Koran Tempo, 31 Agustus 2009
Bagi kalangan awam, pengakuan kemerdekaan Indonesia merupakan buah perjuangan para pahlawan, baik melalui perjuangan fisik maupun melalui jalur diplomatik. Namun di sebagian kalangan lain terdapat mitos tak terhapus bahwa setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, pemerintah Amerika Serikat segera menyatakan dukungan politiknya terhadap Republik Indonesia yang baru berdiri. Hal ini malah dikemukakan secara resmi oleh Presiden Bill Clinton dalam ucapan selamatnya saat peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka (1995).
Mitos itu terus dipercaya di Belanda; banyak orang Belanda masih berpikir bahwa bantuan Amerika terhadap kemerdekaan Indonesia pada 1945-1946 sangatlah besar dan Indonesia tak akan mampu merdeka tanpa peran Amerika. Bagaimana faktanya?
Melalui bukunya ini, Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg mencoba kritis terhadap pendapat umum yang telah menjadi mitos itu. Secara terstruktur, Gouda membagi bukunya ini ke dalam sembilan bab yang dimulai dari tinjauan umum dan berlanjut dengan pembahasan sejarah yang makin khusus. Kedua bab pertama dipusatkan pada kurun 1945-1949. Bab pertama menyajikan pandangan umum atas kebijakan luar negeri Amerika sehubungan dengan Republik Indonesia dan sekutunya, Belanda, setelah berakhirnya Perang Dunia II. Bab kedua menelaah cara-cara dan usaha kaum nasionalis Indonesia dan politikus Belanda merebut simpati Amerika untuk tujuan masing-masing.
Sadar akan kuatnya posisi Amerika dalam hubungan internasional pasca-Perang Dunia II, para tokoh politik Indonesia mencoba segala usaha untuk menarik simpati Amerika agar mendukung kemerdekaan Indonesia. Salah satu usaha yang dilakukan adalah mengutus beberapa perwakilan ke Amerika. Salah seorang di antaranya adalah Sudarpo Sstrosatomo, pemuda berumur dua puluhan berpendidikan tinggi yang pada 1949 ditugaskan untuk menjadi atase pers di New York.
Sudarpo membandingkan revolusi kemerdekaan Indonesia dengan revolusi Amerika melalui makalah berjudul "It's 1776 in Indonesia" dan menyebarkannya kepada para wartawan, pejabat publik Amerika, dan perwakilan internasional di PBB. Perbandingan itu memang terlalu dipaksakan, namun makalahnya cukup menarik perhatian pejabat publik Amerika yang memang selalu mengagung-agungkan deklarasi kemerdekaan Amerika pada 1776.
Di dalam negeri, para pemuda nasionalis melakukan aksi coret-coret di spanduk dan tembok-tembok kota dalam bahasa Inggris; mereka mengutip kalimat-kalimat pidato tokoh kemerdekaan Amerika seperti Jefferson, Lincoln, dan lain-lain. Mereka berharap coret-coretan itu bisa menarik simpati pasukan Amerika di Indonesia.
Tak hanya itu. Pemerintah Indonesia juga menerbitkan seri perangko bergambar arsitek utama Republik Indonesia yang disandingkan dengan para tokoh kemerdekaan Amerika, antara lain perangko bergambar George Washington berada di belakang gambar Soekarno, Hatta bersanding dengan Abraham Lincoln, dan Sjahrir yang bersanding dengan Thomas Jefferson.
Bab ketiga buku ini memusatkan perhatian pada masa 1938-1945, periode ketika penilaian Amerika atas pemerintahan kolonial Belanda mencapai keseimbangan. Selain itu, kenyataan agresi Jepang di Asia membuat para pembuat kebijakan Amerika mengakui nilai strategis dan ekonomis Indonesia.
Bab keempat dan kelima memeriksa atmosfer sosial, budaya, politik, serta tindakan pemerintahan di Indonesia dan Amerika pasca-Perang Dunia II. Saat itu Perang Dingin mulai mempengaruhi perspektif para pembuat kebijakan di Washington dan Den Haag, sementara para pejabat Republik Indonesia mencoba mencari jalan tengah antara perseteruan blok Barat dan Soviet yang mulai tumbuh.
Di Bab keenam, buku ini menganalisis peran pasukan SEAC (South East Asia Comand, Komando Asia Tenggara) di bawah pimpinan Louis Mountbatten di Jawa dan Sumatera pada 1945-1946, juga kertelibatan Partai Buruh Australia dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini berbarengan dengan dimulainya perundingan-perundingan diplomatis yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda yang berbuahkan perjanjian rapuh Linggarjati pada Maret 1947.
Beberapa bulan setelah perjanjian itu Belanda melakukan agersi militer. Kejadian ini memicu munculnya resolusi Dewan Keamanan PBB, sehingga menandai permulaan keterlibatan resmi Amerika dalam Komite Jasa Baik (Good Offices Commite, GOC) untuk menyelesaikan konflik Belanda-Indonesia. Hal ini kemudian dianjutkan dalam bab ketujuh yang memusatkan bahasan pada upaya-upaya Komisi Jasa Baik (GOC) yang dimotori Amerika yang berujung pada perjanjian Renvillle yang menguntungkan pihak Belanda.
Dari bahasan di tujuh bab, terlihat secara jelas bahwa Amerika sendiri masih gamang dan belum menentukan sikap yang jelas terhadap dukungannya pada kemerdekaan Indonesia. Hal ini berbeda dengan pendapat umum masyarakat Amerika yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Keraguan pihak Amerika semakin bertambah dengan kekhawatiran Indonesia yang akan menjadi negara komunis karena beberapa tokoh-tokoh revolusioner Indonesia seperti Amir Sjarifuddin, Muso, dan lain-lain merupakan tokoh berhaluan kiri.
Pada akhirnya, bab kedelapan dan kesembilan, Gouda menganalisis pergolakan di Indonesia pada 1948 yang berpuncak pada pemberontakan PKI di Madiun. Pada 1947, kabinet Amir Sjarifuddin mengikutsertakan partai-partai beraliran kiri, dan membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet yang telah mengakui kemerdekaan Indonesia secara de jure.
Tentu kiprah Amir Sjarifuddin membuat Amerika khawatir Indonesia akan menjadi negara yang ke kiri-kirian. Untunglah pada akhir Januari 1948, setelah Amir Sjarifuddin berhenti dari jabatan Perdana Menteri, kabinet Hatta yang menggantikannya tidak mengikutsertakan wakil-wakil partai kiri dalam pemeritahan koalisi barunya.
Seiring waktu, lambat laun terbukti bahwa pemerintahan Hatta 'positif antikomunis', hal ini diperkuat dengan keberhasilan Hatta menumpas habis pemberontakan PKI pada September 1948. Melalui peristiwa ini Amerika akhirnya menaruh kepercayaan pada pemerintah Indonesia. Dan mulailah kebijakan Departemen Luar Negeri Amerika condong kepada Indonesia dibanding Belanda.
Keberpihakan Amerika pada Indonesia semakin nyata ketika tiba-tiba Belanda melakukan agresi militernya yang kedua sehingga dengan mantap pemerintahan Amerika yang dipimpin oleh Presiden Truman mengubah sikapnya dari pro-Belanda menjadi pro-Indonesia.
Secara umum, buku ini menarik untuk disimak karena pembaca diberi berbagai fakta gamblang mengenai perubahan kebijakan luar negeri Amerika terhadap Indonesia dan pengaruhnya dalam percaturan politik internasional di masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Kedua penulisnya menelisik sumber-sumber primer berupa arsip-arsip diplomatik Amerika, Indonesia, Belanda, Australia, hingga arsip-arsip PBB.
Karenanya, Gouda dan Zaalberg dengan yakin menyimpulkan analisisnya bahwa tekanan Amerika terhadap Belanda tak menyebabkan kemerdekaan Indonesia, karena pada 1945-1947 sikap pemerintah Amerika masih pro-Belanda. Pendiri Republik Indonesia --terutama Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dan Soekarno --berhasil mengamankan kemerdekaan Indonesia melalui kecakapan politik mereka yang luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan pelik.
Namun, harus diakui, peran dan intervensi Amerika dalam persoalan Indonesia pada 1948-1949 memiliki pengaruh besar, tidak hanya mempercepat proses dekolonisasi oleh Belanda, tapi juga mencegah Indonesia dan Belanda terlibat perang yang berkepanjangan yang tentunya akan menelan banyak korban.
Tema yang diangkat dalam buku ini memang bukan bahasan yang ringan, namun karena ditulis dengan lancar serta dilengkapi referensi langka dan detail personal sejumlah tokoh sejarah yang menarik. Gouda dan Zaalberg tak memihak siapa pun, kesimpulan yang diambilnya terlihat obyektif. Walau begitu, buku ini tetap harus dibaca secara kritis dan disandingkan dengan buku-buku lain yang sejenis guna memperoleh pemahaman yang jelas dan obyektif.
Salut untuk pencantuman judul versi Indonesianya yang sangat provokatif dengan menambahkan kalimat tanya --yang tidak tercantum di buku aslinya --"Indonesia Merdeka Karena Amerika?" yang tentunya memancing minat pembaca Indonesia untuk menemukan jawabannya di buku ini. Penerbit juga dengan cerdas mengganti sampul asli buku ini yang menampilkan foto perangko Sjahrir dengan foto perangko Soekarno yang bersanding dengan George Washington. Hal yang tepat karena kini masyarakat Indonesia lebih mengenal Soekarno dibanding Sjahrir.
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar