Minggu, 06 September 2009

[resensi buku] Membayangkan Bumi Tanpa Kengerian

Ruang Baca Koran Tempo, 31 Agustus 2009

Bumi kian tua dan sarat beban. Manusia yang berbiak pesat, merambah dan mengeksploitasi seluruh permukaannya. Miliaran mulut yang harus dihidupi, diberi pangan, sandang, dan papan, perlahan tapi pasti mendegradasi bumi dan penghuninya yang lain.

Kemerosotan itu dipercepat dengan aneka temuan hasil kecerdasan homo sapiens. Mula-mula metal dan mineral, lalu minyak, gas, plastik, freon (material berbentuk gas yang umum digunakan untuk pendingin), rekayasa genetik tumbuhan dan hewan, pestisida, hingga nuklir.

Kurang dari 200 tahun, bumi yang disesaki manusia dan aneka rupa produk kecerdasan dan kreativitasnya, kian tak ramah --bahkan bagi manusia sendiri. Sejumlah besar tumbuhan dan hewan lenyap, aneka rupa polusi --tanah, udara, cahaya, dan bunyi --mengubah keseimbangannya. Iklim kian sulit diprediksi, es di Kutub Utara, Selatan, dan puncak-puncak gunung meleleh; badai, banjir, tsunami, dan kekeringan datang bergelombang; dan ozon yang menjadi pelindung dari paparan aneka sinar matahari berbahaya, bolong mengangga.

Para ilmuwan bersigegas "meneriakkan" peringatan: bila kesemena-menaan manusia diteruskan, bencana tak terhentikan bakal meluluh-lantakkan bumi. Peringatan itu sungguh mengguncang. Termasuk yang datang dari mereka yang bukan ilmuwan sekalipun. Membaca, misalnya, Earth in The Balance: Ecology and The Human Spirit (Houghton Mifflin, 1992) yang ditulis mantan wakil presiden Amerika Serikat 1993-2001, Al Gore, mau tidak mau kita akan dihenyak fakta-fakta populer bahwa manusia bisa menjadi berkah sekaligus bahaya bagi planet yang dihuninya.

Al Gore yang dianugerahi Nobel pada 2007 (bersama Intergovernmental Panel on Climate Change) mempertegas betapa berbahayanya ulah manusia lewat In Inconvenient Truth: The Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do About It (Rodale Press, 2006). Buku yang dirilis bersama film dokumenternya, An Inconvenient Truth --yang juga menyabet Oscar pada 2006 --ini bahkan membawa tren global baru: isu perubahan iklim (climate change) dan keberlangsung kehidupan di muka bumi.

Apa yang bisa dilakukan manusia? Kita, menurut kolumnis The New York Times peraih tiga Pulitzer, Thomas L. Friedman, di buku terbaru, Hot, Flat, and Crowded (Penguin Books, 2008), memerlukan revolusi hijau dan merumuskan kembali masa depan global bersama-sama. Dengan kata lain, bila umat manusia tak kembali pada keseimbangan alam yang tertata dan terencana, masa depan --bila itu ada --tak lebih dari kengerian.

Pendeknya, tak ada yang menolak bahwa manusia dengan segala daya upaya mesti menyelamatkan bumi dan seisinya, agar dia juga terselamatkan. Tapi, bagaimana bila entah dengan sebab tertentu --bencana alam tak terperih atau akibat virus pemusnah maha ganas yang menyebar cepat --manusia tiba-tiba menghilang dari muka bumi? Apa yang akan terjadi?

Berbeda dengan kebanyakan buku yang mengupas tentang degradasi bumi dan manusia mesti berperan jadi penyelemat, Dunia Tanpa Manusia (Gramedia Pustaka Utama, 2009) yang ditulis Alan Weisman ini justru menuju arah sebaliknya. Diterjemahkan dari World Without Us (St. Martin's Thomas Dunne Books, 2007), buku ini adalah pengembangan dari esai berjudul Earth Without People yang dipublikasi di Majalah Discover, Februari 2005.

Weisman sesungguhnya tidak benar-benar berbeda dengan kebanyakan mereka yang peduli dan khawatir dengan nasib bumi dan tingkah pola manusia. Gambaran bagaimana bila planet ini mendadak kehilangan penghuni utamanya yang paling cerdas dan dominan, justru dia telusuri dari tata cara hidup kuno hingga pencapaian teknologi tinggi yang membawa manusia memasuki era yang disebut modern.

Dimulai dari dusun kecil di pedalaman Ekuador, Rio Conambu, yang terus digerus gaya hidup modern, Weisman mengajak kita menjelajahi kearifan alam dan potensi bencana serta kehancuran yang tersimpan di balik upaya manusia terus-menerus mengejar kenyamanan, kemudahan, dan kemakmuran.

Bahwa di balik gemerlap dan megahnya New York, air yang berpuluh tahun dikendalikan dengan teknologi, kecermatan, dan disiplin tinggi, bisa setiap saat mengembalikan kota ini ke zaman sebelum manusia mulai merambah dan mengubah bentangnya. Sama halnya dengan Terusan Panama, salah satu maha karya manusia, yang hanya perlu sedikit kelegahan akan berubah dari berkah perabadan menjadi bencana ekologi.

Namun, bencana sebagai ancaman bagi manusia justru bisa menjadi berkah bagi alam. Perang saudara di Siprus, misalnya, justru membawa kawasan Varosha kembali ke keseimbangan ekologi. Demikian pula dengan pertikaian Korea Selatan dan Korea Utara yang menciptakan zona bebas militer di mana flora dan fauna yang terancam punah menemukan "rumah aman", termasuk bagi lambang nasional Korea yang telah digolongkan sebagai salah satu jenis burung paling langka di muka bumi: bangau bermahkota merah. Atau burung-burung yang kembali bersarang di sekitar Chernobyl, kurang setahun setelah salah satu reaktor nuklir di kawasan ini meledak dan mengkontaminasi area sekitar.

Dan, memang, dibanding bencana karena sebab alamiah (letusan gunung berapi atau gempa bumi), kemampuan manusia menciptakan bencana atau potensinya --sengaja atau tidak --sungguh luar biasa. Selain nuklir, plastik dan pestisida adalah temuan yang memberikan sumbangan luar biasa bagi kehidupan manusia; sekaligus bencana bagi alam dan penghuninya.

Plastik dengan ketahanannya terhadap penguraian alamiah, serta pestisida yang terakumulasi, urai Weisman, telah menjadi pencemar yang merasuk hingga ke skala sangat berbahaya di abad ke-21 ini. Yang lebih mengerikan lagi, akibatnya tidak langsung terasa, melainkan perlahan-lahan dan tanpa sadar mencekik seluruh sendi kehidupan di muka bumi.

Lalu apa yang akan terjadi dengan seluruh "horor" buah kecerdasan dan kreativitas manusia itu? Inilah kabar baiknya. Weisman mencontohkan, bila manusia mendadak lenyap dari muka bumi, mesin-mesin pompa dan proses pemompaan yang kehilangan kontrol, segera membuat jaringan kereta bawah tanah (subway) di seantero New York terendam air. Di hari ketujuh pasokan bahan bakar generator cadangan yang menggerakkan air pendingin inti reaktor nuklir di seluruh dunia mulai berhenti. Tanpa pendinginan, inti memanas dan meleleh tak terkendali, meledakkan reaktor, menyemburkan maut dan kontaminasi ke segala penjuru.

Setahun setelah manusia tak ada lagi, matinya lampu-lampu penanda menara komunikasi dan "mendinginnya" jaringan kabel berhasil menyelamatkan jutaan burung --yang tewas akibat menabrak menara atau bertengger di kabel beraliran listrik --dari kematian sia-sia. Di saat bersamaan, hewan-hewan mulai menghuni kembali situs-situs reaktor nuklir yang sebelumnya meleleh atau terbakar habis. Di tahun ketiga pipa-pipa akan meledak, bangunan lapuk, sambungan-sambungan baja berlepasan. Tanpa hunian yang hangat, kecoak di kota-kota dengan empat musim mulai punah setelah satu atau dua musim salju.

Waktu terus berjalan, menggerus peninggalan manusia, hingga di tahun ke-250.000 di mana plutonium yang terlepas karena korosi mengelupas selubung metalnya, tak berjejak lagi. Tapi masih dibutuhkan ratusan ribu tahun lagi hingga ada mikroba yang akhirnya bisa mengurai plastik warisan kita.

Apa yang dibayangkan Weisman, yang juga penulis Gaviotas: A Village to Reinvent the World (1998), An Echo In My Blood (1999), La Frontera: The United States Border With Mexico, dan We, Immortals (1979), memang hampir mustahil terjadi. Tapi kalau pun itu terjadi, kita tahu planet ini bakal jadi surga bagi penghuninya, apa dan siapa pun itu.

Katamsi Ginano, praktisi komunikasi dan business development, juga pecinta buku


www.mediabuku.com

0 komentar: