya disisihkan begitu saja oleh sang pengarang. Namun, semua itu perlu diperhatikan jika kita ingin mengenal pribadi Hemingway seutuhnya.

Tulisan ini mengacu pada sebuah berita di Jawa Pos (7 Januari 2009) perihal dibukanya akses digital elektronik berupa ribuan dokumen dan manuskrip pengarang ini di Kuba pada 6 Januari 2009. Peninggalan penting itu diduga berisi manuskrip Hemingway maupun foto-foto selama karirnya sebagai pengarang sekaligus wartawan Toronto Star Weekly di masa-masa Perang Dunia I dan II.

Revolusi Kuba yang dimenangi Fidel Castro dan mengakhiri kekuasaan rezim feodal Batista pada 1958 serta-merta menyebabkan peninggalan itu mengalami cekal dan disekap dalam simpanan selama setengah abad lebih di langit-langit bekas rumahnya di Havana. Termasuk dalam peninggalan tersebut adalah naskah untuk epilog novel tenarnya, For Whom the Bell Tolls (1940). Roman kisah perang saudara Spanyol ini merupakan karya puncak yang sangat efektif mengungkap ramuan antara politik, avontur, dan percintaan romantis seperti terlihat pada filmnya yang diperani Ingrid Bergmann dan Gary Cooper.

The Old Man And The Sea, cerita yang ditulisnya ketika dia tinggal di Kuba, menunjukkan kedekatannya kepada aliran (filsafat) eksistensialis (Jean-Paul Sartre, Albert Camus) yang sedang merebak di daratan Eropa.

Sebelum perang, Hemingway memang pernah tinggal di Kuba. Usai Perang Dunia II, dia kembali ke negeri itu sebagai reporter dan menekuni bakat serta kreativitas sastranya. Tentu sangat menarik bagi para peneliti karya pengarang Amerika jika akses tersebut di atas telah dikembangkan dalam bentuk digital elektronik dan bisa memberikan kemudahan kepada para peneliti asing. Siapa tahu jagat sastra dunia masih akan menemukan karya-karya Hemingway lebih lengkap daripada sebelumnya.

Beberapa data dalam tulisan ini disajikan berdasar literatur terbatas yang saya temukan di arsip lama.

Di ranah sastra dunia, siapa tak kenal Ernest Hemingway? Pada tahun lima puluhan abad silam, para penonton Indonesia pernah mengagumi film The Old Man and the Sea yang mengisi urutan pertama jajaran film Barat terbaik di gedung-gedung bioskop kota-kota besar kita. Itulah film kolosal berdasar karya novel Hemingway (1952) yang pernah mendapat hadiah Pulitzer tahun 1953, disusul hadiah Nobel tahun 1954. Namun, tak sedikit kritikus sastra dunia ketika itu yang menganggap roman For Whom The Bell Tolls (1940) sebagai karya roman terbaik Hemingway. Sejumlah cerpen Hemingway di kemudian hari menjadi klasik.

Dalam roman The Sun Also Rises (1926), karya besarnya yang pertama, dengan brilian Hemingway menarasikan rasa takut dan cemas the lost generation, generasi yang hilang: angkatan yang mengalami petaka Perang Dunia I. Tema-tema keberanian, kesetiaan, kejantanan, dan tak ketinggalan urusan kemanusiaan lelaki-perempuan, mengungkap watak figur-figur dalam karya-karya sastranya maupun pribadi Hemingway sendiri, dituangkan melalui pilihan kosakata yang lugas dan jelas, namun membentuk bahasa bersahaja.

Nama lengkap sebenarnya adalah Ernest Miller Hemingway, lahir 21 Juli 1899 sebagai putra kedua dari lima bersaudara yang dilahirkan pasangan suami-istri Clarence dan Grace Hall Hemingway di Oak Park/Illinois, AS.

Pada usia 19 tahun, Hemingway menjadi sopir sukarela sebuah organisasi sanitasi (palang merah) di front Eropa Selatan Perang Dunia I (Itali-Prancis-Jerman) di mana dia pernah mengalami luka-luka berat.

Kegiatan sastra Hemingway dimulai 1920, hampir bersamaan dengan karirnya sebagai wartawan koran Toronto Star Weekly. Dia pernah tinggal di Paris, kota yang ''''menjerumuskannya'''' ke kancah kesusastraan. Tahun 1923, di kota Pamplona, Spanyol, Hemingway mulai mengenal dan mengagumi petarung banteng (torero) yang sering dituangkannya dalam beberapa cerpen dan puisi.

Kumpulan pertama cerpen Hemingway terbit pada 1925 berjudul In Our Times berisi 32 cerpen: sebuah karya literer dengan acuan perasaan rumit-berbelit melalui bahasa padat penuh pengungkapan.

Dalam bahasa Jerman, pada 1927 terbit karyanya Männer Ohne Frauen (Men Without Women), berisi 14 cerpen dengan tema perang, sport, dan peristiwa-peristiwa menyangkut hubungan lelaki-perempuan. Adu banteng dan torero baginya memiliki arti tersendiri karena di sana diuji kejantanan lelaki.

Pada 1928, tahun ketika Patrick, putra keduanya lahir, Hemingway cerai dari istri pertamanya dan menikah untuk kali kedua dengan perempuan lain. Celakanya, ayah pengarang ini, Clarence Hemingway, pada tahun itu juga mati bunuh diri. Tak lama kemudian, terbit bukunya, A Farewell to Arms, menarasikan tema percintaan yang berakhir kepedihan selama Perang Dunia I.

The Snow of Kilimanjaro (1936) merekam tema Afrika ketika pengarang itu bersama istri untuk kali pertama ambil bagian dalam safari di Afrika. Pada 1938, Hemingway menggarap karya teaternya, The Fifth Columne, Kolone Kelima. Tahun berikutnya (1939), dia pergi ke Kuba. Di sana dia menyiapkan roman For Whom the Bell Tolls berdasar pengalamannya dalam perang saudara di Spanyol.

Pada 1940, Hemingway cerai dari istri kedua, tapi tahun itu juga menikah dengan istri ketiga, Martha Gellhorn. Pada 1943, suami-istri itu berada di kancah Perang Dunia II, entah di mana. Belakangan keempat romannya diterbitkan dalam satu kumpulan berisi Across the River and into the Trees, The Old Man and the Sea, Islands in the Stream dan The Garden of Eden.

Agaknya, Hemingway tidak terlalu berbahagia dalam perkawinan. Pada 1945, dia cerai pula dari Martha, istri ketiga, lalu pergi ke Havana bersama Mary Welsh, istri keempatnya.

Pada 1959, muncul karyanya The Dangerous Summer. Terakhir Hemingway pergi ke Spanyol pada 1959: kerinduan yang tak tertahankan baginya kepada negeri terero itu. Setahun kemudian, beberapa kali dia mengalami depressi, mengidap alkohol berat, dirawat dengan terapi elektroschock di rumah sakit. Pada 1961, kondisi psikisnya menurun drastis, beberapa kali mencoba bunuh diri. Akhirnya, pada 2 Juli tahun itu, Ernest Hemingway bunuh diri dengan senapan berburu di rumahnya, di Ketchum, Ideho, AS. Tak beda dengan apa yang dilakukan ayahnya, Clarence Hemingway, pada 1928. (*)

*) Soeprijadi Tomodihardjo, pengarang cerpen, tinggal di Jerman


www.mediabuku.com

0 komentar: