Ruang Baca Koran Tempo, 31 Agustus 2009
Karya-karya fiksi tentang terorisme bunuh diri mudah ditemukan di toko-toko buku kita. Membantu melampaui fakta-fakta, seraya merenungkan kemungkinan-kemungkinan baru.
Hampir tiap hari kita dicekoki berita tentang aksi-aksi terorisme bunuh diri. Umumnya dari luar negeri (Irak, Pakistan, Afganistan, dan lainnya, sesekali London atau Madrid). Tapi juga dari dalam negeri, seperti yang terjadi di Jakarta 17 Juli lalu.
Anda muak? Saya, terus terang, ya. Apalagi ada stasiun teve yang seperti hendak menjadikannya semacam reality show. Menyaksikannya, saya seperti mau muntah!
Untungnya, kini saya bisa menghibur diri (sambil menambah wawasan dong) dengan membaca bagaimana aksi-aksi terorisme bunuh diri itu difiksikan dalam novel. Ini bukan karena saya suka aksi-aksi itu. Tapi karena saya mau lebih tahu mengapa orang-orang rela melakukannya.
Untuk itu, ternyata fiksi bisa banyak membantu. Beda dari reportase media yang serba singkat dan kadang sensasional, atau karya kesarjanaan yang umumnya kaku dan kering, fiksi memberi gambaran tentang peristiwa secara lebih utuh dan bernuansa. Tentu ada dramatisasinya juga (namanya saja fiksi!). Tergantung pada kepiawaian penulisnya, kita bisa jatuh cinta pada tokohnya, atau minta ampun membencinya, karena kita merasa lebih mengenalnya.
Tapi, begitu mungkin Anda protes, fiksi bukan fakta. Itu betul. Namun, "seliar" apa pun, fiksi tidak sepenuhnya bisa lepas dari fakta. Inilah yang kita pelajari, misalnya, dari karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Kata Pram, fiksi adalah hilir dari arus imajinasi yang bermuasal dari fakta di hulu. Pada tetralogi Pram, Minke bermula dari Tirto Adhie Suryo.
Bagusnya lagi, karena orang lebih suka baca karya-karya fiksi ketimbang buku-buku "kering" tentang fakta, peluangnya untuk dibaca lebih besar. Ini tentu baik buat pembaca dan pengarang!
II
Nah, beberapa tahun belakangan ini, karya-karya fiksi tentang terorisme bunuh diri mudah ditemukan di toko-toko buku kita. Ini kecenderungan dunia juga, sejalan dengan "naiknya" pamor aksi-aksi itu. Sayang, di kita umumnya karya-karya terjemahan, sekalipun kualitasnya okay punya!
Misalnya Di balik Keheningan Salju (Serambi, 2008), oleh Orhan Pamuk, peraih Nobel asal Turki itu. Alur besarnya lebih tentang pergulatan antara fundamentalisme Islam dan sekularisme di Kar, satu kota kecil di Turki. Aksi terorisme bunuh diri menjadi bagiannya. Saya menyukainya antara lain karena para fundamentalis militan digambarkan sangat manusiawi di situ: suka ngibul, memanfaatkan agama untuk duit dan perempuan, wawasannya cetek tapi sok pintar. Asyiknya lagi: para pelaku bunuh diri di sini umumnya perempuan (emansipasi dong!). Mereka antara lain tersedot kharisma Si Blue, otak Islam militan bermata biru yang karismatis dan dengan aura seksual tak tertolak.
Contoh lainnya karya Mohsin Hamid, Lelaki yang Terbuang (Mizan, 2008). Ini cerita tentang terpuruknya nasib Changez, pemuda muslim asal Pakistan di AS, pasca-September 11. Sesudah memperoleh beasiswa dan lulus dari Princeton, dia kerja dengan gaji besar di sebuah firma hukum di New York. Tapi tiba-tiba roda nasibnya berputar 180 derajat: sakit-keras pacarnya yang Kristen, di tengah meningkatnya sentimen anti-Islam, membuat prioritasnya terganggu, rencananya buyar, dan dia dipecat! Tapi saya kurang menyukai novel ini karena saya tak mengerti mengapa Changez menjadi marah besar pada AS, dan ingin menghancurkannya, sekalipun "Setan Besar" itu tak berbuat apa-apa yang menyebabkan keterpurukannya. Pikir saya: sesudah apa yang disediakan negara itu untuk pertumbuhannya sebagai pribadi, dia sedikitnya perlu berterimakasih pada AS.
Masih ada beberapa karya lain lagi. Tapi dua yang menjadi favorit saya adalah Terrorist (Alvabet, 2007) dan The Attack (Alvabet, 2008), oleh John Updike dan Yasmina Khadra. Kebetulan, di dunia, dua karya inilah yang paling sering disebut ketika orang bicara tentang fiksi terorisme bunuh diri.
Updike adalah pengarang terkenal AS. Novel di atas ditulisnya karena dia terguncang oleh peristiwa September 11. Di situ dia bercerita tentang rencana pemboman terowongan di Washington yang gagal. (Calon) pelakunya Ahmad, remaja muslim yang tumbuh dalam keluarga broken home. Dia dibesarkan ibunya, Yahudi warga AS, yang tanpa alasan jelas ditinggalkan suaminya, seorang laki-laki Mesir.
Khadra tak semenonjol Updike. Tapi pengarang Aljazair itu sedang meningkat reputasinya, khususnya di Eropa. Novelnya adalah cerita memilukan tentang Sihem, istri seorang dokter mapan keturunan Arab yang sudah menjadi warganegara Israel, yang rela menghancurkan tubuhnya dalam aksi bom bunuh diri di sebuah restoran di Israel. Selain memakan 20 korban, termasuk 11 anak kecil yang sedang pesta ulang tahun, aksi itu juga telah mengubur idaman lama Sihem dan suaminya tentang hidup yang nikmat dan beradab (anggur, musik, pertemanan lintasagama), di sebuah perkampungan elite di Israel.
III
Apa yang mendorong niat Ahmad dan aksi Sihem? Mereka ingin merebut kembali kedaulatan bangsa mereka, Palestina dan Arab, yang mereka pandang terus digerogoti kekuatan asing --di sini AS dan Israel. Mereka adalah ujung tombak dari jaringan organisasi lebih besar, yang, karena tak mungkin mengalahkan AS dan Israel dalam perang biasa, menjadikan tubuh mereka sebagai senjata.
Dalam studi-studi ilmiah tentang terorisme bunuh diri, ini motif yang diakui cukup menonjol. Jadi bukan ideologi Islam militan yang menjadi faktor utama aksi itu, tapi perjuangan mengusir agresor. Dalam bahasa Robert Pape (dalam Dying to Win, 2005), ilmuwan politik yang paling sistematis mempelajari terorisme bunuh diri di dunia, tubuh mereka menjadi weapons of the weak, senjata mematikan si lemah lawan si kuat.
Dalam The Attack, motif itu dinyatakan Khadra lewat surat pendek Sihem kepada Amin, suaminya, yang diposkan beberapa saat sebelum ia pergi meledakkan diri. Setelah menyinggung soal kebahagiaan mereka yang belum lengkap karena mereka belum juga punya anak, Sihem menulis: "Tapi tak ada anak yang benar-benar aman jika dia tak punya negara."
Bagi saya, surat inilah tokoh utama The Attack. Pertama, ia seperti menjadi "juru bicara" Sihem, yang meledakkan diri di awal novel dan hanya diceritakan in absentia di sisanya. Tapi, yang lebih penting, pesan surat itu menjadi tema pokok seluruh cerita novel, khususnya obsesi Amin untuk memahami alasan Sihem dan jaringan teroris yang membantunya. Pesan itu juga terus menghantui kesadaran kawan-kawan dekatnya, juga tentara Israel, yang memandang aksi Sihem sebagai sesuatu yang tak terbayangkan. Ya, si naif, atau pemberani, Sihem itu: ibu muda kaya, tak taat beragama, bergaul dekat dengan banyak Yahudi dan Nasrani dan lainnya --terlibat jaringan teroris, membunuh anak-anak, untuk Palestina?
Dalam Terrorist, motif politik di atas hanya tampil samar-samar. Mungkin karena kejadiannya di AS, yang jauh dari tempat di mana kedaulatan kaum muslim sehari-hari digerogoti. Atau mungkin juga karena Updike tidak mau menonjolkannya. Dia tampak lebih menekankan kuatnya alasan keagamaan yang mendorong niat Ahmad, yang digambarkan mengaji kepada seorang ustad fundamentalis asal Yaman, tiga kali seminggu.
Walau mengagumi ketelitiannya dalam mengungkap doktrin-doktrin Islam radikal (New York Timesmenyebutkan, dan saya setuju, paparan teologis Updike benar-benar pas!), secara keseluruhan narasinya tak saya nikmati benar. Dari sisi ini, motif, fiksi Updike terlalu jauh dari fakta yang saya kenal.
Tapi deskripsi Updike mengenai lingkungan di mana Ahmad tumbuh, sebuah kantong yang disebut Little Egypt di New Jersey, sebuah kota di Negara Bagian New York, amat kaya, hidup, dan meyakinkan. Dia saya duga sudah membaca Oliver Roy, yang dalam Globalized Islam (2003) mengungkap peran sentral bagian kota ini dalam pertumbuhan generasi kedua jaringan teroris al-Qaeda di AS. Di situlah imigran asal Mesir, negara paling maju dalam memproduksi organisasi Islam radikal, berkumpul dan bibit-bibit terorisme ditanam dan disemai.
Dengan lincah Updike juga menyertakan sisi-sisi gelap, bahkan kriminal, dalam hidup kaum teroris muslim yang sering mendaku paling taat itu. Ada Charlie, misalnya, yang merekrut Ahmad dan sering bicara tentang kesyahidan, tetapi sebenarnya seorang bayaran CIA. Ahmad sendiri ditampilkan munafik: sementara percaya bahwa jihad itu wajib (karena "kaum muslim dijajah" dan "kami harus menentang kezaliman," dan "di surga sudah menanti 72 bidadari"), dia suka melirik dada Joryleen, cewek Hispanik temannya di SMA, dan belakangan sempat bercinta dengannya di luar nikah.
Dari segi ini, The Attack adalah sebuah bacaan yang muram. Setelah Sihem "dibunuh" di awal novel, yang mengakibatkan banyak kematian lainnya, kita dihadapkan kepada matinya banyak harapan dan impian, satu demi satu. Karier Amin habis. Kampung keluarga Sihem dibuldoser tank-tank Israel. Sementara itu, aksi Sihem mengikis optimisme kawan-kawannya dan mereka yang mau melihat konflik Israel-Palestina berakhir damai.
Demokrasi Israel, yang sering disebut "oase" di tengah gurun otoritarianisme Timur Tengah, juga digambarkan kelam. Setelah Sihem menuntun kita kepada cacat demokrasi itu dari kacamatanya yang pro-Palestina, kita menemukan cacat lainnya di Israel sendiri. Itu tampak, misalnya, dalam perlakuan warga terhadap Amin: sekalipun warganegara Israel dan dokter terkenal, ia tetap saja seorang Arab yang berkali-kali dicurigai; seorang korban bom Sihem bahkan lebih rela mati daripada diobati Amin.
Untungnya, Khadra memberi kita seorang perempuan sebagai hero. Lepas dari kita setuju atau tidak dengan aksinya, Sihem di sini bukanlah wakil Islam radikal, melainkan seorang pemberani, berdedikasi. Dia mencintai bukan saja suami dan teman-temannya, tapi juga kemanusiaan. Ini tidak ada presedennya.
IV
Fiksi bukan fakta. Di situ terletak keterbatasan karya-karya ini. Tapi di sana juga terletak kelebihannya. Dengannya kita bisa melampaui fakta-fakta, seraya merenungkan kemungkinan-kemungkinan baru.
Salah satu contohnya diberikan Updike. Di ujung novelnya, ia mempertemukan Ahmad, yang sedang meluncur dengan mobil berisi bom, dengan Jack Levy, si Yahudi yang sekaligus gurunya di sekolah dan teman kumpul kebo ibunya di rumah, yang menyetopnya tiba-tiba di tengah jalan menuju Washington.
Di mobil mereka diskusi tentang Sayyid Qutub, konsep jahiliyah, dan alasan terorisme. Kata Ahmad: "Apakah Anda pernah membaca tentang Sayyid Qutub...? Dia datang ke AS 50 tahun lalu dan harus menghadapi diskriminasi rasial dan kecerobohan tindakan seks bebas. Dia menyimpulkan, tak ada masyarakat yang lebih jauh dari Tuhan daripada masyarakat AS. Tapi jahiliyah... juga meluas ke sebagian besar muslim di dunia." Jack menjawab: "Kedengarannya bijak. Aku akan menempatkan Beliau sebagai bacaan pilihan, jika aku tetap hidup. Aku telah menandatangani kontrak untuk mengajar kewarganegaraan semester ini."
Saya sulit membayangkan bagaimana obrolan di atas terjadi lima menit sebelum bom di mobil Ahmad meledak, kecuali dia mematikan timer-nya. Tapi dengan obrolan itulah Updike menyelamatkan Ahmad dan Jack dari kematian, dan kemanusiaan dari terorisme.
Kita tidak perlu gusar dengan imajinasi Updike yang kurang masuk akal itu. Mari kita nikmati saja, sambil belajar sesuatu darinya. Misalnya dengan melakukan dialog seperti di atas di dalam kelas, bukan di mobil dengan bom yang mau meledak.
Sementara itu, sambil menikmati karya-karya ini sebelum bedug magrib tiba, mari kita berdoa semoga karya-karya sejenis bisa segera lahir dari para penulis fiksi kita. Bukankah Indonesia ladang yang cukup subur untuk itu?
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar