M. Iqbal Dawami, resensor.blogspot.com
Terpujilah para pencatat Al-Quran. Berkat jasa mereka, Al-Quran kini dapat dibaca oleh siapa saja dan di mana saja. Betapa tidak, andai saja mereka tidak mempunyai inisiatif untuk mencatat Al-Quran dapatkah umat Islam saat ini dapat membaca, mengkaji, dan mengamalkannya?
"Kami menurunkan Al-Quran dan Kami pula yang menjaganya," begitu Allah berfirman dalam Al-Quran. Mengapa di situ Allah menggunakan kata ganti "Kami" tidak "Aku"? Boleh jadi ini adalah sebentuk penghargaan kepada (salah satunya) para pencatat Al-Quran yang dianggap sebagai orang yang pertama berjasa dalam memelihara Al-Quran dari sisi pendokumentasian. Hal ini sangat logis, adanya para pencatatan tersebut sebenarnya turut mendukung kelestarian Al-Quran sendiri hingga sekarang.
Inilah buku biografi dua puluh sahabat Nabi Muhammad yang senantiasa mencatat ayat-ayat suci Al-Quran manakala wahyu turun kepada sang Nabi. Catatan-catatan mereka menjadi sumber pengumpulan Al-Quran pada masa Nabi Muhammad dan Khalifah Abu Bakar. Catatan mereka pula yang kemudian menjadi sumber penulisan mushaf Al-Quran pada masa Utsman. Dan, mushaf itulah yang saat ini dibaca oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Mushaf-mushaf Al-Quran pada masa itu tidaklah seperti saat ini; satu mushaf dengan kertas yang bagus dan lengkap dengan segala tanda baca dan pernak-perniknya. Para pencatat Al-Quran pada masa itu menuliskannya di kulit binatang (al-Riqa'), batu-batu pipih (al-Likhaf), tulang-belulang (al-Aktaf), dan pelepah kurma (al-'Usbu). Selain itu tanpa ada tanda bacanya pula.
Di antara para pencatat Al-Quran di dalam buku ini barangkali sudah tidak asing di telinga kita karena kepopulerannya, seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Ubay Ibn Ka'ab, Khalid Ibn Walid, Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Mas'ud, Umar Ibn Khaththab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Thalib. Tapi pernahkah kita mendengar nama para pencatat Al-Quran yang lainnya seperti Aban Ibn Said Ibn Al-Ash, Abu Rafi al-Qibthi, Al-Arqam Ibn Abi al-Arqam, Syarahbil Ibn Hasanah, dan yang lainnya? Padahal peran mereka tidak kalah pentingnya dengan nama-nama yang sudah kita kenal?
Aban Ibn Said, misalnya. Ia meninggalkan Syam menuju Mekkah untuk masuk Islam. Aban seringkali menghabiskan waktunya bersama Nabi. Ia mencatat dengan hati-hati wahyu yang didiktekan Nabi. Catatan-catatan Aban inilah yang kemudian menjadi rujukan dalam proses pengumpulan wahyu pada masa Abu Bakar dan proses penulisannya pada masa Utsman Ibn Affan dalam bentuk mushaf.
Sedang tokoh lainnya, Al-Arqam, ia lebih banyak mencatat surah-surah dan ayat-ayat Al-Quran yang turun di Mekkah. Saat itu Nabi belum hijrah ke Madinah dan belum banyak berhubungan dengan para pencatat wahyu dari kota itu. Al-Arqam menjalankan tugasnya dengan baik. Khalid Ibn Said Ibn al-Ash kerap kali menjadi sekretaris Nabi, di samping pencatat Al-Quran. Ia sering disuruh Nabi menuliskan surat yang dibacakan Nabi untuk para raja atau pun tokoh-tokoh terkemuka, salah satunya adalah untuk Hiraqlius, raja Bizantin.
Buku ini patut diacungi jempol lantaran beberapa hal. Referensi yang menjadi acuan penulis amat mumpuni. Sang penulis mengambil rujukannya dari kitab-kitab hasil penelitian yang mu'tabarah (kredibel dan populer). Sisi lain, cara penyajiannya pun bersifat naratif, sehingga pembaca ikut terlibat di saat sang penulis memperkenalkan para pencatat Al-Quran tersebut, seperti keberislaman, penderitaan, perjuangan, kepahlawanan, dan peran mereka dalam penulisan wahyu serta suasana detik-detik turunnya yang terkait dengan kehidupan mereka. Dengan kata lain, si penulis mengajak pembaca masuk ke dalam berbagai peristiwa baik dari sisi tempat dan waktu.
Kehadiran buku ini pun menambah khazanah ilmu keislaman, umumnya, dan referensi sejarah penulisan Al-Quran, khususnya. Tentu, bagi peminat sejarah Al-Quran baik khalayak umum maupun akademisi yang ada di ranah pendidikan (seperti Perguruan Tinggi Agama Islam), buku ini patut dijadikan rujukan yang sangat dianjurkan.***
M. Iqbal Dawami,
Blogger buku di
www.mediabuku.com
"Kami menurunkan Al-Quran dan Kami pula yang menjaganya," begitu Allah berfirman dalam Al-Quran. Mengapa di situ Allah menggunakan kata ganti "Kami" tidak "Aku"? Boleh jadi ini adalah sebentuk penghargaan kepada (salah satunya) para pencatat Al-Quran yang dianggap sebagai orang yang pertama berjasa dalam memelihara Al-Quran dari sisi pendokumentasian. Hal ini sangat logis, adanya para pencatatan tersebut sebenarnya turut mendukung kelestarian Al-Quran sendiri hingga sekarang.
Inilah buku biografi dua puluh sahabat Nabi Muhammad yang senantiasa mencatat ayat-ayat suci Al-Quran manakala wahyu turun kepada sang Nabi. Catatan-catatan mereka menjadi sumber pengumpulan Al-Quran pada masa Nabi Muhammad dan Khalifah Abu Bakar. Catatan mereka pula yang kemudian menjadi sumber penulisan mushaf Al-Quran pada masa Utsman. Dan, mushaf itulah yang saat ini dibaca oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Mushaf-mushaf Al-Quran pada masa itu tidaklah seperti saat ini; satu mushaf dengan kertas yang bagus dan lengkap dengan segala tanda baca dan pernak-perniknya. Para pencatat Al-Quran pada masa itu menuliskannya di kulit binatang (al-Riqa'), batu-batu pipih (al-Likhaf), tulang-belulang (al-Aktaf), dan pelepah kurma (al-'Usbu). Selain itu tanpa ada tanda bacanya pula.
Di antara para pencatat Al-Quran di dalam buku ini barangkali sudah tidak asing di telinga kita karena kepopulerannya, seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Ubay Ibn Ka'ab, Khalid Ibn Walid, Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Mas'ud, Umar Ibn Khaththab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Thalib. Tapi pernahkah kita mendengar nama para pencatat Al-Quran yang lainnya seperti Aban Ibn Said Ibn Al-Ash, Abu Rafi al-Qibthi, Al-Arqam Ibn Abi al-Arqam, Syarahbil Ibn Hasanah, dan yang lainnya? Padahal peran mereka tidak kalah pentingnya dengan nama-nama yang sudah kita kenal?
Aban Ibn Said, misalnya. Ia meninggalkan Syam menuju Mekkah untuk masuk Islam. Aban seringkali menghabiskan waktunya bersama Nabi. Ia mencatat dengan hati-hati wahyu yang didiktekan Nabi. Catatan-catatan Aban inilah yang kemudian menjadi rujukan dalam proses pengumpulan wahyu pada masa Abu Bakar dan proses penulisannya pada masa Utsman Ibn Affan dalam bentuk mushaf.
Sedang tokoh lainnya, Al-Arqam, ia lebih banyak mencatat surah-surah dan ayat-ayat Al-Quran yang turun di Mekkah. Saat itu Nabi belum hijrah ke Madinah dan belum banyak berhubungan dengan para pencatat wahyu dari kota itu. Al-Arqam menjalankan tugasnya dengan baik. Khalid Ibn Said Ibn al-Ash kerap kali menjadi sekretaris Nabi, di samping pencatat Al-Quran. Ia sering disuruh Nabi menuliskan surat yang dibacakan Nabi untuk para raja atau pun tokoh-tokoh terkemuka, salah satunya adalah untuk Hiraqlius, raja Bizantin.
Buku ini patut diacungi jempol lantaran beberapa hal. Referensi yang menjadi acuan penulis amat mumpuni. Sang penulis mengambil rujukannya dari kitab-kitab hasil penelitian yang mu'tabarah (kredibel dan populer). Sisi lain, cara penyajiannya pun bersifat naratif, sehingga pembaca ikut terlibat di saat sang penulis memperkenalkan para pencatat Al-Quran tersebut, seperti keberislaman, penderitaan, perjuangan, kepahlawanan, dan peran mereka dalam penulisan wahyu serta suasana detik-detik turunnya yang terkait dengan kehidupan mereka. Dengan kata lain, si penulis mengajak pembaca masuk ke dalam berbagai peristiwa baik dari sisi tempat dan waktu.
Kehadiran buku ini pun menambah khazanah ilmu keislaman, umumnya, dan referensi sejarah penulisan Al-Quran, khususnya. Tentu, bagi peminat sejarah Al-Quran baik khalayak umum maupun akademisi yang ada di ranah pendidikan (seperti Perguruan Tinggi Agama Islam), buku ini patut dijadikan rujukan yang sangat dianjurkan.***
M. Iqbal Dawami,
Blogger buku di
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar