Selasa, 01 September 2009

[artikel dinamika] Sebelum Perahu Kertas Berlayar

Sumber: Mizan.com

Sebagai salah seorang yang pernah membaca karya Dee, saya sangat menikmati Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, dan Supernova: Akar. Boleh dibilang, melalui Supernova keping pertama, pergumulan menemukan bacaan bermutu dan hasrat intelektual terpuaskan. Sebagai mahasiswa yang masih hijau daun dan sok ngilmiah (bahkan saya ingat betul kosa kata ilmiah dicari dan dihafal mati untuk memuaskan narsisisme kemahasiswaan saya), saya betul -betul tersihir dengan hadirnya kosa kata asing yang harus dibantu dengan membaca catatan-catatan kaki yang ditulis oleh Dee.

Membaca Supernova melambungkan saya pada gagasan novel saintifik dengan bumbu chaotic yang kental. Maka bertemulah saya pada istilah bifurkasi yang menawan pada Supernova. Kata ini, dan kata-kata saintifik lainnya, segera menyita seluruh perhatian saya—menciptakan semacam gelegar. Namun, membaca Akar, dengan tokoh utamanya yang bernama Bodhi, saya segera teringat Chin Mi dengan jurus pamungkas Ilmu Peremuk Tulang dari Kuil Dairinji. Saya masih bisa menemukan keasyikan yang sama tetapi dengan gaya menulis yang sama sekali berbeda.

Tahun berlalu, saya seakan lupa dengan novel-novel Dee sampai kemudian saya larut membaca manuskrip terbaru Dee, Perahu Kertas, lalu merampungkan Rectoverso setelahnya. Novel yang awalnya dirilis melalui versi WAP, menggandeng salah satu operator seluler, ini memang unik. Dibandingkan dengan karya Dee lainnya, novel ini segar dan tidak banyak diimbuhi catatan kaki seperti pada Supernova—kecuali ungkapan khusus bahasa Sunda dan Bali.

Mungkin karena Dee ingin menyuguhkan sesuatu yang berbeda—sebuah proyek bunuh diri, demikian Dee menyebutnya, yang dituntaskan secara maraton selama 55 hari di sebuah kos-kosan mahasiswi di utara kota Bandung. Meskipun demikian, karya Dee ini tetap memiliki aroma khas Dee yang filosofis dan penuh permenungan—sisi remajanya sangat akrab dan pas, tetapi tetap penuh kendali bahkan dengan sengaja meremas emosi pembaca, menahannya selama mungkin sampai mencapai kulminasi di akhir babak. Mantap!

Kisah di Balik Perahu
Penerbitan Perahu Kertas merupakan kolaborasi apik antara Bentang Pustaka, Truedee, dan Dewi Lestari sebagai penulis. Saya memang tidak mengikuti proses kreatif awalnya dari blog, tetapi saya langsung jatuh hati saat membaca versi WAP-nya. Biarpun pegal dan mata perih melihat teks di ponsel yang cuma sebesar semut, saya bisa bertahan hingga 100-an halaman. Nah, ide pun muncul kenapa tidak diterbitkan Bentang saja versi cetaknya. Saya tahu Dee telah memiliki penerbitan sendiri dengan nama Truedee; akan tetapi, keberuntungan tentu perlu dicoba. Lalu berlayarlah pinangan Bentang sejak awal 2009 kepada Dewi Lestari. Dan seperti yang dibilang orang, the rest is history.

Ada kebiasaan saya yang selalu ingin bertanya, entah kepada editor penanggung jawab, asisten editor, atau para proofreader yang sudah menikmati sebuah karya. Saya selalu tanya kesan mereka setelah membaca naskah. Apakah mendebarkan, seru, atau malah biasa-biasa saja. Komentar mereka saya perlukan untuk melihat apakah timbul passion setelah membaca naskah bagus. Apakah gagasan penulis memantik ide teman-teman di penerbit untuk memperlakukan karya secara kreatif, unik?!

Bagi saya sendiri Perahu Kertas adalah pengalaman mencicip novel bergizi secara Dee. Jika Anda tekun membaca, Anda akan menemukan daya magis tulisan Dee dan tahu-tahu anda ikut tumbuh bersama tokoh-tokoh di dalamnya. Rasanya sungguh menyenangkan saat kita melihat semua karakter yang kita baca bergulat bersama waktu dan tumbuh dewasa. Mungkin inilah candu yang diberikan Dee—sebuah konsep cerita serial yang membuat kita ketagihan sampai tak tahan harus menuntaskan dengan sekali membaca. [salman/2009]



www.mediabuku.com

0 komentar: